Menilik Kebijakan Trump yang Kontroversial pada Masa Pemerintahan di 2017-2021 

Trump menetapkan bea masuk barang asal China pada 2018.

AP Photo/John Locher
Presiden terpilih AS, Donald Trump. Berikut sejumlah kebijakan Trump yang menuai kontroversi saat menjabat pada periode 2017-2021.
Rep: Eva Rianti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-47 dalam pemilihan presiden (Pilpres AS) 2024, setelah mengalahkan Kamala Harris. Trump yang merupakan Presiden AS ke-45 tersebut merupakan pemimpin Negeri Pam Sam yang kebijakan-kebijakannya kerapkali kontroversial. 

Baca Juga


Pada masa pemerintahan AS yang dipimpinnya pada sekira 2017—2021 lalu, tak jarang sosok Trump memunculkan kontroversi di publik. Kebijakan-kebijakan kontroversi yang dilakukan oleh Trump pada saat itu mulai dari perang dagang dengan China, reformasi kebijakan imigrasi, travel ban untuk negara mayoritas muslim, hingga keluar dari Paris Agreement.  

Mengutip dari berbagai sumber, berikut kebijakan-kebijakan kontroversial yang dilakukan Trump pada masa pemerintahannya yang lalu.

Perang Dagang AS-China 

Hubungan AS dan China kerap tegang selama kepemimpinan Trump. Perang dagang antara kedua negara itu bermula pada sekira 2018. Perang dagang itu awalnya dipicu dari data posisi neraca perdagangan AS yang defisit terhadap China. 

Pada Januari 2018, Trump menetapkan kebijakan menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci terhadap China, yakni masing-masih menjadi 30 persen dan 20 persen. Diketahui, sekitar 8 persen impor panel surya AS pada 2017 berasal dari China dan impor mesin cuci rumah tagga dari China sekitar 1,1 miliar dolar AS pada 2015. 

Lalu, pada Maret 2018, Trump mengumumkan tarif baja dan aluminium masing-masing sebesar 25 persen dan 10 persen. AS diketahui mengimpor sekitar 3 persen baja dari China. 

Pada bulan yang sama, Trump meminta perwakilan dagang AS (USTR) untuk menyelidiki tarif barang-barang China senilai 50—60 miliar dolar AS. Ia mengandalkan bagian 301 UU Perdagangan tahun 1974, dengan menyatakan bahwa tarif yang diusulkan merupakan respons terhadap praktik perdagangan China yang tidak adil selama bertahun-tahun, termasuk pencurian kekayaan intelektual AS. Lebih dari 1.300 kategori impor China tercantum untuk tarif, termasuk suku cadang, pesawat terbang, baterai, televisi layar datar, perangkat medis, satelit, dan sejumlah senjata. 

China pun melawan sikap AS tersebut. Presiden Xi Jinping ikut menaikkan tarif produk daging babi, skrap aluminium, pesawat terbang, mobil, dan kacang kedelai hingga 25 persen. Serta memberlakukan tarif 15 persen terhadap komoditas kacang-kacangan dan pipa baja. Total ada 128 produk AS yang dikenai tarif oleh China ketika itu. 

Perang dagang terus bergulir, pada Agustus 2019 angka resmi dari China menunjukkan pertumbuhan produksi industrinya turun ke titik terendah dalam 17 tahun akibat perang dagang. Sementara itu,Reuters melaporkan, pada Desember 2019 sektor manufaktur AS mengalami kemerosotan terdalam dalam lebih dari satu dekade disebabkan perang dagang AS-China. 

 

 

Hingga Trump lengser, diganti oleh Joe Biden, dan Trump kembali menjadi Presiden 2024-2029, perang dagang AS-China masih terjadi dan memberikan dampak terhadap sektor perdagangan global. 

Kebijakan Imigrasi ‘Zero Tolerance’

Kebijakan Trump lainnya yang menimbulkan kontroversi pada masa kepemimpinannya adalah kebijakan imigrasi yang dikenal ‘tanpa toleransi’. Trump bersikap keras terhadap imigran dengan menghentikan orang yang masuk secara gelap. 

Ia membangun tembok raksasa antara Amerika dan Meksiko agar imigran gelap tidak masuk, termasuk migran Suriah. Warga Meksiko dianggap Trump sebagai penjahat. Trump juga mendeportasi massal para imigran ilegal yang tinggal di AS.

Kebijakan itu mendapatkan penolakan dari banyak orang, seperti pada Juni 2018 dilakukan aksi demonstrasi oleh puluhan ribu orang yang mengecam kebijakan imigrasi Trump. Diantara yang paling dikecam adalah karena terjadinya pemisahan ribuan anak migran dari orang tua mereka yang masuk lewat perbatasan selatan. Anak-anak ditempatkan di sejumlah fasilitas di AS, sedangkan para orang tua ditangkap dan diinterogasi. 

Kebijakan imigran ‘zero tolerance’ yang diberlakukan oleh Trump lantas memberikan kesan bahwa AS bukan lagi negara yang menjujung tinggi demokrasi. Padahal AS dikenal sebagai ‘bangsa imigran’. 

Muslim Ban 

Selain memberlakukan kebijakan imigran ‘zero tolerance’, secara khusus Trump melarang masuknya warga negara dari tujuh negara yakni Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman atas dasar keamanan AS. Negara-negara tersebut dianggap sebagai negara-negara yag diwaspadai. 

Kebijakan yang disebut travel ban atau muslim ban itu dipicu ketakutan akan imigran nakal yang berpotensi mengobrak-abrik keamanan AS di bawah kepemimpinan Trump. Itu didasari atas tragedi 9/11 yang terjadi pada lebih dari dua dekade yang lalu, yang dianggap sebagai tindak kejahatan terorisme. 

Sejalan dengan itu, di era kepemimpinan Trump, diberlakukan pula pengawasan di masjid-masjid yang ada di AS. Trump menyatakan muslim harus diawasi penegak hukum sebagai program kontra terorisme. Ia pun tidak peduli jika pengawasan terhadap masjid-masjid dianggap tidak tepat secara politik. 

Keluar dari Paris Agreement

Trump mengumumkan pada tahun pertamanya menjabat bahwa ia bermaksud keluar dari Perjanjian Iklim Paris (Paris Climate Agreement). Menurutnya, kesepakatan tersebut memberikan beban keuangan yang ‘kejam’ pada rakyat AS. 

Trump beralasan bahwa sikap keluar dari Kesepakatan Iklim Paris adalah untuk menjaga kestabilan ekonomi di sektor eksplorasi energi, terutama minyak bumi, gas alam, dan batu bara. 

Itu adalah salah satu dari banyak contoh Trump keluar dari perjanjian internasional karena ia merasa AS diperlakukan tidak adil. Contoh lainnya, Trump menarik AS keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP) pada tahun pertamanya memimpin AS. Perjanjian perdagangan berisi 12 negara itu berfokus pada negara-negara Asia dan diperjuangkan eksistensinya oleh pendahulu Trump, yakni Barack Obama.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler