Protes Keras RS Medistra Soal Jilbab, Siapa Diani? Kakeknya Tokoh Utama Muhammadiyah

Dr Diani Kartini melayangkan protes terhadap RS Medistra

Dok Pri
Diani Kartini
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dokter spesialis bedah onkologi senior di RS Medistra Jakarta Selatan Diani Kartini memutuskan keluar dari institusi tersebut, pada Sabtu 31 Agustus 2024.

Baca Juga


Langkah keras tersebut sebagai protes lantaran tempat dia bekerja selama 10 tahun tersebut, diduga kuat membatasi perawat dan dokter umum Muslimah mengenakan hijab. Surat protes yang dia tulis pun viral di media sosial.

Siapa sosok dr Diani hingga berani lantang bersuara? Ternyata dr Diani lahir dari keturunan yang bukan sembarangan. Aktivis muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, menjelaskan siapa sebenarnya dr Diani.

Dr Diani adalah putri dari Mudrick M Sangidu, salah satu tokoh Muhammadiyah di Solo, yang dikenal kritis dengan penguasa. Mudrick sendiri adalah sosok yang menginisiasi berdirinya Mega Bintang, gerakan yang diciptakan pada zaman Orde Baru oleh simpatisan PDI-pro Megawati dan pendukung PPP untuk melawan "kuningisasi" dan memperjuangan demokrasi di Indonesia.

Dari jalur sang ayah, menurun darah pergerakan Muhammadiyah yang sangat kental. Kakek dr Diani, alias ayah dari Mudrick adalah Kiai Haji Muhammad Sangidu, yang dikenal sebagai Kanjeng Raden Penghulu Haji (K R P H ) Muhammad Kamaluddiningrat (1883–1980) adalah Kepala Penghulu[a] Kesultanan Yogyakarta ke-13 yang dilantik pada 1914 untuk menggantikan penghulu sebelumnya, K R P H Muhammad Khalil Kamaluddiningrat.

Dikutip dari wikipedia, Sangidu merupakan kerabat Ahmad Dahlan dan menjadi pendukung organisasi Muhammadiyah yang didirikan Dahlan.

Dia dikenal sebagai pemegang stamboek (kartu anggota Muhammadiyah) pertama, karena merupakan anggota pertama organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dia adalah sosok yang mengusulkan nama "Muhammadiyah" kepada Dahlan.

Karena itulah, Mustofa meyakini keberanian lantang dan bersuara ke publik diwarisi dari keluarga besarnya. “Ya kemungkinan besar diperoleh dari keberanian dan darah pergerakan keluarga besarnya,” kata dia kepada Republika.co.id., Selasa (2/9/2024).

Mustofa menjelaskan, segenap keluarga besar Muhammadiyah memberikan dukungan penuh kepada dr Diani. Mustofa menuturkan, informasi yang dia terima bahkan mantan Umum Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin, telah berkomunikasi dengan dr Dian memberikan dukungan moral.

Mustofa mengatakan, pembatasan jilbab oleh siapapun atau instansi manapun adalah bentuk nyata dari Islamofobia. Apalagi diberlakukan di ruang publik. “Saya rasa bentuk Islamofobia yang tak beralasan karena diberlakukan di ruang pelayanan publik,” tutur dia.

Dia berharap agar RS Medistra benar-benar memperhatikan kasus ini dan permintaan maaf bukan berarti persoalan dibiarkan menguap begitu saja. “Minta maaf bukan berarti masalah selesai. Karena diduga banyak praktik serupa kan?,” tutur dia.

Halaman selanjutnya ➡️

Dokter spesialis bedah onkologi Diani Kartini memutuskan untuk keluar dari RS Medistra Jakarta Selatan, Sabtu (31/8/2024).

Langkah ini dia ambil setelah rumah sakit tempat dia bekerja sejak 2010 itu, melarang perawat dan dokter umum mengenakan jilbab. “Dan saya juga langsung keluar tidak bekerja di Medistra lagi setelah peristiwa itu, tepatnya kemarin, Sabtu 31 Agustus 2024,” ujar dia kepada Republika.co.id, Ahad (1/9/2024). 

Dia mengaku sama sekali tidak ada penyesalan dan kata mundur terkait hal-hal yang prinsip, termasuk soal menjalankan keyakinan Islam yaitu berhijab. "Tidak perlu menyesal, insya Allah rezeki ada dimana pun," kata dia. 

Dia mengaku, Medistra telah menghubunginya dan dirinya pun telah memberikan masukan terkait kebijakan tersebut. Tetapi dia menegaskan tak tahu lagi apa langkah Medistra ke depannya merespons kasus ini.

Dugaan larangan jilbab untuk perawat dan dokter umum itu terungkap setelah surat protes dilayangkan salah satu dokter spesialis yang bekerja di Medistra, Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K) beredar di jagat maya.

Surat yang tertulis 29 Agustus 2024 dan ditujukan kepada direksi RS Medistra tersebut berbunyi demikian: 

“Selamat Siang Para Direksi yang terhormat. Saya Ingin menanyakan terkait persyaratan berpakaian di RS Medistra. Beberapa waktu lalu, asisten saya dan juga kemarin kerabat saya mendaftar sebagai dokter umum di RS Medistra.

Kebetulan keduanya menggunakan hijab. Ada pertanyaan terakhir di sesi wawancara, menanyakan terkait performance dan RS Medistra merupakan RS internasional, sehingga timbul pertanyaan Apakah bersedia membuka hijab jika diterima.

Saya sangat menyayangkan jika di zaman sekarang masih ada pertanyaan rasis. Dikatakan RS Medistra berstandar internasional tetapi mengapa masih rasis seperti itu?

Salah satu RS di Jakarta selatan, jauh lebih ramai dari RS Medistra, memperbolehkan semua pegawai baik perawat, dokter umum, spesialis, dan subspesialias menggunakan hijab.

Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS Medistra untuk golongan tertentu sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien. Sangat disayangkan sekali dalam wawancara timbul pertanyaan yang rut pendapat saya ada rasis. Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan sub spesialis di RS Medistra? Terima kasih atas perhatiannya.”

Halaman selanjutnya ➡️

 

Dikonfirmasi Republika.co.id, dr Diani membenarkan bahwa surat tersebut memang dia tulis dan telah serahkan salinan halusnya (soft copy) kepada RS Medistra. “Memang benar itu tulisan keberatan sy ke managemen Medistra,” kata dia, Ahad (1/9/2024).

Surat yang ditulis Dr dr Diani Kartini, SpB Subsp.Onk (K) kepada RS Medistra - (Dok Istimewa )

Surat tersebut, kata dia, semata ditulis dengan harapan Medistra lebih membuka terkait dengan persoalan hijab untuk perawat dan dokter.

 

Dia mengungkapkan, selama ini dan sejauh yang dia ketahui memang kebijakan larangan berhijab diberlakukan untuk perawat dan dokter umum, sementara untuk dokter spesialis dan subspesialias bebas mengenakan hijab. Diskriminasi ini yang dia tentang keras. “Ini saya yang tidak setuju, mengapa ada perbedaa?”, kata dia.

Terkait kebijakan tersebut, beberapa bulan dr Diani telah mempertanyakannya ke pihak manajemen yang mengesankan jawabannya boleh. Ternyata, saat ada wawancara dokter umum beberapa waktu lalu masih ada pertanyaan tentang membuka hijab. “Itu kan wawancara yang tidak bermutu,” kata dia.

Padahal, menurut dr Diani, RS Medistra adalah rumah sakit umum yang tidak terkait dengan golongan tertentu misal RS Kriten, Katolik, Hindu, dan lainnya. Jika demikian, pertanyaan seputar hijab pun bisa dimaklumi, sekalipun tetap saja tak patut.

Halaman selanjutnya ➡️

 

Tak heran, kata dr Diani, sejumlah perawat RS Medistra terlihat lepas hijab selama bekerja tetapi mereka kembali mengenakannya setelah pulang dinas. Seakan tak ada pilihan lain, karena pihak RS memberlakukan kebijakan rasis tersebut.

Tak sedikit perawat yang memilih keluar akibat tak nyaman dengan aturan larangan hijab Medistra. “Ya karena mungkin tidak ada pilihan lain. Cari kerja juga tidak mudah kan?,” ujar dia.

Diani pun membandingkan RS Medistra dengan RS lainnya baik swasta atau milik pemerintah. Di RSCM misalnya, semua perawat diperkenankan berhijab. Bahkan informasi yang dia terima di RS Budha Tzhu Chi sekalipun, perawat Muslimah diizinkan untuk mengenakan hijab.

Sebab bagaimanapun, kata dia, tak ada hubungannya jilbab dengan kerja-kerja kemedisan. Jilbab tak mengganggu pekerjaan sama sekali, meski ada aturannya model jilbab seperti apa yang mesti dikenakan. “

“Saya rasa pakai jilbab ya tidak masalah sebagai dokter dan perawat. Bahkan teman-teman pun operasi juga memakai hijab,” kata dia. 

Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Medistra Dr Agung Budisatria menyampaikan permohonan maaf atas beredarnya kabar tersebut.

"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat isu diskriminasi yang dialami oleh salah seorang kandidat tenaga kesehatan dalam proses rekrutmen," kata Agung dalam keterangannya.

Agung menambahkan, hal tersebut kini tengah dalam penanganan manajemen Rumah Sakit Medistra.

"Rumah Sakit Medistra inklusif dan terbuka bagi siapa saja yang mau bekerja sama untuk menghadirkan layanan kesehatan terbaik bagi masyarakat," ungkapnya.

Lebih lanjut, Agung menyampaikan, ke depan pihaknya akan terus melakukan proses kontrol ketat terhadap proses rekrutmen ataupun komunikasi.

"Sehingga pesan yang kami sampaikan dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak," ujarnya. 

Infografis Syarat Berjilbab - (Dok Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler