Terungkap, Dugaan Bullying Dokter Residen tak Cuma di Undip Menurut Penelusuran Kemenkes

Kasus perundungan di PPDS sekitar 30 persen dari total laporan diterima Kemenkes.

ANTARA FOTO/Aji Styawan
Sejumlah civitas akademika dan alumni Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (UNDIP) memberi dukungan kepada Dekan FK UNDIP Yan Wisnu Prajoko sekaligus sebagai Dokter Spesialis Bedah dengan Subspesialis Bedah Onkologi serta dosen pendidikan dokter spesialis-subspesialis yang aktivitas klinisnya diberhentikan sementara di RSUP Kariadi Semarang, saat aksi solidaritas bertajuk Bersama Membangun Pendidikan Bermartabat di FK Kedokteran UNDIP, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024). FK Kedokteran UNDIP menentang pemberhentian aktivitas klinis dokter Yan Wisnu di RSUP Kariadi oleh Kemenkes terkait dugaan adanya kasus perundungan yang menyebabkan salah satu mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi berinisial ARL (30) diduga meninggal karena bunuh diri, serta membuka diri untuk keadilan bagi semua pihak dalam kasus yang masih dalam proses investigasi oleh Kemenkes dan Polda Jateng itu.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusul kasus kematian dokter Aulia Risma Lestari yang kini tengah menyita perhatian publik, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga tengah melakukan penelusuran dugaan perundungan dokter residen di tempat selain yang diduga terjadi di Universitas Dipenogoro (Undip) Semarang. Menurut Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono, beberapa kasus yang dilaporkan langsung ke Kemenkes, namun masih memerlukan bukti untuk menentukan terjadi perundungan atau tidak.

Baca Juga


"Ada sekitar 1.000 lebih perundungan yang kita klarifikasi ternyata sebagian besar bukan perundungan. Yang perundungan itu sekitar 30 persen yang memang benar-benar perundungan," kata Dante, kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/9/2024).

Dante menegaskan,  praktik perundungan tidak boleh terjadi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di manapun di seluruh Indonesia.  "Kita ingin bahwa perundungan itu tidak akan ada di Program Pendidikan Dokter Spesialis di seluruh Indonesia ya," kata Dante.

Dante mengatakan apa yang terjadi pada Aulia Risma Lestari perlu menunggu hasil investigasi resmi pihak kepolisian. Kemenkes akan mengeluarkan sikap atau kesimpulan manakala hasil investigasi sudah disampaikan.

"Bahwa perundungan modelnya itu seperti apa, kriteria seperti apa, harus kita klarifikasi bersama-sama," ujar Wamenkes.

Dante juga menekankan bahwa dokter merupakan profesi mulia sehingga harus diawali dengan hati yang bersih dari awal menjalankan pendidikan. Kemenkes ingin memastikan tidak ada aksi-aksi senioritas ataupun perundungan di kalangan mahasiswa PPDS.

Bullying di Program Pendidikan Dokter Spesialis - (Infografis Republika)

 

Susai peresmian Gedung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah Denpasar, Bali, Senin (2/9/2024), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menilai perundungan yang menimpa Aulia Risma Lestari sudah keterlaluan. Karena diduga melecehkan banyak aspek baik psikologis, seksual, bahkan terjadi pemerasan hingga mengakibatkan Aulia bunuh diri.

"Perundungan ini kan sudah keterlaluan, dirundung secara fisik dan mental, sexual harrasment (pelecehan seksual), diminta uang juga," ucap Budi.

Budi pun terus mendorong proses hukum kasus dugaan perundungan dan pemerasan di Undip Semarang yang berujung pada bunuh diri Aulia Risma. Budi menginginkan ada efek jera dari proses hukum kasus ini.

"Karena itu sudah masuk, saya mau kasi ke polisi saja. Biar langsung dipidanakan saja supaya semuanya jelas, orang-orangnya juga tahu dan ada efek jeranya," kata Budi.

Terpisah, Wakil Rektor IV Undip Wijayanto, menginginkan adanya investigasi komprehensif dalam kasus kematian Aulia Risma Lestari. Alih-alih menyoroti dugaan praktik perundungan, Wijayanto menempatkan perhatiannya pada jam kerja berlebih yang harus dijalani peserta PPDS anestesia.

"Sebenarnya akarnya kan ada kebijakan dari (RSUP) Kariadi, yang juga kebijakan Kemenkes sebenarnya, bahwa jam kerja itu minimal 80 jam seminggu. Jadi bisa luar biasa berlebihan," katanya kepada awak media seusai menghadiri apel di Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024).

Menurutnya, dengan kebijakan tersebut, seorang dokter anestesia, termasuk kelompok residen, bisa bekerja 24 jam sehari. "Ini aturan dari (RSUP) Kariadi yang arahannya dari Kemenkes. Praktik itu yang membuat siapa pun yang ada di sana, mau dokter PPDS, mau dokter senior, semua akan mengalami bekerja dalam tekanan yang luar biasa," ucap Wijayanto.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler