Mengenal Suku Kajang yang Jadi Benteng Hutan Sulawesi
Masyarakat adat penjaga yang sangat efektif dalam menjaga kelestarian hutan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sinar matahari pagi menerobos kanopi hutan hujan, menerangi pondok bambu yang terletak di celah antara pepohonan. Seorang pria tua dengan wajah keriput duduk bersila, matanya tertutup, dan dia berbisik mengucapkan doa-doa kepada bumi.
Setelah sang pemimpin spiritual, Ammatoa terdiam, sekelompok pria yang mengenakan sarung indigo gelap berdiri dan menuju ke hutan dengan membawa persembahan berupa keranjang rotan berisi nasi, pisang, dan lilin yang menyala. "Bumi marah kepada kita," kata Budi, seorang anak laki-laki tanpa alas kaki yang duduk di tepi pondok, seperti dikutip dari artikel Washington Post yang dipublikasikan pada 2023.
"Itulah mengapa cuaca semakin buruk. Hujan semakin sering dan banjir terjadi lebih sering. Udara juga semakin panas. Ini karena kita telah berdosa."
Ritual ini dikenal sebagai Andingingi, yang diadakan setahun sekali oleh Suku Kajang, suku di Kabupaten Bulukamba, Pulau Sulawesi, Indonesia. Seperti banyak bagian dunia lainnya, tanah mereka juga mengalami perubahan iklim yang menyebabkan cuaca semakin ekstrem.
Namun, citra satelit menunjukkan hutan primer Kajang yang lebat bebas dari jalan dan pembangunan, sehingga mampu menyerap hujan deras yang menghancurkan wilayah lain di pulau itu.
Di tengah maraknya deforestasi global, pemberdayaan masyarakat adat seperti Kajang muncul sebagai salah satu cara utama untuk melindungi hutan hujan dunia. Beberapa penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat adat diberi hak atas tanah, mereka terbukti menjadi penjaga yang sangat efektif dalam menjaga kelestarian hutan.
Komunitas-komunitas ini mengelola sekitar setengah dari tanah dunia dan 80 persen keanekaragaman hayati. Di sisi lain, keraguan telah muncul mengenai efektivitas program-program seperti carbon offset dan inisiatif lain yang bertujuan untuk mengurangi deforestasi meskipun miliaran dolar telah dialokasikan untuk program tersebut.
Kajian landmark dari PBB pada 2021, yang mengkaji lebih dari 300 penelitian, menyimpulkan bahwa budaya-budaya adat telah berkontribusi dalam mengurangi perusakan hutan dengan berbagai cara.
Kajang memberikan contoh tentang bagaimana kelompok adat menjaga hutan mereka. Komunitas ini hidup berdasarkan "Pasang Ri Kajang", hukum leluhur yang diwariskan secara lisan melalui legenda dan cerita. Menurut mereka, manusia pertama jatuh dari langit ke hutan mereka, yang membuatnya menjadi tempat paling sakral di Bumi.
Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa hutan adalah pusat kehidupan. Kajang bergantung pada pertanian subsisten, tanpa adanya industri atau perdagangan. Menebang pohon, berburu hewan, bahkan mencabut rumput dilarang di sebagian besar wilayah mereka. Teknologi modern seperti mobil dan ponsel tidak diizinkan dalam wilayah adat.
“Pohon itu seperti tubuh manusia,” kata Mail, seorang anggota suku Kajang berusia 28 tahun. “Jika kita melestarikan hutan, kita juga melestarikan diri kita sendiri. Tapi jika hutan hancur, tidak akan ada lagi kehidupan.”
Meskipun begitu, hingga saat ini, suku-suku adat belum mendapatkan dukungan hukum, finansial, atau institusional yang memadai. Sebuah laporan dari Rainforest Foundation Norway pada 2021 mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir, masyarakat adat hanya menerima kurang dari 1 persen pendanaan donor untuk memerangi deforestasi.
Namun, kebijakan mulai berubah dengan pengakuan....(halaman berikutnya)
Namun, kebijakan mulai berubah dengan pengakuan peran penting masyarakat adat dalam menjaga lingkungan. Sebuah studi global yang diterbitkan di jurnal Nature Sustainability pada 2021 menemukan di wilayah tropis, lahan yang dikelola oleh masyarakat adat memiliki tingkat deforestasi 20 persen lebih rendah dibandingkan area yang tidak dilindungi.
Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB tahun 2021 atau COP26, para pemimpin dunia berjanji akan memberikan pendanaan sebesar 1,7 miliar dolar AS untuk komunitas-komunitas adat, menyebut mereka sebagai "penjaga hutan."
Indonesia, yang memiliki ribuan kelompok etnis dan wilayah hutan tropis seluas lebih dari 350.000 mil persegi, dapat memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mendukung masyarakat adat. Pada Desember 2016, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui lebih dari 50 mil persegi hutan hujan sebagai milik sembilan suku adat di negara ini, termasuk Kajang, setelah putusan penting oleh Mahkamah Konstitusi.
"Kita semua tahu sejak lama, masyarakat adat mampu mengelola hutan secara berkelanjutan berdasarkan kearifan lokal," kata Presiden Joko Widodo saat itu.
Sejak 2016, hutan adat yang diakui di Indonesia telah berkembang menjadi lebih dari 580 mil persegi, mencakup lebih dari 100 suku. Pengakuan tersebut membantu menurunkan laju kehilangan hutan primer di Indonesia setiap tahunnya. Data terbaru menunjukkan bahwa laju kehilangan hutan saat ini berada pada tingkat terendah sejak 2002.
Hutan Kajang adalah contoh keberhasilan eksperimen ini. Selama bertahun-tahun, penjaga hutan lokal telah melindungi satwa liar asli, termasuk rusa, monyet, babi hutan, dan burung tropis. Dari atas, rumah-rumah Kajang terlihat seperti titik-titik kecil di tengah hamparan hijau hutan tropis yang luas.
“Kajang memiliki salah satu dari sedikit hutan hujan yang masih tersisa di wilayah tersebut. Itu berkat hukum adat mereka,” kata ahli tenurial tanah Willem van der Muur.
Wilayah Kajang dibagi menjadi 15 desa luar, serta lingkaran dalam yang terdiri dari empat desa yang membentuk wilayah sakral suku tersebut. Falsafah hidup "Kamase Mase", yang berarti hidup sederhana dan mengambil secukupnya untuk subsisten, adalah landasan gaya hidup mereka.
“Selama kita hidup, hutan akan tetap ada,” kata Jaja Tika, seorang penenun yang berusia sekitar 70 tahun.
Sebagian besar hutan Kajang tidak dapat digunakan, kecuali untuk keperluan tertentu seperti ritual dan pengambilan kayu untuk membangun rumah. Pemimpin mereka, Ammatoa, memastikan aturan ini ditegakkan, dan pelanggar akan menghadapi denda atau bahkan diusir dari komunitas.
Ancaman terhadap hutan Kajang tidak hanya datang dari dalam, tetapi juga dari perusahaan luar. Salah satu konflik paling serius terjadi pada 2003 ketika PT London Sumatra (LONSUM), perusahaan perkebunan karet, mencoba mengambil alih tanah mereka. Polisi menembaki para demonstran, menewaskan empat orang dan melukai sedikitnya 20 lainnya.
Namun, ancaman lainnya adalah modernisasi. Generasi muda mulai pergi ke kota untuk belajar, menggunakan ponsel, dan mengenakan pakaian yang diproduksi secara massal. Namun, beberapa masih bertekad untuk mempertahankan tradisi mereka.
Ramlah, putri Ammatoa, yang berusia 38 tahun, memilih untuk kembali ke desanya setelah lulus kuliah dan membantu memimpin koperasi tenun perempuan yang menjual sarung buatan tangan di pasar lokal.
Meskipun modernitas mulai merambah komunitas mereka, Ramlah dan banyak anggota suku lainnya percaya bahwa keseimbangan antara hukum adat dan nasional dapat menguatkan masyarakat mereka. "Yang paling penting dalam hidup adalah hutan," katanya.