Ketika 'Nabi Musa dari Moskow' Mulai Bergerak

Kaum komunis buat propaganda bahwa Muso PKI adalah sosok 'Nabi Musa.'

Antara/Siswowidodo
Sejumlah orang mengamati patung keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) di areal Monumen Korban Keganasan PKI di Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai menemui Bung Karno, Muso menghadiri rapat yang dihelat Badan Kongres Pemuda. Dalam pidatonya, ia memuji-muji kehebatan Uni Soviet. Baginya, Indonesia harus berada di barisan Soviet bila ingin menghalau Belanda dari Tanah Air. Orasinya ternyata tidak disambut antusias para anggota badan tersebut. Mayoritas hadirin meninggalkan tempat sebelum Muso selesai bicara.

Baca Juga


Muso juga sempat menggelar jumpa pers di Jalan Malioboro. Seorang wartawan bertanya, mengapa ia datang dengan pengawalan laskar satu truk yang bersenjata. Alasannya, ia harus “waspada terhadap agen-agen kaum imperialis.” Salah seorang pengawalnya ialah anak muda yang tampak duduk malu-malu di pinggir. Kelak, publik mengenalnya sebagai pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965. Dialah Dja’far Nur Aidit alias Dipa Nusantara (DN) Aidit.

Dari Yogyakarta, Muso langsung menuju Kediri. Sesudah menjumpai keluarganya, ia mulai bergerak untuk melaksanakan agenda utamanya: menyebarluaskan komunisme. Tidak berhenti pada diseminasi ideologi, tetapi juga menggulingkan pemerintahan yang sah.

Untuk itu, Muso melakukan berbagai manuver. Pertama-tama, melalui Amir Sjarifuddin--pemimpin sayap kiri terdepan pada masa revolusi dan juga bekas perdana menteri Indonesia--ia merangkul Front Demokrasi Rakyat (FDR). Kepada mereka, ia menawarkan konsep yang telah dirangkumnya dalam pamflet “Jalan Baru.” Menurut gagasannya, semua partai yang meyakini marxisme atau perjuangan kelas sosial haruslah melebur menjadi satu. Dan, PKI tampil sebagai ujung tombaknya.

Selanjutnya, Muso juga mendekati kalangan tentara. Beberapa elemen memang sudah terpengaruh komunisme. Untuk lebih bisa merangkul mereka, ia memanfaatkan ketidaksukaan sebagian tentara pada kebijakan Kabinet Hatta I, yakni Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (ReRa).

Muso, tokoh di balik pemberontakan PKI 1948 di Madiun. - (dok wiki)

 

ReRa sesungguhnya diambil Hatta untuk memulihkan kondisi ekonomi negara selepas jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin. Muso memanas-manasi tentara dengan menyebutkan, RERA hanya merugikan para prajurit. Kebijakan itu disebutnya sangat mengurangi kekuatan militer Indonesia. Tidak sedikit prajurit TNI yang termakan agitasi tokoh komunis itu.

Seperti dinukil dari Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990), Muso memanfaatkan emosi dan keluguan sebagian masyarakat lokal untuk mendukung aksinya. Pada 15 Agustus 1948, Muso tiba di Madiun, Jawa Timur. Para simpatisan komunis setempat telah menyebarkan propaganda di tengah masyarakat. Kepada penduduk, mereka menyampaikan, “Nabi Musa dari Moskow” akan datang dan berpidato di Alun-alun.

Rakyat kebanyakan buta huruf serta tidak memahami bahasa Indonesia. Didorong rasa penasaran, mereka pun berkumpul di Alun-alun Madiun. Dalam pidatonya, Muso dengan pongah mencaci maki Presiden Sukarno dan PM Hatta. Di hadapan puluhan ribu orang, ia menyebut keduanya tidak becus dalam memimpin negara. Karena itu, dirinya berjanji akan memimpin mereka ke arah revolusi Indonesia Merdeka.

Atmosfer suasana Alun-alun Madiun menjadi sangat bergelora. Ribuan orang terpukau orasi Muso. Tokoh komunis ini lalu dielu-elukan, layaknya seorang “nabi.”

FDR/PKI menggencarkan operasinya di tengah masyarakat. Berbagai fitnah disebarkannya dengan tujuan mengadu domba antara rakyat dan militer. Konflik di internal militer juga dimanfaatkannya, terutama pasca-terbunuhnya komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto di Solo pada Juli 1948. Penggantinya ialah Letkol Suadi, yang bersimpati pada FDR/PKI.

Hingga awal September 1948, culik-menculik beberapa tokoh militer dan sipil marak terjadi di Surakarta. Mulailah tuduh-menuduh antara Divisi Siliwangi dan pasukan-pasukan Solo “asli.” Akibat Perjanjian Renville, Siliwangi sejak Februari 1948 diharuskan hijrah dari Jawa Barat ke daerah-daerah RI, termasuk Jawa Tengah. Dalam suasana politik yang tegang, pasukan-pasukan menjadi amat mudah terbawa arus politik.

Meskipun Panglima Besar Jenderal Sudirman telah turun tangan, situasi di lapangan belum juga mereda. Di Yogyakarta, Pak Dirman bersama dengan Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto kemudian melakukan pembicaraan.

Sebelum menghadap Presiden, disepakatilah usulan menjadikan Kolonel Gatot sebagai gubernur militer Jawa Tengah dengan kekuasaan penuh untuk menertibkan keadaan. Bung Karno dan Kabinet menyetujui usulan tersebut. Pada 18 September 1948, Gatot tiba di Solo untuk memulai tugasnya. Malam harinya, Madiun diduduki FDR/PKI.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler