Serangan Sekolah di Gaza, AS Didesak Hentikan Pasok Senjata Israel

Gaza Palestina akan terus dipertahankan.

AP Photo/Abdel Kareem Hana
Warga Palestina berjalan melintasi puing-puing rumah yang hancur akibat serangan Israel di Khan Younis, Jalur Gaza.
Rep: Muhyiddin Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan mematikan Israel terhadap sebuah sekolah di Gaza telah memicu seruan bagi Amerika Serikat (AS) untuk berhenti memberikan dukungan kuat bagi Israel, termasuk memasok senjata yang menurut para aktivis hak asasi manusia memicu kekejaman di daerah kantong Palestina tersebut.

Baca Juga


Dilansir Aljazeera pada Ahad (11/8/2024), Badan pertahanan sipil Gaza mengatakan lebih dari 100 warga Palestina tewas dan puluhan lainnya terluka pada Sabtu (10/8/2024) kemarin ketika Israel melancarkan serangan terhadap sekolah al-Tabin di Kota Gaza.

"AS dan sekutunya mengklaim gencatan senjata sudah dekat. Namun yang dilihat warga Palestina hanyalah lebih banyak kematian, pengungsian, dan keputusasaan. Genosida terus berlanjut," tulis salah satu pendiri dan presiden Arab American Institute, James Zogby di media sosial.

“Sudah saatnya sandiwara ini diakhiri. Israel tidak menginginkan perdamaian atau gencatan senjata. Mengapa kita masih mengirim senjata ke Israel?," kata dia.

Pada Sabtu (10/7/2024) pagi, jurnalis CNN Allegra Goodwin mengatakan dalam sebuah posting di X bahwa jaringan berita AS telah mengonfirmasi bahwa "bom berdiameter kecil GBU-39 buatan AS" digunakan dalam serangan mematikan Israel di sekolah al-Tabin. Al Jazeera tidak dapat segera memverifikasi laporan tersebut.

Serangan itu terjadi saat Presiden AS Joe Biden menghadapi tekanan publik selama berbulan-bulan untuk menghentikan pasokan senjata ke Israel di tengah perangnya di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 39.700 warga Palestina sejak awal Oktober.

Israel menerima sedikitnya $ 3,8 miliar bantuan militer AS setiap tahunnya, dan Biden menandatangani bantuan tambahan sebesar $14 miliar kepada sekutu AS tersebut awal tahun ini.

Para aktivis HAM juga telah mendokumentasikan penggunaan senjata buatan AS oleh Israel dalam pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia, dan dengan cara yang tidak konsisten dengan hukum dan kebijakan AS selama perang.

Namun juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada Jumat (9/8/2024) kemarij bahwa Washington akan mengirimkan tambahan $3,5 miliar ke Israel untuk dibelanjakan pada senjata dan peralatan militer buatan AS.

Tercabik-Cabik

Lihat halaman selanjutnya >>>

 

Serangan terhadap sekolah Kota Gaza, yang telah menjadi tempat perlindungan bagi ribuan orang yang mengungsi, juga terjadi di tengah upaya baru AS, Qatar, dan Mesir untuk membuat Israel dan Hamas menyetujui perjanjian gencatan senjata.

Namun para ahli mengatakan serangan Israel yang terus berlanjut di Gaza berisiko menggagalkan upaya tersebut, sementara beberapa pihak menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berusaha menyabotase kemungkinan kesepakatan untuk mengakhiri perang.

Serangan di sekolah Kota Gaza digambarkan oleh paramedis dan orang lain di lokasi kejadian sebagai mengerikan, dengan “Jenazah tercabik-cabik”.

Jurnalis Al Jazeera, Hind Khoudary melaporkan dari Khan Younis di Gaza selatan, mengatakan warga Palestina yang berlindung di dalam kompleks sekolah sedang berdoa ketika pasukan Israel menargetkan mereka dengan sedikitnya tiga serangan udara.

"Tim pertahanan sipil mengatakan bahwa mereka berhasil menemukan 100 mayat, tetapi mereka mengatakan bahwa masih ada lebih banyak mayat yang terjebak. Sebagian besar mayat dalam kondisi rusak parah, sehingga mereka tidak dapat mengenali siapa orang-orang Palestina ini," kata Khoudary.

“Orang-orang yang selamat dari serangan ini mengatakan bahwa ini adalah salah satu hari terburuk yang mereka saksikan sejak perang dimulai di Jalur Gaza," jelas dia

Israel mengatakan, tanpa bukti apa pun, bahwa Hamas dan pejuang Jihad Islam Palestina beroperasi dari sekolah tersebut, sebuah klaim yang dibantah oleh Hamas.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Sean Savett mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Sabtu bahwa terlalu banyak warga sipil yang terus terbunuh dan terluka. Dia pun menyerukan gencatan senjata dan kesepakatan penyanderaan.

Menggemakan klaim Israel tanpa memberikan bukti, ia menambahkan,

"Kami tahu Hamas telah menggunakan sekolah sebagai lokasi berkumpul dan beroperasi, tetapi kami juga telah mengatakan berulang kali dan secara konsisten bahwa Israel harus mengambil tindakan untuk meminimalkan kerugian warga sipil," kata Sean.

Sementara itu, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mendesak AS untuk mengakhiri dukungan buta (terhadap Israel) yang menyebabkan terbunuhnya ribuan warga sipil tak berdosa, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua.

Nabil Abu Rudeineh mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa transfer senjata AS ke Israel menjadikan negara itu bertanggung jawab langsung atas pembantaian di sekolah al-Tabin dan atas berlanjutnya serangan Israel di Jalur Gaza selama sepuluh bulan berturut-turut.

Para pegiat hak asasi manusia AS juga memperbarui desakan mereka kepada pemerintahan Biden untuk mengakhiri pasokan senjata ke Israel menyusul serangan sekolah tersebut.

Sarah Leah Whitson, direktur eksekutif kelompok advokasi Democracy for the Arab World Now yang berbasis di AS, mengkritik penjualan senjata tersebut sebagai "pengkondisian Pavlovian untuk pasukan yang buas”.

Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), organisasi hak-hak sipil Muslim AS, juga mengatakan serangan Kota Gaza memerlukan tanggapan serius dari pemerintahan Biden.

“Jika Presiden Biden peduli dengan kehidupan manusia, dia akan menanggapi tindakan terorisme negara ini dengan segera menghentikan aliran senjata ke pemerintah Israel dan memaksa Netanyahu untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang terus disabotase olehnya,” tulis CAIR di X.

"Tidak ada lagi seruan bagi Israel untuk menyelidiki dirinya sendiri. Tidak ada lagi pengiriman bom. Genosida yang diprakarsai AS ini harus segera diakhiri," jelas CAIR.

Mantan penasihat pemerintah Israel, Daniel Levy juga mengatakan kepada Al Jazeera pada Sabtu (10/8/2024) bahwa paket keuangan militer AS senilai $3,5 miliar untuk Israel menunjukkan ketidakjujuran dan duplikasi pemerintahan AS.

Levy mengatakan Washington menunjukkan “kelemahan yang memalukan” ketika menyatakan bahwa Biden “sangat marah” dalam panggilan telepon baru-baru ini dengan Netanyahu, tetapi kemudian menyerahkan dana tambahan sebesar $3,5 miliar kepada perdana menteri Israel untuk membeli senjata.

“Kita harus melihat bahwa ini bukan sekadar kelemahan. Ini juga keselarasan ideologis. Pemerintah AS adalah penjamin poros ekstremisme Zionis,” kata Levy.

“Mereka mungkin tidak menyukai beberapa detailnya, tetapi inilah yang mereka dukung," tutupnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler