Pro Kontra Kelola Tambang, Bagaimana Ulama Terdahulu Memandang Eksplorasi Alam?
Islam memandang eksplorasi alam harus dilakukan secara bermartabat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang di dalamnya terdapat kewenangan dan kesempatan bagi ormas keagamaan yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP). Sejumlah ormas keagamaan juga telah menyatakan siap menerima IUP.
Lantas bagaimana pendapat ulama terdahulu terkait masalah lingkungan dan pertambangan? Berikut ini pendapat beberapa ulama klasik terkait dengan eksplorasi sumber daya alam.
Di antaranya Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al- Suthaniyyah, pendapat Imam al-Shan’ani dalam Subul al-Salam, pendapat Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al- Minhaj, pendapat Imam Zakaria al-Anshari dalam Asna al-Mathalib Syarh Raudlatu al-Thalibin, dan pendapat Imam Ibn Qudamah dalam al-Mughni.
Pendapat Imam al-Mawardi:
"Barang siapa membuka lahan baru maka ia berhak memilikinya, baik dengan atau tanpa izin penguasa."
"Namun, menurut Imam Abu Hanifah harus seizin penguasa, karena sabda Nabi Muhammad SAW: Tidak ada hak bagi seseorang kecuali yang diizinkan oleh imam."
"Menurut Imam Malik, orang terdekat lebih berhak untuk membuka lahan (dan mengeksplorasinya) dari pada orang yang jauh (asing). Sementara, tata cara pembukaan lahan (yang memiliki konsekwensi hak kepemilikan dan pemanfaatan) didasarkan pada ‘urf karena Rasulullah SAW menyebutkannya secara mutlak, tidak memberi penjelasan rinci tentang tata caranya, berarti didasarkan pada kebiasaan yang telah disepakati masyarakat."
Imam al-Mawardi merujuk kepada pendapat Imam Malik menjelaskan bahwa orang terdekat lebih berhak untuk membuka lahan (dan mengeksplorasinya) dari pada orang yang jauh (asing).
Pendapat Imam al-Shan’ani:
"Al-Mawat yaitu tanah (sumber daya alam) yang belum dimakmurkan (diolah dan dieksplorasi). Proses pemakmuran diserupakan dengan kehidupan dan pembiarannya diserupakan dengan tidak adanya kehidupan."
"Menghidupkan bumi dengan cara mengolahkan. Ketahuilah, ketentuan mengenai “ihya’” (pengolahan dan eksplorasi) dari syari’ bersifat mutlak. Dengan demikian, implementasinya harus kembali pada ‘urf (kebiasaan) masyarakat mengenai tata caranya."
"Dalam hal lain, syari’ terkadang memberikan penjelasan tentang suatu masalah secara mutlak, sebagaimana ketentuan ”al-qabdlu” (menerima) dalam harta untuk jual beli serta ketentuan ”al-hirzu” (tempat penyimpanan) dalam masalah pencurian yang implementasinya didasarkan pada ’urf."
"Menurut ’urf (setidaknya) ada lima hal yang bisa dikategorikan sebagai ”ihya’”, yaitu memutihkan tanah dan membersihkannya untuk kemudian ditanami, membangun pagar, menggali parit, sehingga orang yang lewat tidak memungkinkan untuk melihatnya. Ini pendapat Imam Yahya."
Pendapat Imam...
Pendapat Imam Ibn Hajar al-Haitami:
"Sedangkan pemanfaatan lahan sekitar sungai dengan syarat tanpa menimbulkan kerusakan maka hukumnya boleh."
Imam Ibn Hajar al-Haitami berpenapat, pemanfaatan lahan tanpa menimbulkan keruakan hukumnya boleh.
Pendapat Imam Zakaria al-Anshari:
"Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ulumiddin berpendapat, jika seseorang mandi di kamar mandi dan meninggalkan bekas sabun yang menyebabkan licinnya lantai, lantas menyebabkan seseorang tergelincir dan mati atau anggota tubuhnya cedera, sementara hal itu tidak nampak, maka kewajiban menanggung akibat tersebut dibebankan kepada orang yang meninggalkan bekas (sabun) serta penjaga, mengingat kewajiban penjaga untuk membersihkan kamar mandi."
Pendapat Imam Ibn Qudamah:
"Lahan yang dekat dengan khalayak dan terkait dengan kemaslahatannya, seperti untuk jalan, saluran air, pembuangan sampah, pembuangan debu, maka dalam hal seperti ini tidak boleh ada ihya (pemanfaatan lahan) untuk dikuasai. Hal demikian tidak ada perbedaan dalam pendapat madzhab."
"Demikian juga yang terkait dengan kemaslahatan kawasan, seperti tempat gembala dan tempat mengambil kayu bakar, jalan-jalan dan saluran airnya. Kesemuanya itu tidak dapat dikuasi untuk dimiliki dengan cara “ihya’” (menghidupkannya), dan kami tidak melihat adalah khilaf di antara ulama."
"Setiap lahan yang telah dimiliki orang juga tidak mungkin dilakukan ihya untuk kepentingan kemaslahatannya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati di luar yang telah dimiliki oleh orang Islam makan ia berhak memilikinya."
"Dari hadits itu, diperoleh pemahaman bahwa sesuatu yang terkait dengan hak seorang Muslim tidak dapat dimiliki (oleh orang lain) sebab adanya ihya’ (mengolahnya), karena hak pengolahan tersebut ikut dalam kepemilikan barang. Seandainya dibolehkan adanya hak ihya’ terhadap harta yang dimiliki orang lain niscaya akan batal adanya hak kepemilikian tersebut."
"Pemerintah dapat menetapkan hak kepemilikan mawat (lahan kosong) kepada orang yang menghidupkannya (merambah-nya) sebagaimana Nabi Muhammad SAW pernah memberikan kuasa kepada Bilal ibn Harits terhadap Lembah Ajma’."
Sa’id berkata diceritakan dari Sufyan dari Ibn Abi Nujaih dari ’Amr ibn Syu’aib bahwa Rasulullah SAW memberikan kuasa sebidang tanah kepada seseorang dari Juhainah atau Muzainah, akan tetapi mereka membiarkannya (tanpa pemanfaatan) lantas datang seseorang dan menggarapnya. Kemudian orang yang diberi kewenangan Nabi tersebut datang mengadukan hal ini kepada Khalifah Umar bin Khattab."
"Umar bin Khattab berkata, "Seandainya pemberian tersebut dari saya dari Abu Bakar aku pasti tidak akan mengembalikannya. Akan tetapi ini penetapan pemberian dari Rasulullah SAW maka aku putuskan untuk mengembalikannya."
"Setelah itu Umar bin Khattab berkata lagi: Barang siapa yang memiliki tanah, yakni menguasai (mengkarantina) tanah dan membiarkannya selama tiga tahun (tanpa pengolahan) lantas datang kelompok orang lain memakmurkannya maka orang tersebut lebih berhak memilikinya."
Dikutip dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan.
Manusia sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-ardl) memiliki amanah dan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi seisinya. Sebagai khalifah, manusia diingatkan oleh Sang Pencipta agar tidak berbuat kerusakan di bumi dan tidak merugikan orang lain.