Situasi Jelang Madiun Affair 1948

Kaum komunis yang dipimpin Musso memberontak terhadap pemerintah yang sah pada 1948.

Wikipedia
ILUSTRASI Kader Partai Komunis Indonesia (PKI)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Indonesia, kaum komunis tercatat beberapa kali mengupayakan perebutan kekuasaan. Pada November 1926 dan Januari 1927, Partai Komunis Indonesia (PKI) meletuskan pemberontakan bersenjata di Jawa dan Sumatra Barat. Pemerintah kolonial Belanda saat itu dengan mudah memadamkan keduanya. Ribuan anggota PKI ditahan. Sekira 1.300 orang simpatisannya dibuang ke Boven-Digul. Partai ini lalu ditetapkan sebagai organisasi terlarang.

Baca Juga


Pergerakan komunis toh tidak berhenti sesudah itu. Melewati zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, kaum kiri di Indonesia terus menyusun kekuatan, baik dari dalam maupun luar negeri. Sesudah Peristiwa 1926/1927, beberapa tokoh kunci bermukim di Uni Soviet, induk negara-negara komunis sedunia. Di antara mereka ialah Muso Manowar--namanya kerap dieja Musso atau Paul Mussotte.

Harry A Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011) menjelaskan, Muso tidak berada di Indonesia ketika pemberontakan PKI terjadi pada 1926/1927. Di Singapura, ia ditangkap polisi Inggris. Begitu dibebaskan, sosok kelahiran Kediri, Jawa Timur, itu lantas pergi ke Moskow. Selama 22 tahun berikutnya, di sanalah dirinya menetap sembari terus memantau perkembangan Tanah Air.

Berita tentang kemerdekaan RI diperolehnya melalui siaran radio dan korespondensi. Bagaimanapun, Muso tidak langsung kembali pulang. Sejak 1945, ia terus mematangkan rencana untuk mewujudkan visinya: Indonesia sebagai negara komunis di bawah Uni Soviet.

Sebelum memutuskan pulang, Muso menjalin komunikasi dengan Suripno, seorang mahasiswa RI yang berhaluan kiri. Bermula pada pertengahan 1947, Suripno bertolak dari Tanah Air untuk menghadiri kongres pemuda sedunia (International Union of Students) di Praha, Cekoslowakia. Pemuda ini juga membawa mandat dari Bung Karno untuk membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.

Pada tahun yang sama, petualangan kaum kiri di perpolitikan nasional kian terjepit. Amir Sjarifuddin, seorang tokoh Partai Sosialis, sempat dua kali memimpin pemerintahan. Namun, pada akhir periode pemerintahannya, yakni awal tahun 1948, kedudukannya mulai tergoyahkan. Ia diserang lawan-lawan politiknya, terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi, terkait Perundingan Renville.

Perjanjian yang dimediasi Amerika Serikat (AS) itu mempertemukan antara pihak RI dan Belanda. Disepakatilah tiga hal penting. Pertama, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah RI. Kedua, diakuinya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Terakhir, Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ketiga poin itu menjadi sasaran kritik PNI dan Masyumi. Amir lalu mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno. Tidak hanya kehilangan kursi di eksekutif, dirinya juga pecah kongsi dengan Sutan Sjahrir. Yang belakangan itu bahkan mendirikan partai baru, yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI), terpisah dari Partai Sosialis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler