Kengerian di Takeran
Walau disebut Madiun Affair 1948, Magetan pun ikut terdampak pemberontakan PKI ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada dini hari tanggal 18 September 1948, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) Muso Manowar alias Paul Mussotte alias Musso mulai mengerahkan massa untuk merebut kendali atas daerah Madiun dan sekitarnya. Ia pun memproklamasikan berdirinya "Negara Republik Soviet Indonesia" dan menolak legitimasi pemerintahan Sukarno-Mohammad Hatta.
Dalam menjalankan aksinya, PKI Muso merangkul Front Demokrasi Rakyat (FDR). Dengan cepat, PKI/FDR melumpuhkan sistem administrasi di wilayah Takeran, Magetan, Jawa Timur.
Ya, pemberontakan yang dilancarkan Muso memang pada akhirnya dikenang sebagai Madiun Affair 1948. Namun, Magetan-lah yang pada faktanya menderita dampak yang dahsyat.
Kaum komunis tidak hanya menarget tokoh-tokoh pemerintahan setempat, tetapi juga pesantren. Salah satu lembaga yang diincarnya ialah Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dipimpin seorang ulama muda, Kiai Imam Mursyid Muttaqien—usianya kala itu 28 tahun.
Seperti dinukil dari buku Lubang-lubang Pembantaian, kekejian PKI/FDR terhadap kiai dan santri PSM dimulai satu hari usai proklamasi “Republik Soviet Indonesia.” Menurut kesaksian Muhammad Kamil (62 tahun—saat buku itu disusun), Kiai Hamzah dan Kiai Nurun meminta izin kepada Kiai Mursyid Muttaqien untuk mengajar di Pesantren Burikan, salah satu cabang PSM di Desa Banjarejo, pada Jumat, 17 September 1948. Walaupun mengizinkan, keduanya diminta berhati-hati karena pengasuh PSM itu memiliki firasat buruk tentang apa yang akan menimpa mereka.
Benar saja, pada Sabtu, 18 September, Pesantren Burikan diserbu FDR/PKI. Para santri dan ulama di sana, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun, digiring laskar merah ke Desa Batokan, sekira 500 meter dari pondok tersebut. Di sanalah, mereka dibantai. Jasad-jasadnya dimasukkan ke dalam lubang galian.
Kiai Mursyid Muttaqien pun termasuk dalam daftar incaran FDR/PKI. Sesudah shalat Jumat, kompleks PSM dikepung segerombolan orang berpakaian serba hitam dan berikat kepala merah. Semuanya menenteng senjata. Seorang perwakilan komunis meminta kiai muda itu untuk ikut dengannya. “Jika Kiai Imam Mursyid Muttaqien tidak mau menyerah … maka pesantren akan dibumihanguskan,” kenang Iskan, seorang saksi mata.
Sesudah Kiai M Muttaqien dibawa dengan mobil, orang-orang FDR/PKI masih saja bertahan. Mereka lalu meminta sejumlah tokoh PSM lainnya untuk ikut. Tercatat, sejumlah guru agama ditawan kaum komunis. Di antaranya adalah Ustaz Ahmad Baidawi, Muhammad Maijo, Rofii Ciptomartono, Kadimin, Reksosiswoyo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir itu adalah seorang ustaz yang didatangkan PSM dari al-Azhar, Kairo, Mesir. Tidak ada satu pun dari mereka yang kembali dengan selamat. Sebagian besar ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan tak bernyawa di sumur-sumur pembantaian FDR/PKI. Namun, jenazah Kiai M Muttaqien tak kunjung ditemukan.
PSM adalah satu dari sekian banyak target laskar-laskar merah dalam Pemberontakan PKI 1948. Korban kekejaman komunis juga terdapat di beberapa daerah, seperti Desa Soco, Cigrok, dan Gorang Gareng. Mayoritasnya adalah umat Islam.
Di Soco, Kecamatan Bendo, Magetan, sedikitnya 108 jenazah ditemukan di sumur pembantaian FDR/PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Bertahun-tahun kemudian, dibangunlah monumen di atas sumur tersebut untuk mengenang para korban. Di antara nama-nama yang terpacak pada tugu itu, ialah pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno Magetan, KH Sulaiman Zuhdi. Ada pula jaksa R Moerti, Kiai Muhammad Suhud, Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.