Indonesia Bisa Jadi Negara Penghasil Beras Terbesar Kedua di Dunia
BHS mendorong pemerintah memaksimalkan pengelolaan lahan pertanian yang ada.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana melakukan pencetakan tiga juta hektare lahan sawah baru. Pengamat kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono (BHS) mengingatkan, ada yang lebih prioritas dibandingkan melakukan pencetakan lahan, yaitu dengan memaksimalkan pengelolaan lahan pertanian yang ada.
Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra tersebut menjelaskan, saat ini ada sekitar 70 juta hektare lahan tanam di Indonesia, baik untuk sawit maupun tanaman lainnya. Dan dari total lahan tanam tersebut, sambung dia, sekitar 10,2 juta hektare merupakan lahan sawah untuk menanam padi.
"Normalnya, dalam satu hektare sawah, itu bisa menghasilkan delapan ton gabah setiap kali panen. Artinya, dengan 10,2 juta hektare sawah akan bisa menghasilkan 81,4 juta ton gabah atau setara dengan 56 juta ton beras," kata Bambang di Jakarta, Ahad (22/9/2024).
Menurut dia, dengan 56 juta ton beras, seharusnya sudah mencukupi kebutuhan beras nasional yang pada 2023 tercatat hanya 35,3 juta ton. Karena itu, kata BHS, harusnya produk beras sekali panen di Indonesia sudah bisa memenuhi kebutuhan beras nasional plus masih memiliki cadangan beras 20,7 juta ton.
"Itu baru satu kali panen. Di Indonesia, seharusnya bisa dua atau tiga kali panen, dan bahkan di beberapa negara ASEAN, seperti Thailand bisa empat kali panen. Anggaplah dua kali panen secara normal, artinya kita bisa mendapatkan produk per tahunnya 112 juta ton beras. Dan kalau kita berpatokan pada kebutuhan nasional yang 35,3 itu, maka masih ada cadangan beras 76,7 juta ton yang bisa disimpan ke depan," ujar BHS.
Dia menjelaskan, dengan total lahan sawah maka bila setahun tiga kali panen, beras yang dihasilkan sebesar 168 juta ton. Sehingga, Indonesia bisa menjadi negara penghasil beras terbesar nomor dua di dunia setelah China, yang produksinya 209 juta ton beras.
Angka itu juga masih di atas India dengan produksi beras 129 juta ton per tahun. "Sehingga kita tidak perlu impor beras lagi karena hasilnya sudah melimpah, bahkan bisa dieskpor ke negara negara di Asia yang membutuhkan," ujar BHS.
Dia memaparkan, sebenarnya teknologi penyimpanan beras sudah ada dan dimiliki Badan Urusan Logistik (Bulog). Teknologi yang dipakai itu bisa membuat beras bertahan selama lima tahun."Dengan menggunakan teknologi cocoon (pengedapan), beras bisa bertahan di atas tiga tahun dalam kondisi baik," kata BHS.
Sementara itu, jika hasil produksi beras per hektare tak mencapai delapan juta ton, pemerintah perlu melakukan pendampingan terhadap dunia pertanian. Dengan begitu, sumber daya manusia petani maupun infrastruktur dan perlengkapan alat produksi pertanian bisa ditingkatkan.
BHS mendorong sistem pengairan harus cukup. "Karena Indonesia merupakan negara penghasil air dari sumber terbesar kedelapan di dunia. Maka seharusnya tidak ada istilah kekurangan air. Lalu pengelolaan air irigasi dari sumber air yang mengalir ke sungai, bisa dikelola dengan pengendalian pintu air yang maksimal di aliran sungai primer, sekunder, dan tersier, serta aliran irigasinya," ujar BHS.
Selain itu, petani harus dibantu dengan diberikan bibit unggul, pupuk yang cukup sesuai kebutuhan, obat-obatan, penanggulangan hama, dan permodalan berupa KUR dengan bunga rendah. "Misalnya pupuk, petani itu bukan hanya dikasih pupuk subsidi saja tapi juga harus diberi pendampingan. Sehingga lahan pertanian tidak akan berubah pH-nya dan kualitasnya tetap baik, walau dipergunakan untuk bertahun-tahun," kata BHS.