Bolehkah Muslim Mengenakan Sepatu Berkulit Babi?
Babi dan anjing dianggap sebagai najis besar dalam pandangan mazhab Syafiiyah.
REPUBLIKA.CO.ID, Sepatu yang terbuat dari kulit babi menimbulkan perdebatan di kalangan ulama terkait hukum penggunaannya dalam Islam. Inti dari permasalahan ini terletak pada apakah proses penyamakan (dibaghah) dapat mensucikan kulit hewan sehingga boleh dimanfaatkan, termasuk kulit babi.
“Penyamakan adalah proses pembersihan kulit hewan yang melibatkan penghilangan kotoran, lemak, dan bau busuk agar kulit tersebut dapat dimanfaatkan, seperti dijadikan sepatu. Namun, pandangan ulama berbeda terkait efek penyamakan terhadap kesucian kulit hewan.” Kata Ahmad Zarkasih Lc dalam buku Sepatu Yang Terbuat Dari Kulit Babi
Beberapa ulama, seperti dalam madzhab Syafi’i dan Hanafi, berpendapat bahwa penyamakan dapat mensucikan semua jenis kulit hewan, kecuali kulit babi.
Dalil yang mereka gunakan ialah beberapa hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Jika kulit itu telah disamak, maka ia telah suci”
Dikecualikan Kulit Babi dan Kulit Anjing (Al-Syafi’iyyah)
Oleh karena itu, meskipun penyamakan dapat mensucikan kulit hewan lain, baik yang halal maupun haram dimakan, kulit babi tetap dianggap najis dalam pandangan madzhab tersebut, sehingga penggunaannya tidak diperbolehkan dalam Islam.
Salah satu dalil yang digunakan ialah ayat 145 surat Al-An’am:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ......
“katakanlah (Wahai Muhammad) aku tidak menemukan apa-apa yang diharamkan dari apa yang diwahyukan kepadaku berupa makanan kecuali bangkai, darah yang mengalir, dan juga daging babi, karena ia adalah Rijs (Najis)….”
Dalam pandangan madzhab Syafi’i, babi dan anjing dianggap sebagai najis besar (najis mughalladzah) yang berasal dari dzatnya sendiri, baik ketika hidup maupun setelah mati. Karena kenajisannya bersifat esensial, proses penyamakan (dibaghah) tidak dapat mensucikan kulit babi dan anjing, berbeda dengan kulit hewan lain yang bisa menjadi suci setelah disamak. Ulama Syafi’i menyamakan status kenajisan anjing dengan babi, sehingga keduanya tidak dapat disucikan dengan cara apapun. Oleh karena itu, kulit anjing dan babi tetap najis dan tidak boleh digunakan, meskipun telah melalui proses pembersihan atau penyamakan.
Menurut madzhab Malikiyah yang masyhur dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, proses penyamakan (samak) tidak dapat mensucikan kulit hewan secara mutlak, apapun jenis hewannya.
Pendapat ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan bahwa bangkai adalah haram, sehingga kulit hewan yang mati juga dianggap sebagai bangkai dan tidak suci. Oleh karena itu, kulit tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari sahabat Salamah bin Al-Muhabbiq, di mana Rasulullah saw bersabda:
ذَكَاةُ الأَدِيمِ دِبَاغُهُ
“Penyembelihan kulit itu dengan menyamaknya”
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki tiga pendapat terkait penyamakan kulit hewan. Salah satu pendapatnya adalah bahwa samak hanya mensucikan kulit hewan yang dagingnya halal dimakan, berdasarkan hadits yang menyamakan penyamakan dengan penyembelihan, yang hanya berlaku untuk hewan halal. Pendapat lain menyatakan bahwa samak mensucikan kulit hewan yang suci saat hidupnya, meskipun haram dimakan, seperti keledai, karena najis yang disucikan melalui samak adalah yang muncul setelah kematian hewan, bukan yang sudah ada saat hidup. Kulit babi tetap dianggap najis dan tidak bisa disucikan karena kenajisannya melekat sejak hidup.
Madzhab Al-Dzohiriyah, bersama beberapa ulama Malikiyah seperti Syahnun dan Abu Yusuf dari Hanafiyah, berpendapat bahwa samak mensucikan semua kulit hewan tanpa kecuali, termasuk kulit babi. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ibnu Abbas, di mana Nabi saw berkata :
هَلا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ ؟ فَقَالُوا : إِنَّهَا مَيْتَةٌ ، فَقَالَ : إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
“Apakah tidak kalian ambil kulitnya dan kalian manfaatkan, dengan begitu itu lebih mantaaf untuk kalian?” para sahabat berkata: “tapi itu bangkai?” Nabi saw menjawab: “Yang haram itu memakannya”.
Membolehkan memanfaatkan kulit domba yang mati setelah disamak. Bagi madzhab ini, hadits-hadits tentang penyamakan datang dengan redaksi yang umum, sehingga tidak ada pengecualian hewan apa pun. Menurut mereka, yang haram hanya memakan daging hewan tersebut, bukan memanfaatkan kulitnya setelah disamak.
Selain itu, madzhab ini juga menolak hadits Ibnu ‘Ukaim yang dijadikan dasar oleh Malikiyah, karena hadits tersebut dianggap memiliki cacat dalam sanadnya. Hadits tersebut dianggap tidak kuat, karena terdapat perbedaan riwayat mengenai kapan hadits itu disampaikan, dan status Ibnu ‘Ukaim sebagai perawi juga diragukan.
Dalam buku ini, Ahmad Zarkasih mengungkapkan, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa kulit babi tetap najis meskipun telah disamak, sehingga sepatu yang terbuat dari kulit babi tidak boleh digunakan karena dianggap najis dan haram dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat. Namun, menurut madzhab Al-Zohiriyah, kulit babi yang disamak dianggap suci, sehingga tidak ada larangan untuk menggunakan sepatu dari bahan tersebut. Dengan demikian, pandangan mengenai hukum penggunaan sepatu kulit babi tergantung pada madzhab yang dianut,"jelas dia.