Lebih Baik Muslim Miskin atau Kaya?

Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari.

Republika/Thoudy Badai
Warga beraktivitas di area pemukiman padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/9). Berdasarkan keterangan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada masa pandemi mengalami kenaikan sekitar 70 persen berbanding terbalik dengan jumlah penduduk miskin kota yang mengalami kenaikan sebesar 0,01 persen atau 1,12 juta orang per Maret 2021. Republika/Thoudy Badai
Rep: Fuji E Permana Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah SWT meluaskan rezeki seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Sebaliknya, ketika Allah SWT menyempitkan rezeki hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya. Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. 

Baca Juga


Rasanya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Demikian dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc dalam laman Rumah Fiqih.

KH Ahmad Sarwat menjelaskan, yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar, dan yang kaya tapi banyak bersedekah serta bersyukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf Radhiwallu anhum adalah tipe-tipe sahabat Nabi SAW yang diluaskan rezekinya oleh Allah SWT. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Namun, yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah SAW sendiri.

Siapa bilang Rasulullah SAW itu miskin dan tidak punya penghasilan? Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah SAW jauh melebihinya. 

Memangnya apa sih profesi Nabi Muhammad SAW? Nabi Muhammad SAW bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi Nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau jalani setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi Nabi.

Pemasukan Nabi Muhammad SAW adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah SWT beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Jika suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka beliau punya hak 20 persen dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah SAW sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.

 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

۞ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَاَنَّ لِلّٰهِ خُمُسَهٗ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ 

Ketahuilah, sesungguhnya apapun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad) pada hari al-furqan (pembeda), yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal Ayat 41)

Namun semua hak yang Nabi Muhammad SAW terima itu tidak menjadikan beliau hidup di istana megah atau mengoleksi semua baju termahal dunia atau makan makanan terlezat di dunia. Semua tidak terjadi pada Rasulullah SAW, sebab semua harta yang Nabi SAW dapatkan dikembalikan lagi buat para fakir miskin dan orang-orang tidak punya yang membutuhkan.

Kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW sendiri terlalu bersahaja, tidur hanya beralas tikar kasar yang kalau beliau bangun, maka masih tersisa bekas cekatannya di kulit beliau. Bahkan pernah tiga bulan dapur rumah beliau tidak mengepulkan asap.

Demikian juga sahabat Nabi Muhammad SAW seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, apa sih yang beliau tidak punya dari harta kekayaan dunia. Beliau seorang saudagar besar yang kalau mau menumpuk kekayaan, tidak akan habis dimakan tujuh turunan. 

Tetapi seluruh harta yang Abu Bakar Ash-Shiddiq miliki diinfaqkan (sedekah) ke baitul Muslimin. Ketika ditanya harta apa yang disisakan untuk anak dan istrinya, Abu Bakar hanya menjawab bahwa untuk anak dan istri adalah Allah SWT. 

Perilaku gemar infaq (sedekah) ini sampai membuat Umar bin Al-Khattab iri dengan Abu Bakar. Umar baru mampu menginfakkan 50 persen dari total hartanya saja. 

Bahkan pernah Umar bin Al-Khattab mendapatkan hak eksklusif atas perkebunan kurma di Khaibar. Kalau dinilai nominal, maka hak itu akan membuatnya sangat kaya raya dan bisa membangun istana termegah di muka bumi dengan biaya pribadi, tetapi beliau justru mewakafkannya di jalan Allah. Padahal perkebunan kurma itu selalu menghasilkan panen tiap tahun sepanjang masa.

Utsman bin Al-Affan juga sangat tidak perhitungan dalam bersedekah. Utsman tidak bisa melihat orang susah, pasti langsung ingin membantu dengan hartanya yang sangat berlimpah.

Kesimpulannya, dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc, bahwa Islam sangat tidak mengharamkan kekayaan, bahkan Nabi dan para sahabat boleh dibilang termasuk jajaran orang terkaya dengan usaha dan jerih payah mereka, tetapi yang menarik kita kaji adalah sikap mereka setelah menjadi miliarder itu sendiri. Tidak ada keinginan untuk bermewah-mewah, apalagi pamer kekayaan. Justru semuanya malah dinafkahkan ke baitul-mal muslimin.

Barangkali inilah yang sulit kita contoh di masa sekarang. Untuk sekedar jadi kaya, bikin usaha, punya beberapa perusahaan multinasional, mungkin kita bisa mencapainya. Tetapi bisakah kita tetap berada di jalan para sahabat Nabi itu ketika kekayaan sudah di tangan?

Tentu ceritanya akan lain jika kita sendiri yang mengalaminya. Sehingga banyak orang yang terjebak dengan situasi ini, lalu lebih memilih hidup miskin saja. Tentu ini masalah pilihan hidup dan selera masing-masing individu.

Yang penting, Islam sama sekali tidak mengharamkan umatnya jadi orang kaya, sebab Nabi dan para sahabat pun banyak yang kaya. Tapi kalau tidak mampu jadi orang kaya, hidup jadi orang miskin saja pun tidak apa-apa. 

"Tapi biar pun jadi orang miskin, jangan dikira masalah sudah selesai. Selama nyawa masih dikandung badan, selama itu pula ujian dan cobaan masih harus kita hadapi. Wallahu a'lam bishshawab," tulis KH Ahmad Sarwat Lc.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler