Pengamat Soroti Biaya Sekolah Dasar yang Picu Inflasi: Pendidikan Masih Jadi Barang Mewah
BPS mencatat inflasi biaya sekolah dasar mencapai 1,59 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti tentang biaya sekolah yang memicu inflasi dan anggaran pendidikan yang dinilai salah sasaran. Hal itu menanggapi laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa biaya pendidikan merupakan penyumbang utama inflasi Agustus 2024.
Menurut catatan BPS, tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar sebesar 1,59 persen, diikuti oleh biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, biaya akademi atau perguruan tinggi 0,46 persen, serta biaya sekolah menengah atas 0,36 persen. Dilihat dari kelompok pendidikan, komoditas utama penyebab inflasi pada Agustus 2024 adalah biaya iuran SD dan SMP.
Kornas JPPI Ubaid Matraji menyoroti kasus di Jakarta misalnya menunjukkan bahwa ternyata banyak lembaga pendidikan, khususnya sekolah dasar yang menaikkan iuran sekolah sehingga memicu inflasi Agustus 2024. Hal senada terjadi di Jawa Timur. Pada Juli 2024 inflasi mencapai 2,13 persen, dengan penghitungan pengeluaran terbesar di biaya pendidikan.
“Ini kenyataan aneh. Bagaimana bisa, pendidikan dasar yang mestinya wajib dibiayai dan ditanggung oleh pemerintah kok malah jadi penyumbang inflasi terbesar,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis, Selasa (3/9/2024).
Ubaid berpendapat, tarif biaya sekolah yang terus meroket ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melaksanakan amanah konstitusional pasal 31 UUD 1945 mengenai kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan bagi setiap warga negara.
Menurutnya, pendidikan di Indonesia rupanya masih saja jadi barang mewah yang mahal. Mengutip data survei HSBC pada 2018, Indonesia termasuk dalam 15 besar negara dengan biaya pendidikan termahal di dunia. Rata-rata nasional, dari jenjang SD sampai sarjana, membutuhkan biaya sejumlah 18.422 dolar AS atau sekitar Rp 287 juta. Jumlah biaya ini tergolong lebih tinggi dari negara Perancis yang mencapai 17.708 dolar AS atau sekitar Rp 260 juta.
“Karena biaya pendidikan dasar yang masih tinggi, maka masih ditemukan jutaan anak-anak tidak bisa sekolah. Hal ini jelas berdampak pada keberlanjutan anak untuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Puncak kesenjangan dan ketimpangan akan kian terlihat nyata di jenjang pendidikan tinggi,” ujar dia.
Faktor penyebab masih mahalnya sekolah....
Ubaid menilai ada tiga faktor utama yang memicu terjadinya kondisi memprihatinkan tersebut. Pertama, lemahnya political will dari pemerintah. Dalam mengurusi pendidikan, hingga kini pemerintah belum memiliki peta jalan yang jelas. Kenyataannya, ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi masalah yang turun-temurun terjadi, seiring dengan bergantinya presiden ataupun menteri.
“Jangankan sesuai sasaran dan tujuan, menyerap saja pemerintah masih kewalahan. Tahun 2023, ditemukan Rp111 trilliun anggaran pendidikan tak terserap. Hingga kini masih belum jelas, apa saja dan mengapa bisa terjadi,” tutur Ubaid.
Kedua, alokasi anggaran pendidikan yang salah sasaran. Anggaran pendidikan tiap tahun selalu naik, tetapi tidak jelas pula dampaknya. Sebab tidak menyelesaikan masalah dasar pendidikan soal kemudahan akses sekolah bagi semua anak didik tanpa terkecuali.
“Anggaran pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi untuk pelaksanaan program wajib belajar dengan bebas biaya saja tidak mampu dipenuhi. Yang ada malah sebagian besar anggaran pendidikan disunat oleh belanja pegawai dan juga belanja kementerian dan lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Tahun depan, anggaran pendidikan juga kembali akan disunat oleh agenda makan bergizi gratis. Sampai kapan penganggaran yang salah sasaran ini akan diteruskan?” ungkap Ubaid.
Adapun faktor ketiga yakni kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Agenda komersialisasi dan privatisasi pendidikan dinilai begitu nyata dirasakan oleh masyarakat. Semakin tinggi jenjang pendidikan, peran pemerintah akan semakin kecil, sementara peran swasta kian besar. Hal ini bisa dilihat secara sederhana dari sisi jumlah lembaga pendidikan.
Di jenjang pendidikan dasar jumlah SDN mencapai 75 persen, SMPN 42 persen, SMAN/SMKN 33 persen, dan PTN hanya 9 persen (BPS 2023). “Tentu ini sangat merepotkan masyarakat golongan kelas menengah dan bawah. Mereka akan kesulitas akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena harus memenuhi tarif biaya pendidikan yang tambah mahal,” tutup Ubaid.