PBB: Serangan Israel ke UNIFIL Langgar Hukum Internasional
PBB menolak permintaan Israel agar menarik pasukan perdamaian dari perbatasan Lebanon
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kecaman terus mengalir atas serangan Israel baru-baru ini terhadap Pasukan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Lebanon (UNIFIL), yang telah melukai sejumlah anggota pasukan penjaga perdamaian di bagian selatan negara Arab tersebut. PBB menilai serangan itu merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.
"Serangan kepada pasukan penjaga perdamaian merupakan pelanggaran hukum internasional dan bisa jadi kejahatan perang," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip juru bicaranya Stephane Dujarric pada Ahad (13/10) malam.
"Personel UNIFIL dan sejumlah posisi penempatannya tidak boleh menjadi sasaran," kata Dujarric mengacu pada pasukan internasional yang memakai helm biru tersebut.
Dia juga menambahkan bahwa dalam insiden sangat mengkhawatirkan yang terjadi pada Ahad, gerbang masuk posisi PBB juga sengaja diterabas oleh kendaraan lapis baja Israel. Setidaknya lima pasukan penjaga perdamaian telah terluka dalam beberapa hari terakhir akibat serangan Israel di Lebanon selatan.
Pada Sabtu (12/10), 40 negara yang berkontribusi dalam misi penjaga perdamaian PBB di Lebanon mengeluarkan pernyataan bersama, mengutuk serangan Israel terhadap misi tersebut dan menyerukan penyelidikan atas insiden yang terjadi.
Spanyol, Prancis dan Italia telah mengecam serangan tersebut sebagai tidak dapat dibenarkan. Pada Jumat (11/10), Presiden AS Joe Biden juga mengatakan bahwa dia telah mendesak Israel agar berhenti menargetkan pasukan penjaga perdamaian.
Sementara itu, Turki mengatakan serangan Israel terhadap UNIFIL merupakan ekspresi dari kebijakan pendudukan Netanyahu di Lebanon.
"Peran pasukan penjaga perdamaian PBB sangat penting, terutama mengingat fakta bahwa Israel berupaya memperluas perang di kawasan tersebut," kata Kementerian Luar Negeri Turki.
Turki juga menambahkan bahwa Dewan Keamanan PBB harus mencegah serangan terhadap pasukan yang berafiliasi dengan badan dunia tersebut.
UNIFIL, misi sekitar 9.500 tentara dari berbagai negara yang dibentuk setelah invasi Israel ke Lebanon pada 1978, menuduh militer Israel 'sengaja' menembaki posisinya.
Pemimpin Israel Benjamin Netanyahu meminta Guterres pada Ahad (13/10) untuk memindahkan pasukan penjaga perdamaian keluar dari "jalur bahaya". Ia mengeklaim Hizbullah menggunakan UNIFIL sebagai 'perisai manusia'.
UNIFIL telah menolak untuk meninggalkan posisi mereka.