Ketika Hamka Dituduh Plagiat

Novel karya Buya Hamka ini dituduh sebagai hasil plagiat atas karya sastrawan Mesir.

dok wiki
Novel karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang akrab disapa Buya Hamka (1908-1981) merupakan sosok yang multitalenta. Tidak hanya berkiprah di dunia dakwah dan pendidikan Islam, ulama berdarah Minangkabau itu juga dikenal luas sebagai seorang sastrawan terkemuka. Sepanjang hayatnya, ia telah menghasilkan tidak kurang dari 84 judul buku.

Beberapa di antaranya adalah roman, seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Merantau ke Deli. Ketiganya bahkan masih menjadi bacaan yang digemari hingga saat ini, sehingga melambungkan nama Buya Hamka dari generasi ke generasi.

Sebagaimana umumnya figur publik, perjalanan hidup ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut tidak lepas dari alang merintang. Pada era Orde Lama, ia pernah menjadi sasaran intimidasi yang dilakukan penguasa maupun lawan-lawannya. Di dunia sastra, sempat namanya dituding sebagai seorang plagiator.

Pada 7 September 1962, surat kabar Bintang Timoer yang memiliki lembar sastra “Lentera”, memuat sebuah artikel yang ditulis Abdullah Said Patmadji. Dalam tulisannya itu, Abdullah SP menilai, Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka (1939) adalah hasil plagiat atas novel Al Majdulin karya sastrawan Mesir, Musthafa Lutfi al-Manfaluti.

Buah pena perintis sastra Arab modern itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Magdalena. Edisi bahasa Prancisnya dinamakan Magdalaine.

Al Majdulin alias Magdalaine alias Magdalena sendiri merupakan novel saduran dari Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Tilia) karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Demi menguatkan argumentasinya, Abdullah SP menjabarkan strip-strip yang dikomparasikan sebagai berikut. (A adalah petikan dari Magdalena, sedangkan B adalah dari Tenggelamnya Kapal van der Wijck.)

Pertama:

Baca Juga


A > Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemuda Stevens (hlm. 3-4)
B > Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemuda Zainuddin (hlm. 35)
Kedua:
A > Stevens tinggal di kamar atas rumah orang tua Magdalaine yang sedianya kosong (hlm. 3-4)
B > Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumah orang tua Hayati (hlm. 35)
Ketiga:
A > Perikatan janji prasetia antara Magdalaine dan Stevens “di bawah naungan bunga tilia” disusul dengan adegan asmara di danau (hlm. 37-40)
B > Pertemuan di waktu hujan “di bawah sebuah payung” disusul dengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)
Keempat:
A > Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujui orang tua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir (hlm. 52-56)
B > Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak disetujui orang tua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir (hlm. 52-56)
Kelima:
A > Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens (hlm. 115-117)
B > Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin (hlm. 83-86)
Keenam:
A > Perkawinan Magdalaine dengan Edward (hlm. 180-190)
B > Perkawinan Hayati dengan Aziz (hlm. 123-131)
Ketujuh:
A > Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243)
B > Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)
Kedelapan:
A > Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai (hlm. 245-254)
B > Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapal Van der Wijck (hlm. 177-180)
Kesembilan:
A > Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya (hlm. 245-254)
B > Zainuddin mati mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya (hlm. 198-200)
Kesepuluh:
A > Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiat Stevens (hlm. 245-254)
B > Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiat Zainuddin (hlm. 198-200)

 

Waktu artikel Abdullah SP itu naik cetak, harian Bintang Timoer dipimpin sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pramoedya Ananta Toer. Lekra adalah organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia, serta dipandang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam berbagai kesempatan, Pram pun menuding Hamka telah menjiplak mentah-mentah karya al-Manfaluti itu.

Lebih lanjut, penulis yang di kemudian hari menghasilkan Tetralogi Buru itu juga mendesak Hamka agar mengakui plagiasi dan meminta maaf kepada masyarakat pembaca Indonesia. Terhitung sejak Februari 1962, reputasi Hamka menjadi bulan-bulanan harian Bintang Timoer.

Banyak pihak menengarai, tindakan Pram “menembak” tuduhan kepada Hamka tidak terlepas dari konteks politik saat itu. Putra Haji Rasul itu berlatar belakang politik Masyumi. Parpol Islam ini, bersama dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) telah diberangus oleh penguasa Orde Lama, presiden Sukarno. Sebab, keduanya dituding terlibat dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pembubaran dua pesaing tentu saja membuat girang PKI—yang juga sangat dekat dengan Bung Karno ketika itu.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler