Pakar UGM Cium Gelagat Anulir Putusan MK 60 di DPR, Siap Serukan Aksi Pembangkangan

Putusan MK dinilai tidak bisa dianulir oleh DPR maupun pemerintah.

Amin Madani/Republika
Mahkamah Konstitusi
Rep: Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR), dan pemerintah dinilai tak bisa menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan, jika penganuliran itu terjadi, patut dinilai sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Masyarakat, kata dia perlu melawan sikap legislatif, dan eksekutif tersebut, dengan turut melakukan pembangkangan massal.

“Kita mendengar informasi, hari ini Baleg DPR akan rapat membahas putusan MK, dan kemungkinan akan menganulir putusan MK yang sudah baik merasionalisasikan ambang batas untuk pilkada itu. Jika itu benar terjadi (menganulir putusan MK), bahwa itu sebenarnya adalah pembangkangan terhadap konstitusi,” kata Yance saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Rabu (21/8/2024).

“Dan masyarakat, harus melawan pembangkangan itu dengan turut juga melakukan pembangkangan. Karena ini sudah menyangkut soal integritas dari negara hukum, dan demokrasi,” begitu ujar Yance.

Yance mengatakan, tak ada kewenangan DPR, maupun pemerintah dalam menganulir putusan MK. Justru sebaliknya, MK yang memiliki kewenangan berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) untuk menganulir, atau mengevaluasi, pun memperbaiki produk legislasi DPR bersama pemerintah yang dinilai tak konstitusional.

“Jadi ini jangan dibalik-balik. Ini kok malah DPR dan pemerintah yang mau menganulir putusan MK. Jelas itu salah,” kata Yance.

Penolakan DPR, maupun pemerintah atas putusan MK, dengan memaksa untuk mengembalikan aturan main ambang batas dalam pilkada ke sistem yang lama, pun tak dapat dilakukan. Karena, kata Yance, MK sudah memberikan putusan yang evaluatif demi proses yang lebih adil dan esensial bagi masyarakat dalam pelaksanaan pesta demokrasi seperti pilkada.

Jika DPR, maupun pemerintah masih ngotot untuk menganulir putusan MK dengan mengembalikan ambang batas lama melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada 2016, kondisi tersebut, kata Yance, merupakan bentuk dari sikap bebal dari gabungan kekuasaan di DPR dan pemerintah.

“Ini yang disebut sebagai otokratik legalism, atau yang disebut penggunaan hukum oleh penguasa untuk hanya mementingkan kekuasaannya,” ujar Yance.

Situasi tersebut, kata Yance, tentu tak dapat diterima. “Kita sangat sayangkan kalau misalkan ini terjadi, apalagi ini terjadi prosesnya melalui DPR,” ujar Yance.

Semakin disayangkan, kata Yance, melihat upaya untuk menggagalkan berlakunya putusan MK itu, dilakukan oleh partai-partai politik (parpol) yang mengusai seluruh anggota DPR.

Padahal, kata Yance, putusan MK 60/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan pilkada itu, menguntungkan parpol. “Yang kita patut sayangkan itu adalah sikap partai-partai politik itu sendiri. Padahal sebenarnya kalau kita melihat putusan MK itu, sangat menguntungkan mereka (parpol). Ini menunjukkan bahwa kondisi tatanan demokrasi, dan ketatanegaraan kita ini sudah sangat gawat,” kata Yance.

MK, pada Selasa (20/8/2024) memutuskan mengubah syarat ambang batas minimal bagi partai politik (parpol) peserta pemilu dalam pengusungan calon kepala daerah untuk Pillkada 2024. Dalam putusannya MK membagi menjadi dua klaster ambang batas untuk pencalonan kepala daerah (cakada) di level provinsi atau calon gubernur - calon wakil gubernur (cagub-cawagub). 

Untuk di tingkat kabupaten, atau kota. Di level provinsi, dalam putusannya MK membagi empat ambang batas minimal sebagai syarat partai-partai politik dalam mengusung cagub dan cawagub.

Di tingkat provinsi, dengan jumlah penduduk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai 2 juta jiwa, parpol, atau gabungan parpol peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut.

Di provinsi dengan DPT lebih dari 2 juta, sampai dengan 6 juta, syarat minimal suara pencalonan sebesar 8,5 persen. Sedangkan untuk provinsi dengan DPT lebih dari 6 juta, sampai 12 juta jiwa, pengusungan cakada oleh parpol, atau gabungan parpol yang memiliki suara minimal 7,5 persen. Terakhir di provinsi dengan jumlah DPT lebih dari 12 juta jiwa, ambang batas pencalonan minimal dari parpol, atau gabungan parpol peraih 6,5 persen suara sah.

Adapun di tingkat kabupaten dan kota, ambang batas minimal di wilayah dengan DPT 250 ribu jiwa, harus diusulkan oleh parpol, atau gabungan parpol dengan 10 persen suara sah. Wilayah dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa, sampai 500 ribu jiwa, ambang batas suara sah pengusungan adalah 8,5 persen.

Selanjutnya di wilayah dengan DPT lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol harus memiliki suara sah 7,5 persen. Dan terakhir, untuk kabupaten-kota dengan DPT lebih dari satu jiwa, syarat pengusungan dari parpol, atau gabungan parpol dengan 6,5 persen suara sah.

Putusan MK tersebut, menguntungkan seluruh parpol. Karena memberikan peluang yang sangat mudah bagi parpol, atau gabungan parpol dalam mengusung kader-kadernya untuk bisa dicalonkan dalam kontestasi kepemimpinan di daerah. Akan tetapi pada Rabu (21/8/2024) Baleg DPR merencanakan membahas RUU Pilkada baru, untuk menganulir putusan MK tersebut dengan mengembalikan ambang batas lama 20 persen kursi, dan 25 persen suara sah sebagi syarat pengusungan calon kepala daerah (cakada).

Baca Juga



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler