TNI Pastikan Tolak Desakan Israel untuk Mundur dari Lebanon
TNI hanya akan menarik pasukan perdamaian di Lebanon atas perintah PBB.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Desakan Zionis Israel terhadap negara-negara yang mengirimkan pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) agar menarik diri dari Lebanon, dianggap angin lalu. Tentara Nasional Indonesia (TNI) menolak menarik mundur Kontingen Garuda yang tergabung dalam pasukan perdamaian UNIFIL di Lebanon.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Markas Besar (Mabes) TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Hariyanto menegaskan, otoritas militer Indonesia, hanya akan menarik pasukannya dari Lebanon jika atas perintah PBB.
Mayjen Hariyanto mengakui, situasi keamanan di Lebanon saat ini memang dalam status merah. Situasi tersebut menyusul peperangan yang masih terus terjadi antara pasukan penjajahan Israel (IDF) dengan kelompok perlawanan Hizbullah di selatan Lebanon.
Pertempuran juga terjadi di beberapa wilayah di Zona Biru, lokasi penempatan Pasukan Perdamaian PBB, termasuk Kontingen Garuda dari TNI. “Perkembangan situasi di Lebanon, sampai saat ini masih terjadi penyerangan di wilayah tersebut,” begitu kata Mayjen Hariyanto kepada Republika, di Jakarta, Senin (7/10/2024).
Ia mengatakan, ada sekitar seribu pasukan TNI yang tergabung dalam UNIFIL Lebanon. “Dan hingga saat ini, belum ada rencana untuk penarikan personel TNI dari daerah kamp-kamp Lebanon,” begitu ujar Mayjen Hariyanto.
TNI memastikan, akan tetap menjalankan perannya sebagai pasukan personel perdamaian di bawah bendera PBB. Dan kata dia, TNI, hanya akan tunduk pada perintah dari PBB. “TNI akan tetap melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang dimandatkan oleh UN (United Nation/PBB). Dan rencana kontijensi evakuasi Satgas TNI, hanya sesuai dengan perintah dari Force Commander UNIFIL,” sambung Mayjen Hariyanto.
Peperangan antara kelompok pejuang Hezbullah dan tentara Zionis Israel pecah di Lebanon. Di perbatasan Lebanon Selatan, pertempuran darat masih terjadi hingga saat ini. Di perbatasan tersebut, terdapat sejumlah pasukan militer dari berbagai negara yang tergabung dalam misi perdamaian UNIFIL Lebanon di bawah bendera PBB. Termasuk pasukan perdamaian dari TNI.
Baru-baru ini, otoritas militer Zionis Israel meminta agar negara-negara yang mengirimkan militernya untuk misi perdamaian di Lebanon angkat kaki dari wilayah tersebut. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk operasi perdamaian, Jean-Pierre Lacroix, memastikan pada Kamis (3/10/2024) bahwa pasukan penjaga perdamaian di Lebanon akan melanjutkan misinya.
"Pasukan penjaga perdamaian UNIFIL (Pasukan Sementara PBB di Lebanon) merasa berkewajiban untuk melanjutkan," ujar Lacroix kepada wartawan selama konferensi pers di markas besar PBB di New York.
Lacroix mengungkapkan bahwa ada 10.058 pasukan penjaga perdamaian di Lebanon, yang merasa berkewajiban menjalankan mandat yang diberikan kepada mereka oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pasukan, ujarnya, juga merasa berkewajiban menjaga penduduk Lebanon selatan. Meskipun banyak menghadapi tantangan, kata Lacroix, misi menjaga perdamaian akan terus dilanjutkan dan memastikan bahwa “rencana darurat sudah siap dan selalu diperbarui”.
"Tentu saja, kami sudah menyiapkan beberapa skenario kedua kalau situasi memburuk, sampai ke skenario terburuk yang mungkin terjadi, yang diharapkan tidak sampai pada evakuasi sebagian dan total," imbuhnya.
Dia menekankan bahwa akibat pertempuran yang sedang terjadi, sangat sulit untuk menilai dengan pasti bagaimana keadaan akan berkembang. Mengenai tujuan UNIFIL untuk melindungi warga sipil di Lebanon, Lacroix mengatakan "pasukan penjaga perdamaian akan melakukan segala daya mereka untuk melindungi penduduk", tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.
Irlandia, salah-satu negara yang mengirimkan pasukan perdamaiannya, juga menentang keras desakan Zionis Israel tersebut. Presiden Irlandia Michael Higgins dalam penyampaian terbuka menegaskan Zionis Israel keterlaluan memerintahkan pasukan perdamaian PBB untuk mundur dari zona biru misi perdamaian.
Ini mengingat hanya PBB yang memiliki kewenangan untuk memerintahkan agar pasukan perdamaian PBB mundur dari zona perdamaian. “Sangat keterlaluan bahwa pasukan Israel telah mengancam pasukan penjaga perdamaian PBB,” begitu kata Higgins.
AS larang Israel serang UNIFIL... baca halaman selanjutnya
Amerika Serikat tidak ingin pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon berada dalam bahaya dengan cara apapun, termasuk diserang oleh Israel, kata Departemen Luar Negeri pada hari Senin. Mereka menambahkan bahwa misi tersebut memainkan peran penting dalam membangun keamanan di negara tersebut.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller juga mengatakan AS menilai operasi darat Israel di Lebanon sejauh ini masih terbatas karena pasukan Israel tampaknya siap memperluas serangan darat ke Lebanon selatan pada peringatan pertama perang Gaza.
“Kami tidak ingin melihat pasukan UNIFIL berada dalam bahaya dengan cara apa pun. Pasukan UNIFIL memainkan peran penting dalam membangun keamanan di Lebanon,” kata Miller kepada wartawan, dilansir Reuters pada Senin.
Dia menambahkan bahwa Washington telah menjelaskan kepada Israel bahwa mereka ingin jalan menuju bandara Beirut terus dioperasikan. UNIFIL mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Ahad bahwa mereka sangat prihatin dengan apa yang mereka sebut sebagai “aktivitas baru-baru ini” Israel yang berdekatan dengan posisi misi tersebut di Lebanon.
Misi tersebut diberi mandat oleh Dewan Keamanan untuk membantu tentara Lebanon menjaga wilayah tersebut bebas dari senjata dan personel bersenjata selain yang dimiliki negara Lebanon. Hal ini memicu perselisihan dengan Hizbullah yang didukung Iran, yang secara efektif menguasai Lebanon selatan.
Pekan lalu, militer Israel meminta pasukan penjaga perdamaian PBB untuk bersiap melakukan relokasi lebih dari 5 km dari perbatasan antara Israel dan Lebanon – yang dikenal sebagai Garis Biru – “sesegera mungkin, demi menjaga keselamatan Anda,” menurut kutipan dari pesan tersebut, dilihat oleh Reuters.
Pada Kamis, kepala penjaga perdamaian PBB mengatakan bahwa pasukan penjaga perdamaian tetap berada di sana dan menyediakan satu-satunya penghubung komunikasi antara militer negara-negara tersebut.
Fokus perang semakin bergeser ke utara, ke Lebanon, tempat pasukan Israel saling baku tembak dengan Hizbullah sejak kelompok yang didukung Iran meluncurkan rentetan rudal untuk mendukung Hamas pada 8 Oktober.
Apa yang dimulai dari pertukaran tembakan harian yang terbatas telah meningkat menjadi pemboman terhadap kubu Hizbullah di Beirut dan serangan darat ke desa-desa perbatasan yang dirancang untuk membasmi para pejuangnya di sana dan memungkinkan puluhan ribu warga Israel yang dievakuasi dari rumah mereka di utara negara itu untuk kembali.
Serangan Israel, yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dalam dua minggu terakhir, telah memicu pengungsian massal dari Lebanon selatan di mana lebih dari 1 juta orang mengungsi.
Saat Israel tolak TNI... baca halaman selanjutnya
Serangan Israel ke Lebanon dengan dalih menumpas kelompok Hizbullah menempatkan Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) di tengah kecamuk perang. Pasukan TNI yang tergabung dalam satuan tersebut ternyata sempat ditolak kehadirannya di Lebanon oleh Israel.
Penolakan itu dilayangan Israel pada 2006, menjelang keberangkatan perdana Kontingen Garuda (Konga) XXIII-A/TNI untuk bergabung dalam UNIFIL. TNI kala itu bersiap mengirim 125 pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia yang dikirim sebagai tim pendahulu (advance) ke Timur Tengah. Rencananya Indonesia akan mengirim sebanyak 1.000 pasukan TNI untuk bertugas di Lebanon.
Kala itu, seperti dilansir the New York Times pada 1 September 2006, Israel mengatakan pihaknya akan menentang tentara dari negara-negara Muslim yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka. Sikap itu berdampak pada tentara dari Indonesia, Malaysia dan Bangladesh yang akan bergabung dengan UNIFIL.
Di Tel Aviv, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Mark Regev, saat itu menyatakan posisi Israel dengan cara yang tidak langsung memberikan penolakan. “Kami pikir semua negara yang ingin berkontribusi harus mempunyai hubungan dengan kedua belah pihak, dengan kami dan dengan Lebanon,” kata Regev.
Dalam menyuarakan kekhawatiran mereka, para pejabat Israel mengatakan bahwa negara-negara yang tidak secara resmi mengakui Israel akan mengalami kesulitan dalam mengirimkan tentara yang bersikap adil dan tidak condong ke arah Hizbullah.
Di tengah penolakan Israel, panglima TNI saat itu, Marsekal Djoko Suyanto, menegaskan pasukan perdamaian TNI tetap akan berangkat ke Lebanon. Bila saat ini pasukan tersebut belum juga berangkat, hal itu semata karena sinyal pemberangkatan belum turun, baik dari PBB maupun pemerintah.
''Apapun yang terjadi, bahkan dengan adanya penolakan Israel, TNI telah siap berangkat,'' kata Djoko kepada wartawan di Jakarta, pada (22/8/2006). Djoko percaya, waktu pemberangkatan terbaik adalah jika perdamaian telah disetujui kedua pihak yang bersengketa. ''Pemerintah tentu telah memikirkan. Kalau belum berdamai, ya kita tidak akan ke sana dulu,'' kata Panglima TNI.
Senada dengan Djoko, menteri pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono, mengatakan tidak ada masalah dengan pemberangkatan pasukan TNI sebagai penjaga perdamaian PBB tersebut. Menanggapi keberatan Pemerintah Israel sehubungan dengan tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara Zionis itu, Juwono bahkan mengatakan keberatan itu sebagai cara yang tidak masuk akal guna mengulur waktu.
Menhan, yang memberikan pernyataan tersebut kepada wartawan di Kementerian Pertahanan, bahkan menyatakan, Israel sama sekali tidak berhak memilah negara mana saja yang bisa menjadi anggota pasukan perdamaian PBB. Hak tersebut, menurut Juwono, sepenuhnya berada di tangan organisasi bangsa-bangsa tersebut.
Tak lupa Juwono mengingatkan, menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB bukan merupakan pengalaman baru bagi Indonesia. Pada 1957 dan 1960, misalnya, Kontingen Garuda I dan II telah diberangkatkan ke Mesir, saat negara-negara Arab bersengketa dengan Israel, serta ke Kongo. ''Dan Indonesia tidak punya hubungan diplomatik, baik dengan Israel maupun Kongo,'' kata Juwono.
Indonesia anggota terbanyak UNIFIL... baca halaman selanjutnya
Hampir 11.000 orang saat ini bekerja di misi tersebut, termasuk sekitar 10.000 personel militer, serta sekitar 550 warga sipil lokal dan 250 warga sipil internasional. Sekitar 50 negara menyumbangkan pasukannya untuk misi ini.
Saat ini, Indonesia menjadi penyumbang terbesar dengan lebih dari 1.200 personel berseragam. MTF saat ini terdiri dari lima kapal; ada juga enam helikopter yang mendukung pekerjaan UNIFIL. Anggaran tahunan UNIFIL adalah sekitar setengah miliar dolar.
Merujuk UN News, UNIFIL dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada Maret 1978 setelah invasi Israel ke Lebanon. Mandatnya adalah untuk mengkonfirmasi penarikan pasukan Israel dari Lebanon, memulihkan perdamaian dan keamanan internasional dan membantu Pemerintah Lebanon dalam memulihkan otoritas efektifnya di wilayah tersebut.
Baru pada tahun 2000 Israel menarik diri dari Lebanon. Karena tidak adanya perbatasan yang disepakati, PBB mengidentifikasi garis penarikan sepanjang 120 km yang dikenal sebagai Garis Biru, yang dipantau dan dipatroli oleh UNIFIL.
Menyusul konflik mematikan selama 30 hari antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006, Dewan Keamanan meningkatkan misinya dengan resolusi yang diperbarui. Resolusi 1701 memperluas mandat awal untuk mencakup pemantauan penghentian permusuhan. Perjanjian ini juga mengamanatkan pasukan penjaga perdamaian UNIFIL untuk mendampingi dan mendukung angkatan bersenjata Lebanon saat mereka ditempatkan di seluruh Lebanon selatan.
UNIFIL memperingatkan pada tanggal 6 Oktober 2024 bahwa mereka “sangat prihatin dengan aktivitas IDF baru-baru ini yang berbatasan langsung dengan posisi Misi,” di Sektor Barat, di dalam wilayah Lebanon. Misi tersebut menurut PBB terus mengamati baku tembak besar-besaran.
“Serangan udara dan serangan darat oleh IDF menargetkan beberapa wilayah di Garis Biru,” kata Juru Bicara PBB Stéphane Dujarric, seraya menambahkan bahwa “Hizbullah melancarkan puluhan serangan dalam periode yang sama, termasuk untuk mengusir serangan darat oleh IDF dan menargetkan wilayah di Israel utara sendiri.”
UNIFIL menambahkan bahwa “ini adalah perkembangan yang sangat berbahaya. Tidak dapat diterima untuk mengkompromikan keselamatan pasukan penjaga perdamaian PBB yang menjalankan tugas yang diamanatkan Dewan Keamanan.”
Pasukan penjaga perdamaian UNIFIL memainkan peran penting dalam membantu menghindari eskalasi dan kesalahpahaman yang tidak disengaja antara Israel dan Lebanon melalui mekanisme penghubung misi tersebut. Mereka berpatroli di Lebanon selatan untuk secara tidak memihak memantau apa yang terjadi di lapangan dan melaporkan pelanggaran terhadap Resolusi 1701.
Pasukan penjaga perdamaian juga mendukung Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF) melalui pelatihan, untuk membantu memperkuat penempatan LAF di Lebanon selatan sehingga mereka pada akhirnya dapat mengambil alih tugas keamanan yang saat ini dilakukan oleh pasukan penjaga perdamaian.
Pasukan penjaga perdamaian tetap pada posisinya dan terus melaksanakan tugas yang diamanatkan, meskipun patroli dan aktivitas logistik jauh lebih menantang karena situasi keamanan saat ini. Mereka mungkin harus kembali ke markas mereka atau bahkan pergi ke tempat penampungan jika ada kemungkinan ancaman terhadap keselamatan mereka.