Peter Gontha, Hatta, dan Polemik Pemain Berdarah Campuran di Timnas Indonesia

Mayoritas pemain naturalisasi berdarah Indonesia dari kakek atau neneknya.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Pemain Timnas Indonesia Ragnar Oratmangoen berebut bola dengan pemain Australia saat pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion GBK, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024). Indonesia berhasil menahan imbang Australia dengan skor 0-0.
Red: Israr Itah

Oleh: Israr, jurnalis Republika.co.id.

Baca Juga


REPUBLIKA.CO.ID, Awal bulan lalu, saya mengajak keponakan saya mengunjungi kantor saya di daerah Pejaten. Soalnya, dia mengaku jenuh kelamaan di rumah hanya bermain game. Ke kantor saya pun jadilah, asal keluar.

Dia keponakan saya langsung. Anak kandung dari adik kandung saya. Namanya Hatta. Ibunya mengambil nama salah satu founding father Indonesia, Mohammad Hatta. 

Hatta berdarah campuran. Ayahnya berasal dari salah satu negara raksasa sepak bola Eropa. Mereka tinggal di negara ayahnya. Setiap musim panas, ia bersama ibunya, adik saya, berlibur ke Indonesia.

Meski nama lengkapnya diimbuhi nama keluarga ayahnya yang dari Eropa sana, tak mengubah fakta bahwa Hatta tetaplah anak Indonesia. Dia doyan masakan Nusantara. Ia berkali-kali memuji enaknya Mi Aceh yang saya belikan saat kami makan bersama. Pada momen ulang tahunnya pekan lalu, Hatta meminta ibunya membuat nasi tumpeng lengkap dengan lauk ayam, telur, perkedel, dan teri di sekelilingnya. Dia tidak meminta masakan Eropa! 

Hatta baru berusia 13 tahun. Namun, tingginya sudah 180-an cm. Saat liburan musim panas tahun lalu, ibunya mengatakan Hatta bermain basket di sekolahnya.

Saya senang mendengarnya. Terbayang keponakan saya ini bisa membela timnas basket Indonesia di kelompok usia sampai dia menentukan akan memilih menjadi warga negara apa nantinya.

Namun, baru-baru ini saya baru mengetahui bahwa dia sekarang bermain sepak bola. Menurut ibunya, Hatta kurang menyukai basket. Hatta memperkuat tim "kampungnya" di liga kelompok usia level "kabupaten" yang berjalan rapi di negara ayahnya.

"Aku main sebagai bek. Sebab dengan posturku, aku bisa menang beradu badan," kata Hatta.

Saya tak mengetahui kualitasnya di lapangan hijau. Tapi sudah terbayang di kepala saya peluang Hatta bisa menembus timnas sepak bola kelompok usia Indonesia. Kembali lagi, sebelum ia mencapai usia harus memutuskan memilih menjadi warga negara ayahnya atau WNI seperti ibunya sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Saya sudah menyampaikan hal-hal menggiurkan kepada Hatta jika ia mau serius di sepak bola dan memiliki target menembus timnas Indonesia. Saat ini, tampaknya ia belum memikirkan hal tersebut. Apalagi selama bocah, dia konsisten menyampaikan keinginannya menjadi scientist

"Saya hanya bermain bola untuk bersenang-senang, bukan untuk menjadi pekerjaan," kata Hatta suatu kali sebelum ia kembali ke rumahnya di Eropa sana awal bulan lalu.

 

Dalam...

Dalam cerita saya di atas, sudah pasti Anda memahami pandangan saya terhadap unggahan kontroversial Peter Gontha di Instagramnya tentang banyaknya pemain keturunan di timnas Indonesia. Benar, saya mendukung pemain berdarah campuran dengan berbagai alasan, yang paling utama tentu sisi emosional.

Saat seorang tokoh, pengusaha, dan mantan duta besar RI seperti Pak Peter menyatakan malu karena timnas Indonesia diisi mayoritas pemain berdarah campuran, bukan pemain asli lokal, saya tentu saja tak sependapat.

Apakah beliau tidak melihat cuplikan video keluarga besar Ragnar Oratmangoen yang menyambutnya dengan meriah saat winger timnas Indonesia itu berkunjung ke kampung halaman kakeknya di Maluku sana?

Atau, apakah Pak Peter tak menyaksikan momen Thom Haye menangis terharu saat memeluk ayahnya usai mencetak gol dalam debutnya membela timnas Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno melawan Filipina? Atau, ketika Thom dalam suatu wawancara menangis menceritakan ia kehilangan kesempatan menghadiri pemakaman neneknya di Belanda karena mengurus proses legalitas menjadi WNI?

Pak Peter menggunakan kata "bangsa asing" bagi sejumlah pemain naturalisasi skuad Garuda yang punya garis keturunan Indonesia entah dari kakek atau neneknya. Apakah legalitas status sebagai warga negara "bukan Indonesia" menghapus fakta bahwa di dalam darah mereka mengalir darah Indonesia?

Perkara motif mereka mengubah status warga negara menjadi WNI, biar itu urusan mereka. Kita, termasuk Pak Peter, tak berhak menghakimi.

Justru kita berterima kasih mereka mau membela kostum sakral berlambang Garuda dengan semangat tinggi, jatuh bangun di lapangan. Totalitas ini ditunjukkan di setiap laga.

 

Apakah Pak Peter...

Apakah Pak Peter bangga dengan pemain asli berdarah Indonesia, tapi berani menggadaikan harga dirinya dengan terlibat match fixing ketika membela timnas Indonesia seperti pada masa lalu?

Dugaan Pak Peter tentang para pemain naturalisasi yang tak mengembalikan paspor lama karena mereka akan kembali menjadi warga negara asalnya setelah tak lagi dipakai timnas Indonesia, semestinya menjadi pembahasan lain. Sebab, kekhawatiran itu toh belum terbukti.

Andai kekhawatiran itu benar terbukti pada masa depan, seharusnya kita menyoroti peran negara dalam menjamin kehidupan atlet yang sudah berjuang membela Indonesia di pentas dunia, bukan mencap atletnya yang tak nasionalis. Sebab, seperti tulisan Pak Peter sendiri, ada motif ekonomi di sini. Para pemain naturalisasi itu diduga Pak Peter tak mau kehilangan tunjangan dari negara asalnya.

Kondisi ini, menurut saya, sama saja dengan banyak WNI yang lebih memilih menetap di luar negeri karena ingin mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Atau mereka yang mendapatkan beasiswa negara kita, tapi kemudian tak kembali setelah menuntaskan sekolah di luar negeri.

Dengan memakai logika Pak Peter, para WNI seperti ini seharusnya juga memenuhi syarat dicap tak nasionalis. Tapi, apakah bijak melabeli seperti itu? Dengan kondisi ekonomi berkecukupan seperti Pak Peter, akan lebih mudah bicara tentang nasionalisme.

Saya lebih menerima jika Pak Peter misalnya menggugat soal pemain berdarah campuran atau sama sekali tak memiliki darah Indonesia, yang tidak dibesarkan oleh sistem sepak bola kita, melainkan oleh kompetisi di negara lain. Diskusi akan berjalan lebih positif ketimbang mempertanyakan asal darah yang mengalir di tubuh mereka dan asumsi masa depan yang belum terbukti saat ini.

Saya membayangkan keponakan saya, Hatta, suatu saat membela timnas Indonesia. Kemudian ada yang mencibirnya sebagai "anak bangsa lain" hanya karena bapaknya orang Eropa. Saya pastikan, orang yang mencibir itu akan berhadapan dengan saya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler