Kemenkes Siapkan Sanksi Hingga Pencabutan Surat Izin Praktik Bagi Pelaku Perundungan

Sanksi terberat yaitu pencabutan surat izin praktik dan surat tanda registrasi.

ANTARA FOTO/Aji Styawan
Sejumlah lilin menghiasi poster duka meninggalnya dokter ARL yang diduga menjadi korban perundungan di PPDS Anastaesi Undip, Semarang, Jawa Tengah.
Rep: Antara Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan akan memberikan sanksi terhadap pelaku perundungan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) apabila terbukti bersalah. Sanksi yang disiapkan bermacam-macam, yang terberat yaitu berupa pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR).

Baca Juga


"Sanksinya macam-macam karena kita tahu bahwa perundungan ini mulai dari perundungan ringan, sedang, berat, jadi sanksinya akan mengikuti itu. Bisa sampai dicabut (SIP dan STR-nya) apabila memang sanksinya berat," kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (3/9/2024).

Ia menegaskan, apabila pelaku perundungan merupakan dokter yang bertugas di lingkup rumah sakit (RS) vertikal Kemenkes, maka sanksinya diberikan sesuai kriteria ringan hingga berat seperti yang telah disebutkan, mulai dari teguran, penurunan, hingga penundaan kenaikan pangkat. "Kalau dia aparatur sipil negara (ASN), pemutusan kontrak kalau dia adalah dokter kontrak, atau kalau dia seorang ASN, bisa dikeluarkan dari ASN-nya, kalau dia adalah peserta pendidikan dokter spesialis atau mahasiswa, kita kembalikan ke fakultas kedokterannya untuk dilakukan pembinaan," kata dia.

Ia menyebutkan, apabila sudah dikembalikan ke fakultas kedokteran, maka mahasiswa PPDS bisa dikenakan sanksi misalnya tidak boleh melakukan pendidikan selama satu atau beberapa semester, bahkan tidak boleh melakukan praktik pendidikan di rumah sakit vertikal Kemenkes. Sedangkan apabila perundungan terjadi di luar lingkup RS vertikal, maka Kemenkes akan mengirimkan surat.

"Jadi kami akan membuat surat, meneruskan kembali. Kalau misalnya itu ada di rumah sakit milik universitas, kita akan memberikan surat bahwa ada laporan ini dengan tidak menyebutkan identitas, tetapi kasusnya ada di bagian mana atau program studi mana," ucapnya.

Nadia melanjutkan, hal itu juga berlaku untuk pemerintah daerah karena pemerintah daerah juga memiliki kegiatan pendidikan di rumah sakit umum daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. "Untuk rumah sakit di luar Kemenkes, kalau mereka meminta secara resmi bantuan pada kita, pasti akan kita bantu, tetapi kalau tidak ada permintaan maka itu bukan kewenangan Kemenkes jadi kami tidak bisa ke arah sana," ujarnya.

Terkait kasus dugaan perundungan pada PPDS terhadap mahasiswi Jurusan Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Dokter Aulia Risma Lestari (ARL), Nadia menyampaikan bahwa hingga saat ini Kemenkes masih menghentikan sementara wahana pendidikan untuk peserta pendidikan dokter spesialis di RS Kariadi, Semarang, Jawa Tengah.

"Jadi bukan menghentikan program studinya, karena kalau menghentikan program studi itu kewenangan universitas dan fakultas kedokteran. Yang kita hentikan itu wahana atau tempat pendidikan para dokter spesialis di RS Kariadi. Sampai saat ini kan sudah kurang lebih dua minggu ya kita melakukan penghentian sementara aktivitas pendidikan tersebut, dan sampai saat ini kita belum membuka kembali," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler