Dituding Undip Pekerjakan Dokter Berlebihan, Kemenkes: Jam Kerja PPDS Diatur Universitas
Undip menyebut jam kerja dokter di RS Kariadi 80 jam seminggu.
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi tidak mengatur jam kerja mahasiswa yang melaksanakan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di RS tersebut. Kemenkes justru menyebut jam kerja para peserta PPDS diatur Fakultas Kedokteran (FK) dari universitas terkait.
"Mengenai jam kerja, selama ini pengaturan jam kerja PPDS ini tidak diatur oleh RS karena (mereka) ini peserta pendidikan yang merupakan peserta dari universitas," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, kepada Republika lewat pesan singkat ketika dimintai konfirmasi perihal tudingan Universitas Diponegoro (Undip) tentang adanya jam kerja eksesif mahasiswa PPDS di RSUP Dr Kariadi, Selasa (3/9/2024).
Siti menambahkan, RSUP Dr Kariadi hanya mengatur jam kerja dokter yang berpraktik di RS tersebut. "Karena selama ini antara RS dan FK tidak ada MoU (nota kesepahaman) yang mengatur terkait hal ini," ujarnya.
Republika bertanya kepada Siti tentang apakah Kemenkes mengetahui dugaan bahwa para peserta PPDS anestesia di RSUP Dr Kariadi bekerja hingga 80 jam sepekan. "Data persisnya ada di tim investigasi," jawab Siti merujuk pada tim yang menyelidiki kasus kematian Aulia Risma Lestari (ARL), mahasiswi PPDS Anestesia Undip di RSUP Dr.Kariadi.
Republika kemudian bertanya pada Siti, jika ada temuan tentang jam kerja eksesif bagi para peserta PPDS, apakah Kemenkes akan melakukan evaluasi. "Iya pasti. Tapi (jam kerja) ini kan dari fakultas yang mengatur," kata Siti.
Dia kemudian merespons pernyataan Undip yang menduga bahwa ARL mengakhiri hidupnya karena mengalami tekanan akibat jam kerja berlebih di RSUP Dr Kariadi. "Penyebab kematian nanti tentunya akan disampaikan pihak berwenang. Kemenkes dalam hal ini melakukan investigasi dalam rangka mencari apakah ada faktor perundungan yang terjadi pada almarhumah," ucap Siti.
Tudingan pihak Undip.. baca di halaman selanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Rektor IV Undip, Wijayanto, mengatakan, dia menginginkan adanya investigasi komprehensif dalam kasus kematian ARL. Dokter residen anestesi berusia 30 tahun itu diduga bunuh diri karena mengalami perundungan dari para seniornya.
Alih-alih menyoroti dugaan praktik perundungan, Wijayanto menempatkan perhatiannya pada jam kerja berlebih yang harus dijalani peserta PPDS anestesia. "Sebenarnya akarnya kan ada kebijakan dari (RSUP) Kariadi, yang juga kebijakan Kemenkes sebenarnya, bahwa jam kerja itu minimal 80 jam seminggu. Jadi bisa luar biasa berlebihan," katanya kepada awak media seusai menghadiri apel di Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024).
Menurutnya, dengan kebijakan tersebut, seorang dokter anestesia, termasuk kelompok residen, bisa bekerja 24 jam sehari. "Ini aturan dari (RSUP) Kariadi yang arahannya dari Kemenkes. Praktik itu yang membuat siapa pun yang ada di sana, mau dokter PPDS, mau dokter senior, semua akan mengalami bekerja dalam tekanan yang luar biasa," ucap Wijayanto.
Dia menduga, jam kerja eksesif para peserta PPDS anestesia tidak hanya terjadi di RSUP Dr Kariadi. Wijayanto meyakini kondisi tersebut juga berlangsung di RS-RS besar yang menjalin kerja sama dengan FK-FK di Indonesia. "Jadi tidak hanya di (RSUP) Kariadi. Hanya saja Kariadi salah satu contoh di mana overwork kerja itu luar biasa," katanya.
Sementara itu manajemen RSUP Dr Kariadi menolak pandangan bahwa mereka mempekerjakan para peserta PPDS. Manajer Hukum Humas RSUP Dr Kariadi, Vivi Vira Viridianti, mengatakan, sebagai rumah sskit rujukan untuk Jawa Tengah dan Kalimantan, RSUP Dr Kariadi membuka layanan operasi 24 jam.
"Kita melayani masyarakat luas dalam pelayaan kesehatan. IGD harus 24 jam. Rawat inap juga harus 24 jam. Juga operasi yang gawat darurat, yang tengah malam, itu juga harus ada," kata Vivi saat ditemui awak media di RSUP Dr Kariadi, Semarang, Senin lalu.
Vivi kemudian merespons pertanyaan tentang apakah mahasiswa PPDS anestesia ikut membantu pelayanan RSUP Dr Kariadi. "Sebenarnya bukan membantu. PPDS itu peserta pendidikan dokter spesialis. Artinya bukan membantu, tapi pendidikan," ucapnya.
"Kalau kata membantu tuh gimana ya. Mereka kan sekolah, pendidikan. Berarti di sini sedang pendidikan. Jadi bukan diperbantukan, bukan dipekerjakan. Bahasanya agak salah," kata Vivi.
Dia pun menolak jika mahasiswa PPDS anestesia disebut dipekerjakan. "Kalau dipekerjakan tidak begitu ya. Ibaratnya sekolah magang, itu bukan dipekerjakan. Proses pendidikan," ujar Vivi.