Menlu RI: Jika Bukan Israel Pasti Sanksi Internasional Sudah Mengantre
Menlu Retno memertanyakan standar ganda badan internasional terhadap Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyampaikan kegeramannya dengan impunitas yang dimiliki Israel sementara melakukan kejahatan di Jalur Gaza. Ia mengiyakan soal standar ganda badan internasional jika menyangkut entitas Zionis tersebut.
Hal ini ia sampaikan dalam wawancara khusus dengan Republika pekan ini di Gedung Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Ia menyatakan, PBB sedianya sudah memiliki Dewan Keamanan yang mandatnya adalah menciptakan dan memelihara perdamaian. “Pertanyaan saya adalah, melihat situasi Gaza, melihat situasi Tepi Barat, melihat situasi di Lebanon, apakah Dewan Keamanan PBB sudah bekerja secara maksimal untuk menghentikan kekerasan? Untuk menghentikan perang? Untuk menghentikan konflik? Kan itu tidak dilakukan,” kata Menlu RI.
Menurutnya, mandat dunia yang dilimpahkan pada Dewan Keamanan PBB belakangan tidak dilakukan secara maksimal. “Dan bahkan di dalam beberapa kali pertemuan yang membahas Palestina, resolusi-resolusi yang mencoba menyelesaikan masalahnya diveto oleh negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB,” ujar Retno.
Sejak Israel melakukan agresi brutal ke Gaza, sejumlah resolusi gencatan senjata sempat dirundingkan di Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat, sekutu utama Israel memveto tiga kali upaya tersebut. Baru pada Mei lalu mereka ikut menyepakati resolusi gencatan senjata meski hal itu tak dijalankan Israel.
“Jadi sekali lagi, kalau kita diberi sebuah privilege besar, misalnya kita diberi privilege pemegang hak veto, disitulah terdapat tanggung jawab yang besar. Jadi panggilan kita: tunaikan tanggung jawabmu yang besar itu dengan baik!”
Sebagai seorang ibu dan seorang nenek, Retno menyatakan miris melihat kondisi anak-anak di Gaza. “Dia duduk di atas puing-puing, darahnya ngocor, ada anak-anak yang dia duduk tidak ada apa-apa, kemudian kakinya sudah hanya satu. Apakah potret-potret seperti itu tidak cukup untuk menggerakkan hati kita!? Untuk menyetop semua kekejaman yang dilakukan,” ujarnya.
Ia juga memertanyakan banyaknya hukum internasional yang dilanggar oleh Israel tanpa konsekuensi. “Kok negara tersebut tidak mendapatkan hukuman apapun? Kalau yang melakukan negara lain, saya yakin sanksi yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB, pasti sudah antre banyak list-nya. Kenapa tidak dengan negara ini!?”
Menlu tak ragu mengiyakan bahwa ada standar ganda terkait Israel di badan-badan Internasional. “Standar ganda, ya! Dan itu panggilan yang terus kita lakukan di dunia internasional. Kalau kita ingin mengatakan bahwa “hormatilah hukum internasional”, maka ada anak kalimat yang tidak kalah pentingnya, “hormatilah hukum internasional secara konsisten”. Kata-kata “konsisten” ini menjadi sangat penting artinya, apalagi dalam melihat situasi Palestina saat ini.”
Pelanggaran Israel...
Israel belakangan kian antagonistik terhadap PBB. Bahkan dengan serangan ke tentara penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), Israel seperti menyatakan perang terhadap lembaga internasional tersebut.
Pada akhir September lalu, PM Israel Benjamin Netanyahu menyampaikan pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) di mana ia mengatakan bahwa “rumah kegelapan PBB ini terhina di mata orang-orang baik di mana pun”. Dia selanjutnya menyebut UNGA sebagai “rawa antisemit” dan “masyarakat bumi datar anti-Israel”.
Meskipun Israel telah lama menghalangi para pejabat PBB untuk memasuki wilayahnya dan menolak pertemuan dengan para pejabat mereka dengan berbagai alasan, pada awal Oktober penolakan itu memuncak. Kala itu Israel mendeklarasikan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai persona non grata. Dampak ironisnya, Israel melarang masuk pimpinan lembaga yang menciptakan wilayah negaranya.
Pada 11 Oktober, pasukan Israel menembaki pasukan UNIFIL yang beroperasi di Lebanon selatan untuk kedua kalinya dalam jangka waktu 48 jam. Keesokan harinya, tank Israel kembali menembaki markas UNIFIL di Lebanon, yang berbasis di Naqoura.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka mengusir pasukan PBB dari wilayah tersebut untuk membuka jalan bagi agresi Israel yang berniat menghabisi Hizbullah di selatan Lebanon. Pernyataan bahwa pasukan Hizbullah berlokasi di, atau di sekitar, markas UNIFIL, merupakan pembenaran untuk menganggapnya sebagai sasaran militer yang sah.
Israel juga telah membunuh sekitar 230 pegawai PBB di Jalur Gaza sejak Oktober 2023. Hal ini menjadikan perang di Gaza sebagai konflik paling mematikan bagi staf PBB sepanjang sejarah.
Rezim Israel juga melancarkan fitnah soal keterlibatan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dalam serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023. Fitnah tersebut berakibat fatal karena sejumlah negara Barat pendukung Israel sempat menghentikan pendanaan untuk badan yang sangat krusial bagi kehidupan pengungsi Palestina itu. Yang terkini, Israel tengah merancang undang-undang yang melarang UNRWA beroperasi di wilayahnya dan wilayah yang diduduki.
Israel juga nekat melanggar keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang merupakan badan hukum tertinggi PBB. Mereka tetap melakukan genosida meski sudah diminta mahkamah menghentikannya pada Januari 2024. Israel juga melawan putusan ICJ pada Juni 2024 dengan tetap melakukan serangan ke Rafah di selatan Jalur Gaza yang sesak oleh pengungsi. Ketika Mahkamah Internasional memutuskan bahwa pendudukan Israel atas tanah Palestina adalah ilegal, hal ini juga ditanggapi dengan penghinaan oleh pejabat-pejabat Israel.
Israel telah melanggar jauh lebih banyak resolusi PBB dibandingkan negara manapun. Mereka tetap meluaskan pemukiman ilegal di Tepi Barat meski PBB berulang kali mengeluarkan resolusi melarang hal tersebut.
Israel juga tetap melakukan agresi brutal ke Gaza yang hingga kini telah menewaskan lebih dari 42.300 jiwa di Gaza meski sudah keluar Resolusi Dewan Keamanan PBB mendesak gencatan senjata pada Ramadhan tahun ini.
Dalam wawancara khususnya dengan Republika, Menlu RI Retno LP Marsudi menyatakan perlawanan Israel terhadap lembaga internasional ini sangat berbahaya.
“Kalau kita diam, PBB akan dihajar terus. Kalau PBB dihajar terus, lambang atau simbol multilateralisme akan digoyang, akan dikoyak. Kalau lambang multilateralisme dikoyak, yang akan terjadi apa? The mighty takes all. Orang yang kuat, negara yang kuat, dia akan mengambil semuanya. Kita akan diam? Enggak! Kalau saya, tidak!”