Ali bin Abi Thalib Larang Pengultusan Diri dan Fanatisme

Khalifah Ali menentang mereka yang fanatik buta dan mengultuskan dirinya.

dok wiki
Ali bin Abi Thalib
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Islam, konflik terbuka sesama Muslimin pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW muncul pada era khalifah Ali bin Abi Thalib. Bara pemicunya mencuat sejak Utsman bin Affan gugur akibat diserang gerombolan pemberontak.

Baca Juga


Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi spiral yang menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari. Ali berjuang ekstra keras untuk meneguhkan stabilitas politik di seluruh wilayah Islam.

Ia mendapatkan pertentangan dari ‘Aisyah binti Abu Bakar dan, selanjutnya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ummul mukminin itu sangat terpukul dengan terbunuhnya Utsman sehingga menuntut agar pembunuh sang Dzun Nurrain segera diadili.

Sementara itu, Ali pun dalam posisi sulit.

Sepupu Nabi SAW itu sesungguhnya enggan diangkat menjadi amirul mukminin pasca-wafatnya Utsman. Namun, keadaannya dilematis. Kalaupun mundur, ia juga tidak bisa. Sebab, mayoritas Muslimin mendesaknya agar bersedia dibaiat demi situasi kondusif Madinah. Akhirnya, ia setuju memikul beban berat itu.

Ali menghadapi berturut-turut kubu 'Aisyah dan kubu Mu'awiyah dalam Perang Unta (656 M) dan Perang Shiffin (657 M). Dalam pertempuran yang pertama, Ali menang sehingga 'Aisyah dikawalnya pulang ke Madinah. Berbeda dengan palagan yang berikutnya.

Perang Shiffin berlangsung imbang di lapangan. Kedua belah pihak lalu menempuh perundingan secara arbitrase (tahkim). Cara itu sesungguhnya biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.

Segolongan tentara Ali kemudian tidak setuju dengan hasil tahkim--padahal mereka sebelumnya sangat mendukung opsi tahkim. Orang-orang ini lantas meninggalkan kepemimpinan Ali dan membentuk kekuatan sendiri.

Kelompok inilah yang akhirnya terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Menurut Prof Harun Nasution dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995), nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti ‘keluar'. Maknanya, mereka adalah yang telah keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.

Bahaya pengultusan diri

 

Ekstremis Khawarij yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi merencanakan pembunuhan terhadap Ali dan Mu'awiyah. Sang gubernur Syam lolos. Tidak demikian halnya dengan Ali.

Ayahanda Hasan dan Husain itu syahid dibunuh Khawarij saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah, Irak.

Seseorang menyampaikan kabar gugurnya Ali kepada Abdullah bin Saba. Ia adalah pemuka Yahudi Yaman yang berasal dari suku Himyar dan masuk Islam pada masa pemerintahan khalifah Utsman.

"Biar kau bawakan seribu saksi, aku tak percaya bahwa Imam Ali meninggal," kata Abdullah bin Saba.

Namun, kata-kata itu hanyalah sandiwara, seolah-olah ia begitu mencintai Ali. Sebab, maksudnya adalah mempengaruhi kaum Muslimin dari kalangan awam agar mengultuskan Ali sehingga menolak kabar kematiannya.

Sebenarnya, Ali sendiri pernah menolak kultus individu pada dirinya. Dikisahkan, sahabat Nabi SAW itu menghukum seorang penyair yang masyhur bernama Di'bil. Sebab, sastrawan itu telah memuji-muji Ali dalam sajak-sajaknya secara kelewat batas.

"Ada dua golonganku dan keduanya celaka, (yakni) mereka yang mengultuskan aku dan yang membenciku secara berlebihan," kata Ali.

"Menurut Ali, mereka itu adalah orang bebal dan rendah budi. Mereka bergerak menurut arah angin, mengikuti yang keras kepala, serta tidak mau mengambil petunjuk dari Allah, yakni (dari) Alquran dan Hadis," demikian dijelaskan Dr Sayid Musa Al-Musawi dalam satu bukunya.

Mengikuti Rasulullah SAW, Ali memuji kelompok tengah (ummatan wasathan). "Sebaik-baik urusan itu di jalan tengah. Tidak ekstrim dan juga tak terlalu moderat. Keluar dari jamaah alias mufarraqah berarti lepas dari tuntunan," katanya.

Salah satu yang mufarraqah itu adalah Amir bin Jarmuz. Dalam Perang Unta, ia termasuk yang termakan hasutan Abdullah bin Saba.

Sebenarnya, perang saudara ini tak akan meletus kalau saja Abdullah bin Saba tak membuat berita bohong yang disebarkannya ke kubu Ali maupun kubu 'Aisyah.

Setelah kubu 'Aisyah menyerah dan kembali ke Madinah, Amir diam-diam memburu Zubair bin Awwam, salah satu sahabat Nabi yang berada di kubu 'Aisyah.

Di lembah sekitar Basrah, Amir membunuh Zubair yang sedang melaksanakan shalat. Kemudian, ia memotong sebelah tangan sang syuhada dan mengambil pedang milik korbannya. Ini dilakukannya sebagai bukti kesetiaan kepada Ali.

Namun, bukan pujian yang diterima Amir dari Ali, melainkan kemarahan dan penyesalan.

"Aku tahu siapa pemilik tangan dan pedang ini. Sungguh, ia adalah pejuang di sisi Rasulullah. Dia pahlawan Islam. Engkau (Amir) telah membunuhnya secara zalim," kata Ali.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler