Mengapa Kasus Pelarangan Jilbab Terus Berulang? Ini Dua Penyebabnya Menurut Ombudsman

Tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar atau melarang jilbab.

ANTARA FOTO/RIFQI RAIHAN FIRDAUS
Seorang pedagang menata jilbab dagangannya di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (18/11/2023). Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) menyebut akan mengatur harga pokok penjualan (HPP) jilbab di pasaran untuk menjaga penjualan produk jilbab lokal yang hanya mencapai 25 persen dari 1,06 miliar jilbab pada tahun 2022.
Rep: A Syalaby/Nashih Nasrullah Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Berulangnya kasus pelarangan jilbab di Indonesia disayangkan Ombudsman RI. Usai terkuaknya pemaksaan pelepasan jilbab pada anggota Paskibraka yang diperintahkan oleh Badan Pembinaan Ideologi dan Pancasila (BPIP) menjelang 17 Agustus 2024 lalu, kini pelarangan jilbab juga dialami dokter di rumah sakit swasta. Sebelumnya, kasus serupa dialami pramugari dari beberapa maskapai penerbangan.

Baca Juga


Anggota Ombudsman RI (ORI) Indraza Marzuki Rais mengungkapkan, setidaknya ada dua penyebab mengapa praktik tersebut kembali terulang. Pertama, ujar dia, literasi atas konsep toleransi masih kurang, bukan hanya di masyarakat tetapi juga di tataran elite. Dia mencontohkan, bagaimana Kepala BPIP yang bisa membuat aturan melepas jilbab bagi Paskibraka.“Di atas, konsepnya masih berantakan memahami toleransi,”ujar Indraza saat berbincang dengan Republika pada Senin (2/8/2024).

Akar masalah berikutnya, ujar anggota ORI yang sebelumnya juga aktif di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengatakan, tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar. Setelah kasusnya selesai, ujar Indraza, maka pihak yang melarang jilbab tak dikenakan sanksi apapun meski sekadar sanksi sosial. “Budaya malu di Indonesia masih kurang, mentang-mentang berkuasa,”kata dia.

Tidak hanya itu, minimnya literasi, ujar dia, juga berdampak pada warga yang dirugikan akibat pelarangan jilbab sehingga tidak memperjuangkan haknya. Padahal, dia mengungkapkan, mereka bisa saja menggugat ke pengadilan.

Dia juga menegaskan, aturan yang sama juga harus dikenakan pada pihak-pihak yang mewajibkan jilbab padahal berada di ranah umum. Dia mencontohkan, kasus di Yogyakarta dan di Sumatra Barat dimana ada siswi yang dipaksa untuk mengenakan jilbab. Padahal, ujar dia, sekolah tersebut bukan merupakan sekolah agama. “Kalau sekolah Muhammadiyah kita bisa paham dan wajar jika diwajibkan berjilbab,”kata dia.

Terkait dengan kasus pelarangan jilbab di RS Medistra, Indraza mengaku sangat menyayangkannya. “Saya menyayangkan sekali dan berharap bahwa pelarangan ini tidak ada di negeri ini,”kata dia.

 

Kasus di RS Medistra..

Setelah polemik kebijakan larangan berhijab Paskibraka Nasional 2024, ternyata masih saja ada lembaga yang melarang penggunaan hijab di instansi mereka. Teranyar, adalah lembaga medis Rumah Sakit Medistra di Jakarta Selatan.

Dugaan pembatasan jilbab untuk perawat dan dokter umum itu terungkap setelah surat protes dilayangkan salah satu dokter spesialis yang bekerja di Medistra, dokter bedah onkologi Diani Kartini beredar di jagat maya.

 

Surat yang tertulis 29 Agustus 2024 dan ditujukan kepada direksi RS Medistra tersebut berbunyi demikian: 

“Selamat Siang Para Direksi yang terhormat. Saya Ingin menanyakan terkait persyaratan berpakaian di RS Medistra. Beberapa waktu lalu, asisten saya dan juga kemarin kerabat saya mendaftar sebagai dokter umum di RS Medistra.

Kebetulan keduanya menggunakan hijab. Ada pertanyaan terakhir di sesi wawancara, menanyakan terkait performance dan RS Medistra merupakan RS internasional, sehingga timbul pertanyaan Apakah bersedia membuka hijab jika diterima.

Saya sangat menyayangkan jika di zaman sekarang masih ada pertanyaan rasis. Dikatakan RS Medistra berstandar internasional tetapi mengapa masih rasis seperti itu?

Salah satu RS di Jakarta selatan, jauh lebih ramai dari RS Medistra, memperbolehkan semua pegawai baik perawat, dokter umum, spesialis, dan subspesialias menggunakan hijab.

Perawat di RS Medistra. RS Medistra meminta maaf atas dugaan diskriminasi atas pelarangan memakai jilbab kepada calon dokter saat perekrutan. - (Dok RS Medistra)

Jika RS Medistra memang RS untuk golongan tertentu, sebaiknya jelas dituliskan saja kalau RS Medistra untuk golongan tertentu sehingga jelas siapa yang bekerja dan datang sebagai pasien. Sangat disayangkan sekali dalam wawancara timbul pertanyaan yang menurut pendapat saya ada rasis. Apakah ada standar ganda cara berpakaian untuk perawat, dokter umum, dokter spesialis, dan sub spesialis di RS Medistra? Terimakasih Atas perhatiannya.”

Dikonfirmasi Republika.co.id, dr Diani membenarkan bahwa surat tersebut memang dia tulis dan telah serahkan salinan halusnya (soft copy) kepada RS Medistra. “Memang benar itu tulisan keberatan saya ke manajemen Medistra,” kata dia, Ahad (1/9/2024).

RS Medistra Jakarta akhirnya mengeluarkan permohonan maaf. Dalam suratnya, RS Medistra mempersilakan bagi siapa pun yang ingin bekerja sama untuk melayani masyarakat di bidang kesehatan.

Mereka juga menyatakan ke depannya akan terus melakukan proses kontrol ketat terhadap proses rekrutmen ataupun komunikasi. Sehingga, kata RS Medistra dalam suratnya, pesan yang mereka sampaikan dapat dipahami dengan baik oleh semua pihak.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler