Pilu Ibu di Gaza: Hanya Kematian yang Bisa Akhiri Penderitaan

Itimad al-Qanou, seorang ibu Palestina yang berjuang memberi makan tujuh anaknya, merasa terabaikan oleh dunia.

retizen /Khalied Malvino
.
Rep: Khalied Malvino Red: Retizen
Bayi Mohammed yang baru berusia tujuh hari selamat tanpa ibu setelah serangan Israel terhadap ambulans di Kamp Pengungsi Jabalia, Gaza, 25 Oktober 2024. (Getty Images)

Jalur Gaza, REPUBLIKA.CO.ID - Itimad al-Qanou, seorang ibu Palestina yang berjuang memberi makan tujuh anaknya, merasa terabaikan oleh dunia. Setahun perang telah mengubah Gaza menjadi puing-puing yang dihantui kelaparan.


“Biarkan mereka menjatuhkan bom nuklir dan akhiri semua ini. Kami tidak ingin hidup seperti ini, kami mati perlahan. Kasihanilah kami. Lihatlah anak-anak ini,” ujar al-Qanou yang memiliki tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan berusia 8 hingga 18 tahun.

Di kota mereka, Deir al-Balah, anak-anak berkerumun di tempat bantuan dengan panci kosong, berharap mendapatkan makanan. Para pekerja kemanusiaan membagikan sup lentil dari satu panci, namun itu tak cukup untuk mengatasi kelaparan yang meluas.

Keluarga al-Qanou menghadapi serangan udara Israel yang telah membunuh puluhan ribu orang dan meratakan sebagian besar Gaza. "Tak ada yang melihat kami, tak ada yang peduli pada kami. Saya meminta negara-negara Arab untuk berdiri bersama kami, setidaknya membuka perbatasan agar makanan dan pasokan bisa sampai kepada anak-anak kami," tambahnya.

Ia juga menuding negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), bersatu mendukung Israel. Bantuan kemanusiaan mulai memasuki Gaza melalui pos perbatasan Erez pada Senin (11/11/2024).

Namun, para ahli keamanan pangan memperingatkan adanya ancaman kelaparan besar di Gaza utara, sementara PBB menuduh Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata. Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menuntut penghentian blokade yang menghalangi distribusi bantuan.

Di tengah kelaparan dan serangan udara, warga Gaza merasa terjebak, tak punya tempat aman setelah berbagai kali evakuasi. Bagi sebagian orang, penderitaan ini bahkan lebih buruk daripada "Nakba" 1948, yang memaksa ratusan ribu Palestina kehilangan rumah mereka.

"Keadaannya lebih baik dulu. Sekarang, kami tidak punya keamanan dan tempat untuk tinggal," ungkap Mohamed Abou Qaraa, pengungsi Gaza. (Reuters)

sumber : https://retizen.id/posts/487018/pilu-ibu-di-gaza-hanya-kematian-yang-bisa-akhiri-penderitaan
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler