Sejarah Kelam Brigade Golani, Pasukan Elite IDF yang Babak Belur Dibombardir Hizbullah

Brigade Golani terlibat pembersihan etnis pada 1948 dan perang di Lebanon.

IDF
Anggota Brigade Golani dengan panji kuning berbaris di perbatasan Israel-Gaza.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID,  TEL AVIV – Empat tentara Israel tewas dan tujuh lainnya berada dalam kondisi kritis, serta beberapa lusin lainnya terluka, menyusul serangan pesawat tak berawak Hizbullah yang mengejutkan yang menghindari deteksi atau intersepsi oleh tentara Israel. Apa signifikansi dari serangan tersebut, siapa Brigade Golani yang jadi sasaran serangan itu?

Serangan itu terjadi di pangkalan militer di Binyamina, selatan Haifa. Artinya, ia adalah serangan paling mematikan dari Hizbullah di wilayah kekuasaan Israel sepanjang setahun perang. Serangan itu terjadi setelah beberapa peringatan dari Hizbullah bahwa serangan akan meningkat. Tak lama setelah serangan itu, sirene berbunyi dan semakin banyak roket yang ditembakkan. Tentara Israel mengatakan lima roket dicegat di langit Haifa.

Aljazirah melansir, Ini adalah pilihan target yang sangat simbolis oleh Hizbullah. Brigade Golani adalah unit elit militer Israel. Ini adalah brigade yang telah berpartisipasi dalam semua perang dan operasi militer Israel, sehingga merupakan bagian dari serangan terhadap Lebanon di masa lalu – baik perang tahun 2006, invasi tahun 1978, atau invasi tahun 1982. Saat diserang, brigade itu disebut tengah berlatih dalam persiapan serangan darat terhadap Lebanon.

Kekejaman pasukan elite Israel, Brigade Golani sudah terkenal sejak awal pembentukan negara Zionis tersebut. Pada 1948, selepas negara Zionis Israel didirikan, militer mereka yang baru dibentuk menjalankan Operasi Hiram. Operasi ini adalah bagian dari pembersihan etnis Arab Palestina yang sudah direncanakan sejak sebelum Israel didirikan.

David Ben-Gurion, perancang utama pembersihan etnis memerintahkan operasi itu pada September 1948. “Wilayah Galilea (Al Jalil) harus bersih dan dikosongkan Arab-nya,” kata dia kala itu. Wilayah tersebut meliputi bagian utara wilayah jajahan Israel dan selatan Lebanon saat ini.

Operasi tersebut dilancarkan pada malam 28-29 Oktober 1948, dengan mengerahkan empat brigade pasukan penjajah Israel (IDF). Diantaranya Brigade Ketujuh, Brigade Carmeli, Brigade Golani, dan Brigade Oded.

Sejumlah pembunuhan massal dijalankan dalam operasi yang merebut puluhan desa Arab tersebut. Brigade Golani setidaknya terlibat pada empat diantaranya.

Yang paling mengemuka adalah pembantaian di desa Eliabun yang dihuni umat Kristiani Palestina. Kala itu, setelah pertempuran di luar desa yang mengakibatkan enam tentara Israel terluka dan empat mobil lapis baja Israel hancur, Batalyon 12 Brigade Golani, memasuki desa pada 30 Oktober 1948 dan penduduknya menyerah. 

Pasukan Israel dalam operasi pembersihan desa-desa Arab di wilayah jajahan Beersheba pada 1948. - (wikimedia commons)

Morris Benny dalam bukunya The Birth of the Palestinian Refugee Problem Revisited (2004) menuliskan bahwa penduduk desa mengibarkan bendera putih dan dikawal oleh empat pendeta setempat. Sebagian besar penduduk desa bersembunyi di dua gereja. Namun para prajurit Golani marah karena kekalahan dalam pertempuran.

Menurut surat dari tetua desa, satu warga desa gugur dan lainnya terluka akibat tembakan IDF saat berkumpul atas perintah IDF di alun-alun desa. Komandan IDF kemudian memilih 12 pemuda untuk dieksekusi. Ia juga memerintahkan agar 800 penduduk yang berkumpul dibawa ke dekat Maghar. Seorang lelaki tua lainnya gugur akibat tembakan dari mobil lapis baja di jalan. Sekitar 42 pemuda ditahan di kamp penahanan, dan penduduknya diusir ke Lebanon.

Sejak 1948, nama Golani sebagai brigade paling ganas di militer Israel berkibar. Nama ini mewakili pejuang paling elite di angkatan bersenjata, dan salah satu brigade komando paling dihormati yang dibanggakan Tel Aviv. Pejabat Israel mengklaim setiap anggota Brigade Golani setara dengan 13 tentara biasa.

Para prajurit Brigade Golani memiliki baret coklat sebagai pakaian khas mereka, dan bendera mereka berwarna kuning dan hijau, mengingatkan pada tempat operaasi perdananya, yakni Galilea. Lambang unit menunjukkan pohon zaitun hijau dengan latar belakang kuning. 

Tentara pertamanya adalah petani dan imigran. Unit ini sebagian besar berfungsi sebagai brigade infanteri mekanis, menggunakan kendaraan tempur infanteri Namer. Secara tradisional ditempatkan di Israel utara.

Setelah pengusiran warga Palestina pada 1948 brigade ini juga bertempur dalam Perang Enam Hari (1967) dan Perang Yom Kippur (1973), dikejutkan dengan serangan pasukan Arab tepatnya di sektor yang dipertahankannya: Dataran Tinggi Golan. 

Unit ini juga berpartisipasi dalam dua perang di Lebanon dan perang melawan pejuang Palestina. Pada 2008 dan 2009 mereka mengambil bagian dalam Operasi Cast Lead melawan Hamas di Gaza, sebuah misi yang diulangi dalam Operasi Pelindung Tepi pada tahun 2014.

Saat ini, Brigade Golani terdiri dari tiga batalyon infanteri, satu batalyon pengintai dan satu kompi transmisi. Gadsar Golani memiliki kompi insinyur, kompi anti-tank, dan unit pengintaian khusus. Selain itu, pelatihan unit operasi khusus, Sayeret Egoz atau Unit 621, dilakukan di jajarannya, yang saat ini tergabung dalam Oz Brigade.

Setiap kali tentara Israel menghadapi misi militer yang sulit dan sensitif yang membutuhkan ketekunan dan kekejaman, mereka menggunakan Brigade Golani. Mantan komandan brigade membandingkannya dengan anjing Rottweiler yang harus dirantai pada hari-hari biasa, tetapi akan menjadi pilihan terbaik saat berburu.

Brigade Golani terpukul di Gaza...

 

Namun, citra Brigade Golani yang tak terkalahkan rusak parah dalam perang Gaza, dengan seorang mantan komandan mengakui kepada Channel 12 Israel bahwa seperempat dari jumlah total pasukan elit tewas dalam pertempuran di Gaza. 

Pada serangan pejuang Hamas pada 7 Oktober 2023, Brigade ini mengalami kerugian korban jiwa yang sangat besar. Setelah diserang secara mendadak oleh Hamas yang menyusup ke puluhan titik di sepanjang pembatas perbatasan antara Israel dan Gaza, 72 tentara dari Batalyon Gideon ke-13 dan HaBokim ke-51 Batalyon HaRishon terbunuh dalam serangan itu. Itu adalah kekalahan tempur terburuk mereka sejak 1951. 

Batalyon Gideon ke-13 mengalami kondisi terburuk, dengan 41 orang tewas dan 91 luka-luka, menderita lebih banyak korban dibandingkan Perang Yom Kippur, yang menewaskan 23 orang. Sejumlah lainnya ditangkap oleh Hamas. 

Dalam serangan darat ke Gaza, Brigade Golani juga disikat pejuang Hamas di wilayah Shujaiya. Shujaiya adalah salah satu lingkungan terbesar dan terpadat di Kota Gaza dengan populasi 110.000 jiwa sebelum perang. Luas wilayahnya 6 kilometer persegi. Pasukan tentara Israel, khususnya Brigade Golani, mengalami kerugian besar di lingkungan ini.

Sebagian besar korban di Brigade Golani pada serangan darat berada di Shujaiya. Lingkungan ini terletak di sebelah timur Gaza dan dekat perbatasan wilayah pendudukan. Kibbutz Israel di Nahal Oz berjarak kurang dari satu kilometer dari Shujaiya.

Jurnalis Israel Hanan Greenwood yang memasuki Gaza bersama Brigade Golani menggambarkan lingkungan tersebut sebagai salah satu target paling gigih yang dihadapi brigade tersebut sejak awal perang. Shujaiya berpenduduk padat, kata jurnalis tersebut, dan dianggap sebagai salah satu lingkungan terkuat di Gaza. Itu sebabnya korban Golani di dalamnya tinggi.

Pada 12 Desember lalu, sebanyak 10 personel Brigade Golani tewas disergap pasukan Hamas, Brigade al-Qassam di Shujaiyah. Dari jumlah itu, dua komandan tewas. Salah satunya Kolonel Itzhak Ben Basat (44 tahun). Ia adalah komandan legendaris dengan nama perang “BenBan”. 

Selanjutnya adalah Letkol Tomer Grinberg (35). Ia merupakan komandan Batalyon 13, Brigade Golani. Tomer Grinberg sempat terekam memberikan semangat kepada pasukannya di perbatasan dengan Gaza bahwa mereka akan menghabisi Hamas dan keluar Gaza dengan berjaya. Ia tak keluar dari Gaza hidup-hidup, tewas dalam serangan di Gaza utara.

Pasukan Elite Israel Terpukul - (Republika)

Serangan ini juga dilakukan di tengah sesumbarnya Israel bahwa mereka telah membuat Hizbullah menjadi organisasi tanpa kepala setelah pembunuhan Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallah dan para pemimpin militer peringkat pertama. Israel mengeklaim bahwa Hizbullah menghadapi krisis dalam kemampuan mereka setelah kehilangan sebagian besar kekuatan mereka.

Serangan mematikan pagi ini menyangkal klaim terseut. Hizbullah  mengumumkan dalam pernyataan resmi bahwa mereka telah menargetkan kamp pelatihan Brigade Golani di Binyamina, selatan Haifa, dengan satu skuadron drone bunuh diri sebagai tanggapan atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel di Beirut dan wilayah Lebanon lainnya.

Rincian serangan itu masih terus coba diungkap. Tentara Israel mengumumkan bahwa empat prajurit tewas dan sekitar 70 lainnya luka-luka, termasuk puluhan orang dalam kondisi kritis dan luka sedang. Sementara surat kabar Yedioth Ahronoth melaporkan dari penyelidikan awal bahwa drone yang digunakan dalam serangan itu adalah tipe "Shahed 107", sumber lain mengatakan bahwa drone tersebut adalah tipe "Mersad", yang memiliki jangkauan antara 150 dan 200 kilometer.

Radio Tentara Israel melaporkan bahwa drone yang menyerang menembakkan rudal ke pangkalan pelatihan Brigade Golani sebelum mengenai ruang makan di dalam pangkalan. Hal ini mengingatkan kembali akan penggunaan drone yang sarat rudal oleh Hizbullah untuk pertama kalinya pada Mei 2024, ketika sebuah drone yang dilengkapi dengan dua rudal menyerang situs militer Israel di Metula.

Keberhasilan serangan terhadap pangkalan Brigade Golani, dan kemampuannya untuk melewati pertahanan udara berlapis-lapis, terjadi kurang dari sebulan setelah serangan Israel yang keras dan tiba-tiba yang diterima Hizbullah, yang merenggut nyawa para pemimpinnya yang paling terkemuka. Israel juga mengebom gudang senjata Hizbullah dan infrastruktur militernya, yang pada saat itu menimbulkan pertanyaan tentang kemampuan pejuang untuk bersatu dan terus berperang dalam sistem komando dan kendali yang efektif dalam kondisi seperti itu.

Serangan Binyamina menunjukkan bahwa Hizbullah terus melanjutkan pemulihannya dari guncangan serangan Israel yang diterimanya. Keberhasilan drone dalam mencapai sasarannya di selatan Haifa, menghantam pangkalan militer saat tentara sedang makan, dan sekaligus meluncurkan salvo roket ke arah Nahariya dan Acre untuk mengalihkan perhatian pertahanan Israel pada saat penyerangan, menunjukkan adanya sebuah komando. 

Selain itu, juga menunjukkan adanya sistem kendali yang mengkoordinasikan dan mengatur upaya antara penggunaan kekuatan udara dan rudal, selain adanya informasi intelijen sebelumnya yang akurat tentang lokasi pangkalan yang ditargetkan. Hizbullah juga agaknya memiliki info akurat soal pergerakan tentara tentara Israel di pangkalan itu.

Dari sudut pandang militer, ini juga berarti adanya ruang kendali untuk mengawasi arah pesawat selama penerbangan, yang mengarah pada peluncuran rudal dari pesawat menuju sasaran sebelum melakukan kamikaze.

Serangan itu adalah bagian dari serangkaian serangan harian yang membuktikan kemampuan Hizbullah untuk terus mengelola pertempuran di selatan meskipun ada serangan Israel, penembakan artileri, dan upaya serangan darat yang melibatkan empat divisi Israel. Pejuang Hizbullah terus menembakkan antara 100 dan 200 roket setiap hari ke lokasi, pangkalan, dan pemukiman militer. 

Mereka juga menargetkan wilayah mobilisasi tentara Israel dan menghadapi upaya infiltrasi dan serangan darat. Pada 13 September, setidaknya 100 tentara Israel terluka jika menghitung jumlah total operasi yang terjadi pada siang hari.

Serangan Binyamina juga membuktikan bahwa agresi terhadap Lebanon bukanlah hal yang mudah, dan bahwa penjajah dihadapkan pada perang yang menguras tenaga setiap hari yang membebani mereka secara finansial dan kemanusiaan. Hal ini  mengingat penolakan komunitas Haredim untuk mengikuti wajib militer dan masalah perpanjangan masa dinas tentara cadangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler