Seperti Ini Kehidupan di Yerusalem Sebelum Perang Salib
Kehidupan keagamaan di Palestina menunjukkan di kota itu dipenuhi ulama.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bagaimana kehidupan di Tanah Suci (Masjid Al Aqsa) terutama di kota suci Yerusalem pada tahun 1090-an Masehi. Menurut peneliti dan penulis Barat, hanya terdapat satu sumber yang berasal dari kaum Muslim yang tersisa dari periode tidak lama sebelum Perang Salib Pertama. Sumber itu menerangkan aspek-aspek kehidupan tertentu di Tanah Suci pada dekade terakhir abad ke-11.
Sumber tersebut adalah laporan perjalanan dari Spanyol ke wilayah timur yang ditulis oleh Ibnu Al-Arabi (bukan tokoh sufi yang terkenal dengan nama yang sama). Demikian dijelaskan Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburgh, Carole Hillenbrand dalam bukunya berjudul Perang Salib.
Ibnu Al-Arabi memulai perjalanannya itu bersama dengan ayahnya pada Rabiulawal 485 H bertepatan dengan April 1092 Masehi. Tujuan perjalanan ini kemungkinan adalah untuk menghindari penyiksaan politik. Namun, seperti halnya para sarjana Muslim di Andalusia sebelum dan sesudahnya, Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa maksud perjalanannya itu adalah untuk menimba ilmu.
"Saya sangat ingin mencari ilmu di pelosok paling jauh (di timur)," tulisnya.
Ayah dan anak itu selamat dari kecelakaan di pantai Afrika Utara, ketika kapal yang mereka tumpangi hancur berkeping-keping di dekat Barqa, kota yang terletak di wilayah pesisir Libya.
Sementara ayahnya terus melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Ibnu Al-Arabi memilih tinggal di Tanah Suci (Masjid Al-Aqsa) dan memperdalam pengetahuan agama yang dilihatnya ada di sekelilingnya.
Laporan Ibnu Al-Arabi tentang lingkungan kehidupan keagamaan di Palestina menunjukkan bahwa kehidupan di kota itu dipenuhi para ulama, baik penduduk wilayah itu sendiri maupun mereka yang datang dari seluruh penjuru dunia Islam. Melihat kesempatan seperti itu, Ibnu Al-Arabi terpaksa menunda niatnya untuk menunaikan ibadah haji.
Di Yerusalem, Ibnu Al-Arabi menemukan madrasah-madrasah Syafi'iyah dan Hanafiyah yang terkenal. Dia membuat daftar nama-nama ulama terkenal yang akan ditemuinya untuk belajar dan berdiskusi tentang masalah- masalah keilmuan di sana. Tokoh paling masyhur yang ditemui Ibnu Al-Arabi di Yerusalem kemungkinan adalah al-Tartusyi yang juga berasal dari Spanyol dan menetap di satu bagian Masjid Al-Aqsa.
Al-Tartusyi adalah ulama dan ahli fiqih dari Andalusia, merupakan tokoh yang terkenal di bidang hukum Islam. Di Masjid Al-Aqsa juga tinggal ulama-ulama dari Khurasan, Iran timur.
Ibnu Al-Arabi sangat antusias dengan apa yang dilihatnya di Yerusalem. "Kami memasuki Tanah Suci dan tiba di Masjid Al-Aqsa. Purnama ilmu menyinari saya dan saya tercerahkan olehnya selama lebih dari tiga tahun," tulis Ibnu Al-Arabi.
Secara kebetulan, di masa-masa akhir keberadaan Ibnu Al-Arabi di Yerusalem, ulama Islam paling terkemuka pada Abad Pertengahan, Imam al-Ghazali mengalami krisis spiritual di Baghdad pada 488 Hijriyah atau 1095 Masehi.
Imam al-Ghazali untuk sementara berdiam di Yerusalem dan setiap hari beritikaf di Kubah Batu. Ibnu Al-Arabi menegaskan bahwa saat itu Yerusalam menjadi tempat pertemuan para ahli agama dari tiga kepercayaan yakni Islam, Kristen dan Yahudi.