Pangeran MBS Takut Dibunuh Seperti Anwar Sadat karena Upayakan Normalisasi dengan Israel

Pangeran MBS itu diungkapkannya kepada anggota Kongres AS.

Evelyn Hockstein via AP
Pangeran Mohammed bin Salman.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) mengaku khawatir akan potensi ancaman pembunuhan terhadap dirinya terkait kesepakatan perdamaian dengan Israel. Pangeran MBS dikutip Politico, Rabu (14/8/2024), berbicara kepada anggota Kongres AS bahwa hidupnya dalam bencana karena upayanya menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.  

Baca Juga


MBS membandingkan situasinya saat ini dengan mantan presiden Mesir, Anwar Sadat yang dibunuh setelah menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Kepada Politico, dilansir Turkiye Today, dia mempertanyakan langkah yang Amerika Serikat (AS) ambil dalam melindungi Sadat, menjadi ilustrasi betapa seriusnya risiko yang dia hadapi saat ini.

Ketakutan MBS khususnya terkait dengan konflik Israel-Palestina, yang meningkatkan ketegangan di kawasan, khususnya setelah perang di Gaza pecah. Dia menekankan, bahwa kesepakatan damai apapun harus termasuk sebuah jalan menuju pendirian Negara Palestina, sambil beragumentasi bahwa mengabaikan kemerdekaan Palestina bisa menghancurkan perannya sebagai pemegang kekuasaan di Saudi dan menambah destabilisasi Timur Tengah.

"Warga Saudi peduli akan hal ini (Palestina merdeka), jalan jalan di Timur Tengah peduli akan hal ini, dan kepemimpinan saya sebagai pemilik situs suci Islam (Arab Saudi) tidak akan aman jika saya tidak peduli akan masalah keadilan yang paling penting di kawasan."

Meski dalam bahaya, MBS bertekad untuk maju terus dalam proses menuju perdamaian, karena ia melihat hal itu sangat vital bagi masa depan Saudi. Proposal perjanjian dalam negosiasi rahasia, diduga meliputi penciptaan hubungan diplomatik dengan Israel, yang imbalannya adalah jaminan keamanan dari AS, dukungan progam nuklir, san investasi ekonomi.  

Namun, perjanjian damai dengan Israel itu menghadapi tantangan besar, terutama keengganan Israel atas berdirinya negara Palestina.

 
Sikap Arab Saudi terhadap Israel Penjajah Palestina - (Republika)

Pada akhir September 2023, Arab Saudi menyerukan solusi adil terhadap perjuangan Palestina untuk menjamin keamanan di kawasan Timur Tengah. Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan dalam pidatonya di sidang Majelis Umum PBB mengatakan, keamanan kawasan Timur Tengah memerlukan percepatan upaya mencari solusi yang adil dan komprehensif terhadap masalah Palestina.

“Solusi ini harus dibangun berdasarkan resolusi legitimasi internasional dan Inisiatif Perdamaian Arab, yang menjamin hak rakyat Palestina untuk mendirikan negara merdeka berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” ujar Pangeran Faisal, dilaporkan Anadolu, Ahad (24/9/2023).

Pada 1993, payung Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel menandatangani Perjanjian Oslo, yang memberikan bentuk pemerintahan sipil Palestina. Namun perundingan gagal mencapai kesepakatan damai yang mengarah pada pembentukan negara Palestina.

Perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel yang disponsori Amerika Serikat gagal mencapai keputusan pada April 2014. Israel menolak menghentikan pembangunan pemukiman dan melepaskan tahanan Palestina yang dipenjara sebelum 1993.

Pangeran Faisal menegaskan kembali penolakan dan kecaman Saudi terhadap semua tindakan sepihak, yang dianggap sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap semua hukum internasional. “Tindakan-tindakan ini turut melemahkan upaya perdamaian regional dan internasional serta menghambat solusi politik,” ujar Pangeran Faisal.

Pidato PBB tersebut disampaikan di tengah meningkatnya spekulasi mengenai potensi kesepakatan normalisasi antara Arab Saudi dan Israel yang dimediasi Amerika Serikat. Riyadh menegaskan, setiap kesepakatan dengan Israel harus mencakup komponen yang memajukan upaya untuk mendirikan negara Palestina.

Tak lama setelah pidato Pangeran Faisal di PBB, pecah perang Israel-Hamas di Gaza setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2024. Agresi Israel di Gaza pun masih berlangsung hingga hari ini dan mengarah kepada genosida di mana puluhan ribu warga Palestina meninggal dunia dan infrastruktur di Gaza luluh lantah akibat aksi bombardir militer Israel yang nyaris terjadi setiap hari.


 

 

Pada Januari, Sputnik dilansir Antara, melaporkan bahwa Arab Saudi telah melanjutkan negosiasi dengan Amerika Serikat mengenai kesepakatan pertahanan setelah jeda selama tiga bulan karena eskalasi yang terjadi baru-baru ini di Timur Tengah. Amerika Serikat telah meluncurkan proses normalisasi hubungan antara Israel dan dunia Arab pada 2020.

Sebagai hasil dari upaya ini, pada September 2020, Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain menandatangani serangkaian dokumen yang dikenal sebagai Abraham Accords (Perjanjian Abraham). Maroko turut menandatanganinya pada Desember tahun yang sama.

Pada Januari 2021, Sudan juga menandatangani bagian deklaratif dari Perjanjian tersebut, tetapi tidak menandatangani dokumen terkait dengan Israel seperti negara lainnya karena perbedaan pendapat antara kepemimpinan militer dan sipil Sudan mengenai masalah tersebut. Pada awal Agustus 2023, Washington dan Riyadh menyepakati garis besar kesepakatan untuk menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel.

Adapun, Pemerintah Indonesia sudah berulang kali menegaskan tidak akan menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Meskipun menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, tekanan beberapa pihak untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik tersebut selalu muncul dari waktu ke waktu.

"Oh enggak, dari waktu ke waktu selalu ada pihak-pihak yang mengatakan sudah waktunya Indonesia melakukan normalisasi. Buat kita posisi kita jelas seperti yang saya sampaikan," jelas Menlu Retno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/4/2024).

Meski demikian, Retno menilai tekanan untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel itu menjadi hal yang biasa di dunia internasional. Namun ia menegaskan bahwa posisi Indonesia saat ini tidak akan melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

"Banyak banget lah, itu biasa di dalam dunia internasional, harapan dan tekanan. Tapi sejauh ini posisi kita tetap no," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler