Carut Marut Internal Israel, Netanyahu Diserang Sana Sini, dan DPR Soal Gencatan Senjata
Kelompok zionis ekstremis jadi biang kerok Israel lakukan genosida di Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Genosida yang terjadi di Gaza Palestina ternyata memang disengaja. Militer Israel memang berniat menembaki anak dan warga Palestina serta mencegah bantuan kemanusiaan masuk ke sana. Hal ini dikatakan Menteri Keuangan Israel yang merupakan politisi ekstrem sayap kanan Bezalel Smotrich dalam pidatonya baru-baru ini di Israel.
"Lihatlah Gaza—kota itu hancur, tak berpenghuni, dan akan tetap seperti itu. Jangan terpengaruh oleh perayaan paksa musuh-musuh kita. Mereka adalah masyarakat biadab yang mengagungkan kematian dan menari di atas reruntuhan kehidupan mereka sendiri. Tak lama lagi, kita akan sekali lagi menghapus senyum mereka dan menggantinya dengan tangisan putus asa dan ratapan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa," katanya.
Namun kini upaya mereka untuk melanjutkan genosida itu dihadang oleh perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas Palestina yang terjadi di Doha Qatar beberapa waktu lalu. Perjanjian itu menekan Israel untuk menarik seluruh pasukannya dari koridor Philadelphia, yang di dalamnya termasuk kawasan perbatasan Gaza dengan Mesir, Rafah. Israel juga diharuskan membebaskan tahanan warga Palestina yang mereka tangkap selama perang terjadi lebih dari setahun.
Selain itu, Hamas harus membebaskan para sandera, yaitu mereka warga Israel yang selama ini mereka tahan secara acak.
Selain berpidato, ekstremis Bezalel Smotrich mengecam perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menyetujui gencatan senjata Gaza dalam pidato publik. Kesepakatan gencatan senjata Gaza adalah "kesepakatan yang membawa bencana", kata Smotrich.
Saat membahas pendudukan, Smotrich menyampaikan kritik tajam terhadap Benjamin Netanyahu dan kesepakatan yang baru disetujui untuk pembebasan tawanan, menyebutnya sebagai perjanjian bencana yang membahayakan keamanan nasional dan merusak "kemajuan" yang dicapai selama perang.
Meskipun penentangannya yang keras terhadap penetapan gencatan senjata tidak membuahkan hasil, ia menegaskan komitmennya untuk memastikan tujuan perang tetap utuh, khususnya tujuan yang mustahil untuk membubarkan gerakan Perlawanan Hamas di Gaza.
Menteri sayap kanan itu juga mengungkapkan bahwa sebelum perjanjian itu disetujui, ia dengan tegas menganjurkan pengambilalihan dan pendudukan Gaza secara bertahap untuk mendapatkan kontrol menyeluruh atas wilayah itu dan menghentikan bantuan kemanusiaan yang diduga mencapai Hamas.
Mengakui kekalahan, Smotrich mendesak para pemukim ilegal untuk tetap teguh dan bertahan "sampai kemenangan tercapai".
Ia kemudian menegaskan kembali posisinya, dengan menyatakan bahwa ia tidak akan tetap berada dalam pemerintahan yang menghentikan perang sebelum waktunya atau gagal mengamankan kemenangan definitif. Ia menyerukan kepada warga negara untuk tetap tangguh dan bersatu, serta bersumpah untuk melanjutkan perjuangan sampai semua tawanan dikembalikan dan Hamas disingkirkan.
Mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel Giora Eiland mengakui betapa sulitnya mengalahkan Hamas. Menurutnya, "Selama senjata dan amunisi masih ada di Gaza, dan selama masih banyak pemuda yang siap bertempur sampai mati, kemenangan akan tetap sulit diraih," katanya sebagaimana diberitakan al Mayadeen.
Kepercayaan kepada Netanyahu anjlok
Sebuah jajak pendapat yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Maariv mengungkapkan bahwa hanya 8% warga Israel yang percaya bahwa pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah sepenuhnya mencapai tujuan yang ditetapkan untuk perang di Gaza.
Hal ini terjadi di tengah laporan media Israel yang menekankan besarnya korban yang ditanggung pasukan pendudukan Israel di Gaza utara.
Selain itu, The New York Times menyoroti meningkatnya skeptisisme di kalangan eselon atas pimpinan militer Israel tentang pencapaian dua tujuan utama perang: memberantas Hamas dan mengamankan pembebasan lebih dari 100 tawanan yang masih ditahan di Gaza.
Parlemen Israel akhirnya menyetujui
Kendati menurut laporan media setempat terdapat tiga menteri yang menentang, akhirnya Kabinet Keamanan dan Politik Israel pada Jumat (17/1) menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan dan gencatan senjata di Gaza.
Kabinet Keamanan terdiri dari 11 menteri. Namun, kesepakatan dengan Hamas akan diajukan ke Kabinet penuh pada Jumat malam, dengan harapan akan disetujui.
Menurut pernyataan kantor pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, "Setelah mengevaluasi semua aspek politik, keamanan, dan kemanusiaan, serta menyadari bahwa kesepakatan yang diusulkan sejalan dengan tujuan perang, Komite Menteri untuk Urusan Keamanan Nasional (Kabinet Politik-Keamanan) merekomendasikan pemerintah untuk menyetujui rencana yang diusulkan."
"Dewan Kabinet diharapkan akan bersidang pada hari ini," bunyi pernyataan tersebut.
Sementara itu, Radio Militer Israel melaporkan bahwa tiga menteri memberikan suara menentang kesepakatan tersebut:
Mereka adalah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Menteri Kerja Sama Regional David Amsalem, yang merupakan anggota Partai Likud.
Kata Anggota DPR Indonesia
Anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan bahwa upaya diplomasi tidak boleh setop atau berhenti, meskipun gencatan senjata telah disepakati antara Israel dengan Kelompok Perlawanan Palestina, Hamas.
Jazuli mengingatkan bahwa sikap Indonesia sudah jelas sejak awal untuk mendesak Israel menghentikan segala macam bentuk agresi dan penjajahan atas wilayah Palestina.
“Indonesia mendukung penuh kemerdekaan rakyat Palestina. Inilah perjuangan kita yang merupakan amanat konstitusi, amanat konferensi Asia-Afrika di Bandung, sekaligus utang sejarah Bangsa Indonesia," kata Jazuli dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Selain itu, dia meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawal gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari 2025 dengan tegas karena mempertimbangkan sikap Israel yang kerap kali melanggar perjanjian, dan mengkhianati berbagai resolusi damai.
Ia menjelaskan bahwa permintaan tersebut juga bertujuan agar rakyat Palestina memperoleh hak hidupnya di wilayah yang sah dapat terwujud. “Apa yang terjadi di Gaza, Palestina, sejatinya bukan konflik atau perang antara dua negara, tetapi bentuk penjajahan di era modern. Rakyat Palestina dan para pejuangnya hanya mempertahankan wilayahnya dari penjajahan yang selama puluhan tahun direnggut paksa," ujarnya.
Sementara itu, dia berharap gencatan senjata Israel-Hamas tersebut membuat semua bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza dapat masuk dengan akses yang terbuka seluas-luasnya.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia juga dapat berperan untuk menggalang dan mengoordinasikan bantuan kemanusiaan dari dalam negeri saat gencatan senjata terjadi.
Ia juga berharap gencatan senjata tersebut dapat menghentikan secara permanen penjajahan Israel terhadap Palestina.
“Kami berharap PBB dan instrumen penjaga perdamaian yang dimilikinya benar-benar bisa mewujudkan perdamaian di Gaza dan mengawal proses rekonstruksi maupun rehabilitasi Gaza dengan sebaik-baiknya," katanya.
Sebelumnya, Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani mengonfirmasi kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas dalam konferensi pers di Doha, Rabu (15/1).
Ia menguraikan tahap pertama, yang akan berlangsung selama 42 hari, mencakup pembebasan 33 tahanan Israel dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina.
- Palestina
- gaza
- israel
- tel aviv
- netanyahu
- amerika serikat
- operasi badai al aqsa
- thufan al aqsa
- two state solution israel dan palestina
- solusi dua negara palestina dan israel
- perdamaian di palestina
- hamas
- hizbullah
- IDF
- israel defense force
- bantuan untuk palestina
- bantuan untuk gaza
- bantuan kemanusiaan
- bantu palestina
- zionis
- ektremis