Soal Insiden WTC 9/11, Ilmuwan Ragukan 'Faktor Tunggal' Pesawat

Ilmuwan tak puas terhadap hasil investigasi NIST soal penyebab runtuhnya WTC 9/11.

EPA-EFE/JASON SZENES
Menara World Trade Center terbakar tak lama setelah ditabrak pesawat terbang pada pagi hari tanggal 11 September 2001 di New York City, New York, AS (foto diterbitkan kembali 3 September 2021).
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat pada hari ini, 23 tahun silam, tragedi besar mengguncang Amerika Serikat (AS). Menara Kembar World Trade Center (WTC), Kota New York, ditabrak pesawat terbang pada pagi tanggal 11 September 2001. Beberapa saat sebelumnya, kendaraan tersebut dibajak sekelompok teroris, yang akhirnya juga ikut tewas dalam kejadian ini.

Baca Juga


Beberapa waktu seusai 11 September 2001--tanggal yang kemudian dikenang sebagai 9/11--publik AS mendesak pemerintah setempat untuk melakukan pengusutan secara menyeluruh. Di antara yang menjadi perhatian mereka adalah, mengapa tabrakan dua pesawat dapat meruntuhkan dua gedung pencakar langit?

Diketahui, pesawat terbang Boeing 767-223ER yang sedang dibajak lima orang teroris, menabrak Menara Utara WTC pada pukul 8.46 pagi 11 September 2001 waktu setempat. Pesawat maskapai American Airlines itu mengangkut 11 kru dan 76 penumpang.

Kemudian, pada pukul 09.03 pesawat terbang Boeing 767–222 berlabel United Airlines menabrak Menara Selatan WTC di hari yang sama juga. Lima teroris diketahui membajak pesawat tersebut, yang sedang mengangkut sembilan kru dan 51 penumpang.

Tidak ada korban selamat. Dengan runtuhnya kedua menara kembar WTC itu, sebanyak 2.606 orang di dalam gedung juga ikut menjadi korban jiwa.

Majalah sains Europhysics News volume 47/4 Tahun 2016 memuat hasil riset yang berjudul "15 years later: On the physics of high-rise building collapses" (Lima Belas Tahun Kemudian: Kajian Fisika di Balik Runtuhnya Bangunan Tinggi). Tulisan ini berusaha menemukan penjelasan ilmiah di balik kejadian 9/11 atau runtuhnya menara kembar WTC pada 11 September 2001 silam.

Para penulisnya terdiri atas Steven Jones (profesor fisika Brigham Young University), Robert Korol (profesor teknik sipil McMaster University), Anthony Szamboti (insinyur konstruksi mesin pada industri penerbangan), dan Ted Walter (arsitek dan insinyur 9/11 Truth).

Bukan hanya dua menara kembar yang menjadi perhatian mereka. Sebab, dalam area WTC, ada satu bangunan lagi, yakni Gedung 7 WTC.

Terdiri atas 47 lantai, bangunan tersebut juga rata dengan tanah pada hari yang sama ketika 9/11 terjadi. Adapun Gedung 7 WTC dipastikan tidak ikut ditabrak pesawat terbang. Baik Menara Kembar maupun Gedung 7 WTC memiliki konstruksi kerangka baja.

Para ilmuwan yang menyajikan artikel "15 years later" mengaku tidak puas dengan hasil investigasi Institut Standar dan Teknologi Nasional (NIST) Amerika Serikat pada 2008 lalu. NIST sebelumnya memaparkan, kejadian 9/11 cenderung disebabkan oleh kebakaran, yang dipicu tabrakan pesawat terbang. Kobaran api lalu meludeskan ketiga bangunan WTC, termasuk kerangka baja yang menopang ketiganya.

Keraguan pun mencuat di kalangan ilmuwan. Sebab, bila simpulan NIST itu sahih, maka kejadian 9/11 adalah satu-satunya peristiwa di mana amukan api bisa meluluhlantakkan bangunan tinggi berkerangka baja. Padahal, lanjut para ilmuwan itu, menara berkerangka baja semestinya hanya bisa runtuh dalam sekejap dengan cara penghancuran yang disengaja (controlled demolition), antara lain denngan menggunakan bahan peledak.

Mereka bertolak dari fakta ilmiah bahwa kerangka baja cukup kebal terhadap api. Sebab, gedung 7 WTC memiliki tingkat keselamatan rata-rata sebesar tiga poin. Artinya, butuh sedikitnya 67 persen kekuatan yang hilang dari struktur agar keruntuhan mungkin terjadi. Bangunan mungkin luluh lantak hanya bila struktur baja dipanaskan hingga 660 derajat celsius.

Desain bangunan pencakar langit dibuat sedemikian rupa, sehingga guncangan di satu titik tak akan membuatnya runtuh seluruhnya. “Sepanjang sejarah, ketiga menara berkerangka baja itu pernah mengalami rusak sebagian lantaran kebakaran. Namun, tak satu pun yang runtuh seluruhnya. Malahan, banyak bangunan pencakar langit lainnya yang pernah kebakaran hebat tanpa runtuh total atau kehancuran yang berarti,” demikian artikel tersebut pada halaman 22, Europhysics News volume 47/4 2016.

“Setelah ditabrak pesawat terbang saat kejadian 9/11, beban yang ada di bangunan (WTC) hanyalah gravitasi dan kobaran api. Tak ada angin kencang hari itu. Maka para insinyur bingung dan terkejut, kenapa Menara Kembar bisa runtuh total,” lanjutnya di halaman 23.

Pada 1993 silam, Menara Kembar WTC pernah diguncang bom. Setelahnya, pencakar langit itu masih berdiri kukuh. Pertanyaannya: bagaimana mungkin tabrakan dengan pesawat jet membuatnya hancur lebur?

Artikel karya empat akademisi ini lantas mengutip sebuah wawancara Seattle Times dengan pakar konstruksi bangunan, John Skilling. Ia menegaskan, kebocoran tangki bahan bakar pesawat memang bisa memicu kebakaran hebat di sekujur WTC. Namun, kebakaran tak akan mampu meruntuhkannya. “Struktur bangunan (WTC) akan tetap berdiri,” kata John Skilling.

Apalagi diketahui, WTC dirancang mampu bertahan terhadap tabrakan dengan pesawat jet. Dengan kata lain, Skilling percaya bahwa satu-satunya cara meludeskan gedung WTC adalah dengan controlled demolition.

Investigasi NIST pun dipertanyakan. Sebab, lembaga tersebut tidak sampai menyelidiki sisa-sisa logam meleleh yang ditemukan di puing WTC. Padahal, dokumen video menunjukkan, ada percikan api berwarna oranye yang muncrat dari bangunan WTC selama tujuh menit, sebelum akhirnya runtuh.

Alih-alih, NIST berkesimpulan bahwa percikan api itu berasal dari alumunium badan pesawat yang menabrak Menara Kembar. Alumunium itu, menurut NIST, bercampur dengan material organik. Namun, pelbagai percobaan membuktikan sebaliknya. Bila simpulan NIST itu sahih, percikan api seharusnya berwarna perak, bukan oranye.

Para peneliti menegaskan, warna oranye itu diduga kuat berasal dari baja panas yang meleleh akibat bereaksi dengan thermite. Bahkan, di bekas reruntuhan WTC ditemukan sejumlah material yang terpapar thermite berukuran nano yang belum sempat bereaksi.

Dalam mekanisme penghancuran bangunan pencakar langit, thermite merupakan bahan peledak yang biasa dipakai. Sebagai perbandingan, pada 1935, Menara Sky Ride setinggi 191 meter di Chicago, AS, diruntuhkan dengan menggunakan 680 kilogram thermite dan 58 kilogram dinamit.

“Bukti menunjukkan kesimpulan bahwa ketiga bangunan itu (WTC) luluh lantak karena controlled demolition. Lantaran itu, otoritas terkait berkewajiban secara moral untuk membuat investigasi yang benar-benar ilmiah dan tak berpihak,” demikian kesimpulan artikel setebal lima halaman itu.

Pada Juni 2023, Ted Walter bersama dengan David Chandler dari 'Ilmuwan untuk Kebenaran 9/11' dan Tony Szamboti, seorang pakar desain struktural pada industri penerbangan, mempublikasikan artikel lain yang juga menyasar hasil investigasi NIST.

Mereka menyoroti laporan terakhir NIST tentang runtuhnya Gedung 7 WTC. Pihak tersebut menjelaskan adanya tiga tahap gerakan menurun (downward motion) dalam beberapa detik pertama jatuhnya konstruksi tersebut.

Tahap pertama ialah ketika percepatannya lebih kecil daripada gravitasi. Tahap kedua ketika sisi utara gedung turun karena percepatan gravitasi (yaitu, jatuh bebas). Akhirnya, tahap ketiga di mana percepatannya berkurang saat bagian atas gedung mendapat hambatan dari bawah.

NIST mengukur downward motion itu dengan melacak satu titik di dekat bagian tengah garis atap sisi utara. Sementara itu, Ted dan kawan-kawan dalam uraiannya mengukur downward motion yang sama, tetapi dengan melacak empat titik di seluruh lebar garis atap sisi utara.

"Kami menemukan bahwa Tahap 1 versi NIST salah mengartikan dan mengaburkan sifat sebenarnya dari downward motion WTC 7," simpul mereka.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler