Ini Sosok Anggiat Manalu yang Gugat PDIP Menurut Guntur Romli, Golkar Perlu Klarifikasi

Lima kader PDIP yang merasa dijebak akan mencabut gugatan.

Youtube
Guntur Romli
Rep: Thr/Bambang Noroyono Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ada yang menarik dari pengakuan lima kader PDI Perjuangan yang namanya dicatut sebagai pihak penggugat kepengurusan Ketua Umum Megawati Sukarnoputri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Baca Juga


Kelimanya diupah Rp 300 ribu oleh seorang pengacara agar menandatangani kertas kosong yang digunakan sebagai pemberian kuasa untuk menggugat.

Lantas siapa pihak yang berkepentingan untuk menggobrak-abrik PDIP? Benarkah sang pengacara bergerak sendiri? 

Politikus PDIP Guntur Romli lewat kicauan di X yang sudah dikonfirmasi Republika.co.id, menulis sosok Anggiat BM Manalu yang melayangkan gugatan terhadap Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati.

"Anggiat BM Manalu mengatasnamakan 5 orang kader PDI Perjuangan yang belakangan mereka mengaku dijebak & diberi uang 300.000. Setelah mengaku, 5 orang itu meminta maaf kepada Ibu Megawati & seluruh kader PDI Perjuangan," ujarnya

Dari rekam jejak melalui poster dan berita online tahun 2019, kata Guntur Romli, Anggiat BM Manalu adalah Pengurus Bakastratel DPP Golkar, Wasekjen Depinas Soksi dan Caleg DPR RI Partai Golkar Nomor Urut 10 dari Dapil Sumut III.

Dari pengakuan lima orang yang mengaku kader PDI Perjuanga dan merasa dijebak mengungkap bahwa gugatan yang dilayangkan Anggiat BM Manalu merupakan rekayasa dan konspirasi jahat. Mereka bertujuan untuk mengganggu PDI Perjuangan dan Ketua Umum Ibu Megawati.

"Mengaku sebagai advokat, maka Anggiat BM Manalu telah melanggar kode etik profesi advokat dgn merekayasa suatu gugatan bahkan dgn pesanan dan bayaran seperti pengakuan 5 orang yg mengaku kader PDI Perjuangan itu," ujarnya.

Guntur Romli meminta Golkar untuk klarifikasi terkait status keanggotaan dari Anggiat. "Dari rekam jejak sbg Caleg Partai Golkar, apakah Anggiat BM Manalu ini masih menjadi pengurus atau anggota Partai Golkar, maka silakan Partai Golkar melalukan klarifikasi."

Akan cabut gugatan

Kelima kader PDIP berjanji akan mencabut gugatan tersebut. Lima kader asal Jakarta Barat (Jakbar) itu, Jairi, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari mengaku ditipu oleh seorang pengacara, dengan imbalan Rp 300 ribu agar menandatangani kertas kosong yang digunakan sebagai pemberian kuasa untuk menggugat.

 

Jairi, salah-satu dari lima kader tersebut pada Rabu (11/9/2024) menyampaikan, sudah memohon maaf terbuka kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Permintaan maaf tersebut, kata Jairi juga disampaikan kepada seluruh kader Banteng Moncong Putih se-Indonesia.

“Saya mewakili teman-teman saya, maminta maaf kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Hajjah Megawati Sukarnoputri, beserta seluruh keluarga besar PDI P seluruh Indonesia,” kata Jairi dalam siaran pers PDI Perjuangan yang diterima wartawan, Rabu (11/9/2024) malam.

Permohonan maaf tersebut, Jairi sampaikan dalam konfrensi pers di Cengkareng, Jakbar. Hadir pula dalam permintaan maaf terbuka tersebut, Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari yang disebut-sebut sebagai kader yang melayangkan gugatan. Jairi menerangkan, bersama empat rekannya sesama kader, tak mengetahui perihal gugatan tersebut. Karena diceritakan dia, bersama-sama rekannya itu, pun juga merupakan korban dari penipuan dan penjebakan.

Jairi menceritakan awal-mula penjebakan, dan penipuan tersebut pada saat bertemu dengan seorang pengacara. “Saya bersama empat teman saya (Djupri, Manto, Sujoko, dan Suwari) bertemu dengan Anggiat BM Manalu (pengacara) di sebuah posko tim pemenangan,” kata Jairi.

Dari pertemuan tersebut, kata Jairi, pengacara tersebut membahas, dan meminta dukugan perihal penegakan demokrasi. Jairi, bersama empat temannya itu, mengaku sepakat tentang penegakan demokrasi. Pun Jairi, bersama-sama empat rekannya itu, setuju untuk mendukung demokrasi yang dibahas itu.

“Karena sepakat dengan demokrasi, kami bersedia memberikan dukungan. Ketika memberikan dukungan, diberikan kertas putih kosong untuk tanda tangan. Dan kertas putih kosong (yang ditandatangani) tersebut, belakangan dijadikan sebagai surat kuasa gugatan untuk menggugat SKK DPP PDI P,” kata Jairi.

Setelah memberikan tandatangan di kertas putih kosong tersebut, si pengacara itu, kata Jairi, memberikan uang ratusan ribu. “Setelah itu kami diberikan imbalan Rp 300 ribu,” begitu kata Jairi.

Menurut Jairi, saat bertemu dengan pengacara itu, memang tak ada membahas apapun selain menyoal demokrasi. Bahkan, kata dia, tak ada pembicaraan apapun mengenai partai politik (parpol).

Pun juga tak ada pembahasan soal gugat-menggugat, apalagi terhadap PDI Perjuangan. Serta tak ada pembicaraan mengenai pemberian-penerimaan kuasa hukum. Sebab itu, kata Jairi, atas pernyataan maaf kelima kader tersebut, juga akan memastikan mencabut kuasa terhadap pengacara tersebut. Pun juga akan mencabut gugatan di PTUN Jakarta itu.

“Makanya malam ini juga, kita buat surat pencabutan gugatan yang mengatasnamakan kami. Dan kami tidak memberikan kuasa kepada siapapun termasuk ke Anggiat BM Manalu. Kami tidak pernah memberikan kuasa. Makanya kami akan cabut tuntutan tersebut. Kami tidak menuntut atau menggugat SK DPP PDIP. Kami dalam posisi dijebak,” kata Jairi.

“Dan sekali lagi, kami meminta maaf kepada ketua umum kami, Ibu Hajjah Megawati Sukarnoputri, beserta seluruh keuarga besar PDIP,” kata Jairi menambahkan.

Sebelumnya, sejumlah orang yang mengatasnamakan kader PDI Perjuangan melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta, pada Selasa (10/9/2024).

Para kader Banteng Moncong Putih itu menggugat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mengesahkan kepengurusan DPP PDI Perjuangan 2019-2024. Dalam gugatannya, para penggugat itu mempersoalkan keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri yang memperpanjang masa kepemimpinannya sampai 2025 mendatang.

Menurut para penggugat, perpanjangan masa kepemimpinan Megawati Sukarnoputri tersebut, bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PDI Perjuangan. Karena mengacu dasar hukum dan aturan internal tersebut, masa kepemimpinan ketua umum hanya selama lima tahun dari 2019 sampai 2024. Dan perpanjangan kepemimpinan Megawati sampai 2025 tersebut, dinilai tak sah karena dilakukan tanpa melalui kongres partai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler