Serukan 'Peringatan Darurat', Wanda Hamidah Nyatakan Keluar dari Golkar

Wanda Hamidah mengaku tak ingin di sisi yang salah dalam perjalanan bangsa.

Tangkapan Layar
Peringatan Darurat di menggema di medsos
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Politikus yang juga selebritas Wanda Hamidah menyatakan keluar dari Partai Golkar. Ia mengaku keluar karena tak ingin jadi bagian yang salah dari perjalanan bangsa Indonesia.

Baca Juga


"I'm out from Golkar. I don't wanna be in a wrong side of history. I love my country too much. INDONESIA IS NOT FOR SALE. Panjang umur perlawanan! 🇮🇩✊," tulis Wanda Hamidah dalam akun di Instagramnya sama mengunggah flyer 'Peringatan Darurat'

Gerakan 'Peringatan Darurat' menggema di media social. Status peringatan viral setelah anggota DPR mencoba berakrobat dengan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pilkada.

Seperti diketahui MK melalui putusannya mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Putusan MK membuka peluang calon-calon alternatif di Pilkada, termasuk di Jakarta.

MK juga menolak soal gugatan usia calon kepala daerah, dan mengembalikannya ke aturan terdahulu yakni 30 tahun untuk batas calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun buat calon bupati maupun wali kota.

Namun dua putusan itu seperti diabaikan oleh Panja revisi UU Pilkada DPR. Sebut soal batas usia, DPR mengacu pada putusan MA. Sementara untuk ambang batas cakada, penurunan hanya berlaku untuk parpol yang di luar parlemen.

Salah satu yang mengunggah flyer 'Peringatan Darurat' itu adalah selebritas dan juga komika Pandji Pragiwaksono. Flyer menggambarkan Burung Garuda yang sudah mulai 'luntur' dan samar-samar dengan background warna biru.

Najwa Shihab juga mengunggah flyer tersebut. "Hancur demokrasi negara ini," tulis salah seorang akun yang mengomentari postingan Najwa.

Anies Baswedan dalam pernyataan mengatakan, Demokrasi Indonesia kembali berada di persimpangan krusial.

"Nasibnya ditentukan hari-hari ini oleh Ibu/Bapak wakil rakyat di DPR yang masing-masing dari mereka memegang titipan suara ratusan ribu rakyat Indonesia. Ibu/Bapak ketua partai memanggul kesempatan dan tanggung jawab yang sama pula saat ini," ujar Anies lewat akun X, Rabu (21/8/2024).

Anies punya harapan kuat kepada mereka semua agar berpikiran jernih dan berketetapan hati mengembalikan konstitusi dan demokrasi Indonesia kepada relnya, sesuai cita-cita reformasi.

"Semoga setiap mereka menjadi bagian yang dicatat dengan baik dalam sejarah perjalanan bangsa," ujarnya.

Akrobat politik

Namun sejumlah pakar telah mengkritisi langkah anggota DPR yang mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi. DPR dinilai tengah melakukan akrobat politik dengan tujuan menganulir putusan MK.

"Putusan MK sangat jelas: “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu..” Tapi lucunya DPR akrobat sedemikian rupa untuk menganulir Putusan MK. Logikanya sederhana: masak partai yg tidak punya kursi bisa mencalonkan, sementara partai-partai yg punya kursi harus mencapai minimal 20 persen-30 persen untuk bisa mencalonkan di pilkada. Saya nggak paham lagi deh," ujar ahli Prof. Burhanuddin Muhtadi lewat akun @BurhanMuhtadi yang sudah diverifikasi oleh X, Rabu.

 

Burhanuddin pun mengingatkan warganet untuk tidak teralihkan isunya kecuali fokus untuk mengawal putusan MK. Menurutnya, DPR saat ini tengah berupaya menyiasati putusan MK dengan cara tidak memberlakukan ambang batas hanya pada partai yang tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang punya kursi tetap diberlakukan aturan threshold 20-25 persen untuk bisa mencalonkan di pilkada.

Pegiat pemilu, Titi Anggraini juga mengritisi langkah Baleg DPR yang 'mendadak' membahas revisi UU Pilkada. Padahal, menurutnya, sudah sangat jelas, bahwa Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 mengatakan bahwa syarat threshold (ambang batas) pencalonan yang direkonstruksi itu berlaku baik untuk partai parlemen maupun nonparlemen.

"Kenapa wakil rakyat tidak bersuara seperti suara rakyat dan corong Konstitusi? Apakah rakyat sudah dianggap angin lalu oleh mereka?" kata Titi.

Titi mengingatkan DPR bahwa, putusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku serta merta bagi semua pihak atau erga omnes. Menurut Titi, jika sampai putusan MK disimpangi maka telah terjadi pembangkangan konstitusi dan bila terus berlanjut, Pilkada 2024 menjadi inkonstitusional dan tidak legitimate untuk diselenggarakan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler