Muhammadiyah Minta Kapolri Bebaskan Pendemo yang Ditangkap karena Tolak RUU Pilkada

Kapolri juga diminta memerintahkan agar aparatnya tidak melakukan tindak kekerasan.

Edi Yusuf
Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus dan masyarakat menggelar aksi di depan kantor DPRD Provinsi Jabar, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (22/8/2024). Aksi tersebut untuk merespons kondisi demokrasi di Indonesia yang menurun, dan berbagi isu politik saat ini seperti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024.
Rep: Muhyiddin Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Taufiq Nugroho meminta kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo membebaskan pendemo yang ditangkap saat melakukan unjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). LBH AP PP Muhammadiyah juga meminta Kapolri memerintahkan jajaran aparat kepolisian untuk tidak melakukan melakukan tindakan kekerasan kepada para demonstran.

"Melihat praktik-praktik dugaan kekerasan yang dilakukan Aparat Keamanan, maka kami meminta Kapolri untuk memerintahkan Kapolda maupun Kapolres dan jajaranya untuk membebaskan seluruh peserta aksi demonstrasi yang ditahan," ujar Taufiq dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (24/8/2024).

Permintaan agar aparat kepolisian tidak melakukan tindak kekerasan karena demonstrasi adalah hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang 1945; 3. "(Kapolri) Memerintahkan Kapolda Metro Jaya dan Seluruh Kapolda di jajaran kepolisian hingga Kapolres untuk memastikan anggotanya tidak melakukan represi dan kekerasan," ucap Taufiq.

Selain itu, menurut dia, Kapolri juga harus memerintahkan Kapolda Metro Jaya dan Satuan Wilayah dan Kerja di bawahnya untuk memastikan akses bantuan hukum terbuka bagi para demonstran yang ditangkap. "Dan bagi yang mengalami luka akibat kekerasan dan sekarang masih ditahan agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pengobatan intensif," kata Taufiq.


Demonstrasi merupakan bentuk reaksi masyarakat....

Sementara itu, Sekretaris LBH AP PP Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih menjelaskan, demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia pada Kamis (22/8/2024) kemarin merupakan bentuk reaksi masyarakat atas aksi DPR melakukan pembangkangan terhadap Konstitusi dengan berupaya menggagalkan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Padahal, menurut dia, pasca Amandenen UUD 1945 jelas kita menganut paradigma “supremasi konstitusi” bukan lagi “supremasi parlemen”, artinya produk DPR berupa “UU” dapat dianulir oleh MK bila bertentangan dengan Konstitusi, sebaliknya Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat DPR, sehingga DPR tidak dapat membentuk UU yang oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

Aksi demonstrasi menentang arogansi DPR terjadi di berbagai kota di Indonesia, antara lain di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogjakarta, Malang, Palembang, Padang, Semarang, Makassar, Tasikmalaya, Purwokerto dan juga pertemuan besar dilakukan di kota lainnya seperti Lampung, Medan, Bali dll.  "Namun sayang, demontrasi tersebut diwarnai dengan berbagai bentuk dugaan kekerasan oleh aparat kepolisian," jelas Ikhwan.

Sementara, Komnas HAM menduga aparat kepolisian melakukan pengamanan secara berlebihan, represif, intimidatif hingga tindak kekerasan pada para demontran. Polisi membubarkan massa aksi di Makassar setelah diketahui Iriana Jokowi hendak melewati jalan yang sedang digunakan untuk berdemonstrasi.

Sementara di Bandung, 31 (tiga puluh satu) demonstran mengalami kekerasan diduga oleh oknum Kepolisian, 2 (dua) diantaranya mengalami kepala bocor. Sedangkan di Jakarta, Polisi mulai menembakkan gas air mata ketika massa aksi berhasil merobohkan pagar DPR. Setelah kerumunan terpecah, aparat kepolisian mulai memburu mahasiswa dan pelajar. Banyak massa aksi yang mendapatkan pengeroyokan dengan cara dipukul dengan tongkat dan menendang massa aksi.

Di Semarang, Polisi membubarkan massa aksi mahasiswa dengan menembakkan gas air mata dan pemukulan. Polisi juga memburu mereka menggunakan motor taktis dan menembakkan gas air mata ke arah massa. Setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit.

"Dugaan kekerasan yang dilakukan aparat, merupakan tindakan pelanggaran hukum dan tindakan melanggar Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak boleh arogan, tidak boleh melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa tidak terkendali," kata Ikhwan.



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler