Angka Pernikahan di Indonesia Turun, Apa Penyebabnya? Ini Kata Psikolog
Angka pernikahan di Indonesia turun 7,51 persen pada 2023.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,51 persen pada 2023, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) besar dugaan merupakan salah satu penyebab penurunan angka pernikahan.
Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, dr Ike Herdiana, menjelaskan bahwa KDRT dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban dan berdampak pada keputusan generasi muda untuk menikah. Menurut dia, pengaruh informasi instan termasuk KDRT, membuat generasi muda semakin selektif dalam memilih pasangan dan merasa takut untuk menikah.
“Generasi Z, dengan karakter terbuka, toleran, mandiri, dan menghargai kebebasan, menginginkan hubungan yang setara dan sehat. Pengaruh informasi tentang KDRT bisa membuat mereka semakin selektif dalam memilih pasangan. Banyak di antara mereka juga menilai pernikahan sebaiknya dilakukan ketika mereka sudah siap, baik secara emosional maupun finansial,” kata Ike Herdiana dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin (26/8/2024).
Dia menyebut beberapa faktor kompleks yang berperan dalam fenomena menurunnya angka pernikahan di Indonesia. Pertama, kata Ike, meningkatnya pemberdayaan perempuan, di mana hal ini membuat perempuan masa kini menjadi lebih mandiri dan memiliki akses terhadap pekerjaan.
“Kemandirian pada perempuan menyebabkan mereka tidak bergantung secara finansial pada pria. Selain itu, faktor kemiskinan juga menghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” kata dia.
Faktor ketiga adalah ketidaksiapan fisik, mental, dan finansial. Ia menjelaskan bahwa generasi muda saat ini cenderung ingin mencapai stabilitas finansial dan kematangan emosional sebelum memutuskan untuk menikah.
“Maraknya kasus perselingkuhan dan KDRT yang mudah diakses melalui media sosial juga telah mengikis kepercayaan Gen Z terhadap institusi pernikahan. Terakhir, munculnya gaya hidup bebas dan mandiri, salah satunya menormalisasi hubungan tanpa pernikahan semakin meningkatkan anggapan Gen Z untuk menunda pernikahan,” jelas Ike.
Sementara itu, dalam hal penanganan korban KDRT, Ike menekankan pentingnya intervensi psikologis yang dilakukan oleh profesional. Ini dinilai penting terutama jika trauma yang korban alami sangat mendalam.
“Korban perlu mendapatkan pendampingan untuk merasa aman, memahami bahwa mereka berada dalam hubungan yang tidak sehat, serta mengajak korban agar mengenal dan mencintai diri sendiri kembali,” kata Ike.