Ironi Dokter ARL, Pengacara: Kerja Nyaris 24 Jam, Disuruh Angkat Galon Hingga Setor Uang
Pihak keluarga dokter ARL membawa kasus dugaan perundungan ke kantor polisi.
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kuasa hukum keluarga Aulia Risma Lestari (ARL), Misyal Achmad, mengungkapkan sejumlah perundungan yang ditengarai ikut menyebabkan ARL diduga bunuh diri.
Selama melaksanakan PPDS Anestesia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.Kariadi, kata Misyal, ARL bekerja nyaris 24 jam, yakni dimulai dari pukul 03:00 dini hari hingga keesokan harinya pukul 02:00 dini hari.
"Berapa jam dia istirahat? Di militer tidak seperti itu. Dengan cara kaprodi membiarkan hal ini, bagaimana bisa mendapatkan dokter yang berempati? Anda mungkin pernah mengalami ke RS, dokternya judes, enggak enak, loh kalau menempanya saja seperti ini?" ucap Misyal.
Selain jam kerja berlebih, selama melaksanakan PPDS Anestesia di RSUP Dr.Kariadi, ARL juga turut menghadapi berbagai bentuk perundungan, termasuk pemerasan, dari para seniornya.
"Bayangkan, dengan frekuensi jam kerja begitu, dia (ARL) harus mengangkat galon, menyiapkan ruang operasi, menyiapkan makan untuk seniornya, membagi dan memesan makanan bisa sampai 80 boks. Misal kita kompak (seluruhnya) memesan nasi padang, selesai. Tapi (senior) yang ini pengen ini, puluhan orang pesan makanan yang berbeda, dan itu dilakuan setiap hari," ucap Misyal.
Dia menambahkan, ARL juga harus mengumpulkan dan menyetorkan uang. Uang tersebut digunakan untuk berbagai macam kebutuhan para seniornya, salah satunya mengupah orang yang mengerjakan jurnal-jurnal mereka.
Hal itu yang membuat pihak keluarga prihatin dengan dunia kesehatan yang seperti ini. Ironisnya, hal tersebut sebetulnya bukan di Kementerian Kesehatan. "Ini ranahnya Kementerian Pendidikan. Kementerian Pendidikan yang memiliki program, enggak tahu seperti apa bisa jadi korban seperti ini," tambah Misyal.
Menurut Misyal, pihak keluarga ARL sudah berulang kali mengadukan tentang jam kerja eksesif ke kaprodi PPDS Anestesia Undip. Namun pengaduan tersebut tak pernah mendapatkan respons.
Beragam persoalan tersebut yang membuat pihak keluarga membawa kasus ini ke kepolisian, termasuk meminta pertanggunjawaban dari pihak kampus dan senior.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah mulai memeriksa pelapor kasus dugaan perundungan terhadap AR, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Diponegoro Semarang, yang meninggal dunia beberapa waktu lalu.
"Setelah membuat berita acara pemeriksaan terhadap pelapor dan saksi-saksi, selanjutnya akan dikembangkan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Polisi Johanson Simamora di Semarang, Kamis.
Menurut ia, penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang berkaitan dengan perkara tersebut. Hasil investigasi Kementerian Kesehatan yang telah diserahkan ke polisi, lanjut Johanson, merupakan petunjuk dalam penyelidikan dugaan perundingan tersebut.
Ia menuturkan kepolisian telah menerima laporan dari keluarga almarhum AR dan ditindaklanjuti dengan penyelidikan.
Sementara itu, kuasa hukum keluarga almarhumah AR, Misyal Achmad, membenarkan jika ibu dan kakak korban menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Tengah.
Menurut ia, pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari tindak lanjut atas laporan yang disampaikan pada Rabu (4/9).
Sebelumnya, AR, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang meninggal dunia diduga bunuh diri di tempat kosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Kematian korban berinisial AR yang ditemukan pada Senin (12/8) lalu tersebut diduga berkaitan dengan perundungan di tempatnya menempuh pendidikan.