Penjara di Inggris Penuh Sesak, Hakim Diminta 'Perlambat' Proses Hukum
Pemerintah Inggris bermaksud mengurangi hukuman sejumlah narapidana.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Hakim di Inggris dan Wales telah diperintahkan untuk mempertimbangkan menunda persidangan para pelaku kejahatan karena kekhawatiran kondisi penjara yang penuh sesak, lapor Sky News, mengutip arahan internal yang telah dilihatnya.
Jika hukuman penjara dianggap sebagai kemungkinan hasil dari proses hukum, maka hakim harus mempertimbangkan menjadwal ulang proses persidangan sesingkat mungkin, tetapi tidak lebih dari 10 September, lapor Sky News pada Jumat (23/8).
Menurut laporan, arahan itu dikeluarkan oleh Hakim Green, wakil hakim penanggung jawab senior untuk Inggris dan Wales.
Langkah ini diambil karena "tantangan saat ini di penjara kita," berdasarkan laporan Sky News. Pemberitaan tersebut menambahkan bahwa aksi protes baru-baru ini telah memperburuk situasi yang sudah kritis, di mana kurang dari satu persen kapasitas sel penjara yang dapat digunakan selama beberapa tahun terakhir.
Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah Inggris bermaksud mengurangi hukuman sejumlah narapidana dan mengosongkan sejumlah ruang penjara, tetapi hal itu tidak akan terjadi hingga 10 September, menurut laporan tersebut. Kendati demikian, arahan itu tidak berlaku bagi narapidana yang dianggap sangat membahayakan masyarakat, tambah penyiar itu.
Sebuah program khusus juga dilaporkan diluncurkan awal pekan ini, di mana para pelaku kejahatan dapat ditempatkan di sel di kantor polisi hingga ruang penjara tersedia. Beberapa tersangka akan dibebaskan dengan jaminan sambil menunggu sidang mereka, sementara yang lain akan menghadapi kondisi yang lebih ketat, kata Sky News.
Sebelumnya pada akhir Juli, protes massal meletus di banyak kota di Inggris setelah seorang remaja berusia 17 tahun menyerang anak-anak dengan pisau di sebuah studio tari di Southport. Tiga anak tewas, beberapa anak lainnya dan dua orang dewasa dibawa ke rumah sakit dalam kondisi kritis.
Protes tersebut meningkat menjadi bentrokan dengan polisi dan kerusuhan setelah beredar desas-desus bahwa pelaku adalah seorang pengungsi. Kemudian terungkap bahwa pelaku adalah warga negara Inggris keturunan Rwanda. Lebih dari 1.000 orang ditangkap akibat kerusuhan itu, kata Dewan Kepala Kepolisian Nasional kepada Sputnik.