Ini Sejarah Baalawi: Muncul di Yaman, Sampai ke Indonesia
Sejarah Baalawi dapat merujuk sejak sosok Syekh Ahmad bin Isa al-Muhajir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurut laman Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman), tarekat dengan sanad yang tidak terputus hingga Nabi Muhammad SAW disebut sebagai mu’tabarah. Karena sifat ajarannya yang terus bersambung sampai pada al-Musthafa, tarekat-tarekat yang demikian absah untuk diamalkan kaum Muslimin.
Jatman mendaftar, sekurang-kurangnya ada 43 tarekat yang mu’tabarah. Salah satunya adalah Alawiyah. Jalan salik itu disebut pula sebagai Ba'alawi, Ba'alawiyyah, atau Alawiyyin.
Nama itu berkaitan dengan sosok Imam Alwi bin Ubaidillah. Ia merupakan cucu dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, yakni seorang keturunan Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Basrah (Irak) ke Hadhramaut (Yaman) pada masa pemerintahan al-Muqtadir Billah--sekira awal abad ke-10 M. Sebab, Irak ketika itu dilanda kerusakan sosial atau fitnah besar, yang di dalamnya antarsesama Muslimin saling berkonflik.
Ahmad al-Muhajir memiliki empat orang putra, yakni Ali, Hussain, Muhammad, dan Ubaidillah. Sang bungsu itulah yang menyertainya hijrah dari Basrah ke Hadhramaut. Begitu mendewasa, Ubaidillah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Alwi, Jadid, dan Basri.
Dari ketiganya, hanya Alwi yang namanya lebih banyak dicatat dalam pelbagai manuskrip. Dialah sayyid--keturunan Rasul SAW dari jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib--pertama yang lahir di Yaman. Seperti bapak dan kakeknya, dirinya pun pada akhirnya memiliki banyak pengikut. Orang-orang memanggilnya Imam Alwi. Semua keturunannya kelak disebut sebagai Ba’alawi atau Alawiyyin.
Beberapa generasi sesudah Imam Alwi, lahirlah peletak dasar Tarekat Alawiyah. Sang perintis itu bernama Sayyid Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali al-Husaini al-Hadhrami. Ia berasal dari Kota Tarim, Hadhramaut, pada 574 H/1176 M. Dua gelar di belakang namanya itu menandakan pengakuan masyarakat setempat terhadap kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, baik syariat maupun tasawuf.
Masyarakat Hadhramaut dan para pelaku tasawuf umumnya memandang, Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam adalah seorang wali Allah (waliyullah). Bahkan, ia diyakini sebagai pemuka para waliyullah. Permulaannya diibaratkan terminal akhir bagi ulama-ulama ahli tarekat. Karena itu, berbagai kisah beredar mengenai keistimewaan atau karamah dirinya.
Baca selanjutnya! Bagaimana kaum Ba'alawi sampai ke Indonesia?
Sayed Murtadha dalam artikelnya, “Jaringan Intelektual Tarekat Alawiyah di Aceh” (2019), mengatakan, Tarekat Alawiyah dikembangkan para keturunan Imam Muhammad al-Faqih, terutama sesudah wafatnya sang mursyid pada 653 H/1255 M. Terkait itu, ada dua orang tokoh keluarga Ba’alawi yang berjasa besar. Keduanya adalah Sayyid Abdullah al-Aydrus bin Abu Bakar as-Sakran (wafat 865 H) dan Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad (wafat 1132 H).
Yang pertama itu merupakan seorang sufi yang prolifik. Banyak buku yang telah dihasilkan Sayyid Abdullah al-Aydrus. Misalnya, Al-Kabirit al-Ahmar wa al-Iksir al-Akbar.
Di tengah kaumnya, ia pun sangat dihormati. Bahkan, Tarekat Alawiyah pada masanya lebih masyhur dengan sebutan Aydarussiyah. Secara kebahasaan, al-aydrus berarti ‘pemuka orang-orang pelaku tasawuf.’
Adapun Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad dipandang sebagai tokoh pembaru Tarekat Alawiyah pada masa sesudah al-Aydrus. Seperti pendahulunya, ia pun dikenal produktif dalam berkarya. Pada masanya, Alawiyah cenderung populer dengan sebutan Tarekat Haddadiyah.
Pada era Sayyid Abdullah, mulai tampak adanya diseminasi Alawiyah ke Nusantara. Misalnya, Sayed Murtadha menjelaskan, isi Tatsbitul Fuad mengungkapkan bahwa sang mursyid pernah menerima hadiah dari seorang alim asal Aceh. Informasi itu pun mengindikasikan, jaringan tasawuf Alawiyah antara Hadhramaut, India, dan Indonesia sangat mungkin sudah eksis jauh sebelum masa Sayyid Abdullah.
Antara abad ke-17 dan 20 M, mulai terjadi migrasi kaum habaib dari Yaman ke Anak Benua India. Tonggak pentingnya diawali oleh pindahnya keluarga Sayyid Syekh bin Abdullah al-Aydrus ke Ahmadabad, India. Majelis yang didirikannya di sana menjadi simpul terawal dari jaringan intelektual keluarga Ba’alawi di negeri tersebut.
Saudaranya, Sayyid Husain bin Abdullah al-Aydrus (wafat 990 H), pun ikut hijrah ke India. Para ulama dari masa-masa generasi berikutnya banyak menulis riwayat mengenai kakak beradik tersebut.
Dari Ahmadabad, para keturunan keluarga habaib itu lalu hidup menyebar ke berbagai daerah atau kawasan. Di antaranya kemudian menetap di daerah-daerah Nusantara, termasuk Aceh. Di Tanah Rencong, umpamanya, seorang habib al-Aydrus yang cukup terkenal adalah Sayyid Zainal Abidin bin Abdullah alias Syarif Keumala.