ICW Kritik Lolosnya Figur Bermasalah dalam 20 Besar Capim KPK
Proses seleksi buktikan Pansel belum maksimal menggali rekam jejak capim.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi soal daftar nama kandidat yang dinyatakan lolos tes profile assessment. Dari 40 nama yang sebelumnya dinyatakan lolos tes kompetensi, kali ini Pansel memangkas setengah di antaranya.
Setelah tes profil asesmen, tersisa masing-masing 20 nama untuk calon Komisioner dan Dewan Pengawas KPK. Tapi, jelang seleksi tahap akhir terdapat sejumlah catatan krusial yang bisa dilayangkan kepada Pansel.
"Dari daftar nama yang disampaikan oleh Pansel, ICW masih menemukan nama-nama dengan setumpuk persoalan, baik kompetensi maupun integritas," kata Peneliti ICW Diky Anandya, dikutip Ahad (15/9/2024).
Diky menyebut dari 20 nama kandidat calon Komisioner KPK, terdapat nama-nama pernah diadukan melanggar kode etik, seperti Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan. Diky memandang proses seleksi ini membuktikan Pansel belum maksimal menggali rekam jejak mereka.
"Pada dasarnya, ada banyak kanal informasi yang bisa dimanfaatkan oleh Pansel untuk mengetahui hal tersebut, salah satunya Dewan Pengawas KPK," ujar Diky.
Diky juga menyinggung dalam lingkup kompetensi ada pejabat struktural KPK yang masih diloloskan oleh Pansel yaitu Tanak. Padahal, di bawah kepemimpinannya, KPK kerap dipersepsikan negatif oleh masyarakat dan menimbulkan kegaduhan.
"Jika model kepemimpinannya begitu, lalu untuk apa tetap diloloskan? Bukankah hanya akan mengulangi hal yang sama jika kelak ia terpilih?" ucap Diky.
Berdasarkan monitoring ICW, dari total 20 orang kandidat calon Komisioner KPK, 45 persen atau sekitar 9 orang diantaranya berasal dari klaster penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas. Sehingga, Diky memandang Pansel tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Pasalnya, di dalam UU KPK tidak ditemukan satupun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK. Selain itu, cara pandang tersebut justru membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda.
"Sederhananya, bagaimana memastikan independensi komisioner yang berasal dari penegak hukum jika kemudian hari KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya? Hal lain juga, jaminan apa yang bisa diberikan Pansel bahwa calon dari klaster penegak hukum hanya akan tunduk pada perintah UU di tengah maraknya fenomena jiwa korsa di lembaga asalnya?" ujar Diky.