Bagaimana Hukum Islam tentang Barang Temuan?
Barang temuan dalam fikih diistilahkan sebagai al-luqathah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernahkah Anda menemukan barang entah punya siapa tergeletak di jalan? Dalam istilah fikih, benda itu berstatus barang temuan alias al-luqathah.
Al-luqathah adalah semua barang yang terjaga, yang tersia-sia, dan tidak diketahui pemiliknya. Umumnya berlaku untuk barang yang bukan hewan. Adapun hewan disebut ad-dhallah (tersesat).
Hukum mengambil barang temuan disunahkan, bahkan ada pendapat yang mengatakan diwajibkan. Jika di suatu tempat yang aman untuk barang yang ditemukan, apabila ditinggalkan atau dibiarkan, maka disunahkan untuk diambil.
Apabila barang itu ditemukan di tempat yang tidak aman untuk barang temuan tersebut, maka wajib diambil. Namun, apabila ia tahu bahwa dirinya mempunyai ketamakan untuk itu, maka haram baginya mengambil barang tersebut.
Dasar masalah ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Khalid, berkata, "Seseorang datang kepada Rasulullah SAW menanyakan tentang barang temuan, maka beliau bersabda, 'Lihatlah kemasannya dan pengikatkanya. Kemudian umumkan selama satu tahun hingga datang pemiliknya. Kalau tidak datang, maka barang itu terserah kamu.'
Orang itu lalu berkata, 'Bagaimana kalau kambing tersesat?'
Rasulullah menjawab, 'Apakah ia milikmu atau saudara kamu (orang lain) atau binatang buas?'
Orang itu bertanya lagi, 'Bagaimana kalau unta tersesat?'
Rasulullah menjawab, 'Biarkan dia tak ada urusannya denganmu, dia mempunyai kantong minuman sendiri, dan kakinya sudah bersepatu sendiri. Ia mencari air dan memakan dedaunan pohon, sampai dia diketemukan oleh tuannya' (hadis riwayat Bukhari).
Namun, hukum ini tidak berlaku bagi barang temuan (al-luqathah) yang ditemukan di Makkah. Bila ada barang temuan tertinggal di Tanah Suci, maka diharamkan mengambilnya kecuali untuk diumumkan. Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak boleh memungut barang temuannya (maksudnya Makkah) kecuali bagi orang yang akan memperkenalkannya.'
Wajib hukumnya bagi orang yang menemukan barang temuan untuk mengamati tanda-tanda yang membedakannya dengan barang lainnya, baik itu berbentuk tempatnya atau ikatannya, demikian pula yang berhubungan dengan jenis dan ukurannya.
Bagi yang menemukannya juga berkewajiban memelihara barang temuan itu seperti memelihara barangnya sendiri. Dalam hal ini, tidak ada bedanya untuk barang yang remeh atau barang penting.
Barang tersebut berada padanya sebagai barang wadi'ah (titipan). Ia tidak berkewajiban menjamin jika terjadi kecelakaan kecuali dengan sengaja. Kemudian setelah itu, ia berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakat dengan berbagai cara: di pasar dan di tempat-tempat lain yang diduga kuat pemiliknya ada di tempat itu.
Jika pemiliknya datang dan ia menyebutkan tanda-tanda dan ciri-ciri barang temuan tersebut dengan sempurna, maka si penemu dibolehkan menyerahkanya kepada orang tersebut, sekalipun tidak ada bukti nyata. Jika pemilik tidak datang, penemu berkewajiban mengumumkannya selama satu tahun.
Setelah satu tahun tidak ada yang mengaku, maka halal baginya bersedekah dengan barang tersebut atau memanfaatkannya sendiri baik dia orang kaya maupun miskin. Dan dia tidak berkewajiban menjaminnya.