Petik 8 Hikmah dari Sufi Imam al-Balkhi
Puluhan tahun berguru pada Imam al-Balkhi, ini delapan pelajaran yang bisa dipetik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syaqiq al-Balkhi adalah seorang sufi dari abad kesembilan. Ia merupakan murid Imam Abu Hanifah, Rabiah Adawiyah dan Ibrahim bin Adham.
Sebelum menekuni jalan tasawuf, Imam al-Balkhi adalah seorang pedagang yang kaya raya. Bisnisnya bertebaran di banyak negeri.
Awal mulanya menempuh hidup zuhud cukup unik. Saat masih menjadi hartawan, al-Balkhi menempuh perjalanan ke Anatolia (Turki). Di sebuah kota setempat, ia singgah sejenak ke sebuah rumah penyembahan berhala.
Di sana, ada sejumlah rahib yang sibuk berdoa. Mereka semua berkepala gundul dan tidak berjenggot. Demi melihat seorang di antaranya sedang duduk istirahat, al-Balkhi pun mendekatinya.
Setelah memperkenalkan diri, ia lantas berkata, "Kamu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup dan Menghidupimu, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Jadi, sembahlah hanya kepada-Nya. Tidak usah lagi menyembah berhala-berhala yang tidak memberikan rezeki kepadamu!”
Dengan diplomatis, rahib itu menjawab santai, “Jika benar kata-kata Tuan bahwa Tuhan Maha Kuasa memberi rezeki, mengapa Tuan susah payah datang ke negeri kami untuk berniaga? Tidakkah Tuhan memberikan rezeki di negeri Tuan sendiri?"
Al-Balkhi tercengang. Sejak itu, terketuklah hatinya untuk menempuh kehidupan zuhud.
Tatkala berusia sepuh, Imam Syaqiq al-Balkhi sudah memiliki banyak murid. Di antara mereka adalah Hatim al-Ashom.
Suatu hari, sang mursyid bertanya kepada santrinya itu, “Sudah berapa lama engkau menuntut ilmu dariku?”
“Sudah 33 tahun, ya Syekh,” jawabnya.
“Apa saja yang sudah kau pelajari selama 33 tahun itu?”
“Hanya delapan hal,” jelas Hatim, singkat.
Imam Syaqiq al-Balkhi terpana, “Innalillahi! Dalam waktu sepanjang itu, hanya delapan hal yang kau pelajari? Apa saja itu?” cecarnya kemudian.
“Pertama," jawab Hatim menjelaskan, "bahwa setiap manusia memiliki kekasih, tetapi kekasihnya itu pasti akan meninggalkannya sendirian begitu ia mati dan jasad terbujur di liang lahat. Maka kupilih amal kebaikan sebagai kekasihku.
Kedua, aku berjuang melawan hawa nafsuku agar tunduk kepada Allah SWT. Sebab, kuyakin janji Allah dalam Alquran. Ketiga, kulihat manusia banyak menumpuk harta, padahal ‘apa yang di sisi Allah akan kekal’ (QS an-Nahl: 96).
Keempat, kulihat banyak orang mengejar jabatan. Padahal, ‘orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa’ (QS al-Hujurat:13). Kelima, kumelihat manusia saling mencela karena hasad, padahal semuanya telah dibagi oleh Allah. Maka kutinggalkan dengki dan tidak bermusuhan dengan seorang pun.
Keenam, manusia banyak saling menzalimi dan membunuh, padahal ‘syaitan itu adalah musuh bagimu’ (QS al-Fathir:6). Maka kujadikan setan sebagai satu-satunya musuhku.
Ketujuh, kulihat orang banyak menghinakan diri sendiri dengan berbuat maksiat hanya karena harta. Padahal, ‘tiada satupun binatang melata di bumi, melainkan Allah telah menanggung rezekinya’ (QS Hud:6). Maka kusibukkan diri dengan taat kepada Allah. Tidak pernah mengkhawatirkan rezeki yang telah dijamin Allah untukku.
Terakhir, kulihat banyak manusia merasa bergantung ke sesama makhluk-Nya. Padahal, ‘barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya’ (QS ath-Thalaq: 3). Maka aku bertawakal hanya kepada Allah.”
Imam Syaqiq al-Balkhi tersenyum dan berkata kepada muridnya itu, “Engkau benar, wahai Hatim.”