Setelah Cina, Prabowo Kini Sepakati Soal Laut Cina Selatan dengan Biden

Kesepakatan Prabowo-Joe Biden kontras dengan kesepakatan dengan Xi Jinping.

BPMI Setpres/Muchlis Jr
Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, Selasa (12/11/2024).
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Gedung Putih melansir sejumlah kesepakatan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Joe Biden dalam lawatan ke Washington, pada Selasa (12/11/2024). Seperti dengan Presiden Cina Xi Jinping, Prabowo juga menyepakati poin soal Laut Cina Selatan dengan Biden.

Baca Juga


“Kedua pemimpin tersebut menggarisbawahi dukungan mereka yang tak tergoyahkan untuk menegakkan kebebasan navigasi dan penerbangan serta penghormatan terhadap hak kedaulatan dan yurisdiksi negara-negara pantai atas zona ekonomi eksklusif mereka sesuai dengan hukum laut internasional, sebagaimana tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982,” bunyi lansiran Gedung Putih.

Amerika Serikat dan Indonesia juga mengakui pentingnya implementasi Deklarasi Perilaku Para Pihak (CoC) di Laut Cina Selatan tahun 2002 secara penuh dan efektif dan menyatakan dukungan terhadap upaya ASEAN untuk mengembangkan Kode Etik yang efektif dan substantif di Laut Cina Selatan yang mematuhi hukum internasional, khususnya UNCLOS, dan menghormati hak dan kepentingan pihak ketiga. Kedua pemimpin mencatat keputusan pengadilan arbitrase tahun 2016, yang dibentuk berdasarkan UNCLOS.

Amerika Serikat dan Cina tak secara langsung bersengketa di Laut Cina Selatan. Kendati demikian, Negeri Paman Sam sejak lama telah mengkhawatirkan klaim menyeluruh Cina atas kawasan tersebut. AS cenderung membela negara-negara ASEAN yang melawan klaim Cina atas wilayah laut tersebut.

AS juga menekankan menginginkan kebebasan navigasi laut di wilayah itu. Wilayah Laut Cina Selatan tergolong penting untuk pergerakan Angkatan Laut AS. Melalui jalur itu, Komando Armada Pasifik AS bisa bergerak ke barat ke wilayah Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Klaim Cina atas wilayah itu, dan pembangunan pangkalan militer di dalamnya dinilai AS mengancam kebebasan pergerakan mereka.

Kesepakatan Prabowo dengan Biden lebih mencerminkan sikap Indonesia selama ini. Indonesia secara resmi mengacu soal UNCLOS 1982 soal sengketa wilayah laut antara sejumlah negara ASEAN dengan Cina di teritorial tersebut. Artinya, Indonesia tak mengakui klaim Cina yang dirangkum dalam Sepuluh Garis Putus-Putus.

Namun, dalam pertemuan dengan Presiden Cina Xi Jinping di beijing pada 9 November lalu, sejumlah pihak menilai Prabowo menyepakati hal berbeda dengan sikap resmi itu. Pada poin kesembilan kesepakatan itu, tertuang soal kerja sama yang “lebih cerah” di bidang maritim. “Kedua belah pihak menekankan kerja sama maritim sebagai komponen penting kerja sama strategis yang komprehensif antara Cina dan Indonesia, dan akan secara aktif menjajaki dan melaksanakan lebih banyak proyek kerja sama maritim…” bunyi pembuka poin tersebut.

Bunyi kesepakatan yang kemudian menjadi sorotan ada di paragraf kedua. “Kedua belah pihak mencapai pemahaman bersama yang penting mengenai pembangunan bersama wilayah klaim yang tumpang tindih dan sepakat untuk membentuk Gabungan Antar Pemerintah Komite Pengarah untuk menjajaki dan memajukan kerja sama yang relevan berdasarkan prinsip ‘saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan musyawarah mufakat,’ sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Tak disebut secara gamblang wilayah mana yang disengketakan itu. Namun, ada petunjuk lain di paragraf terakhir poin itu: “Kedua belah pihak menegaskan kembali komitmen mereka terhadap implementasi Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC) secara penuh dan efektif, dan kesimpulan awal kode etik (COC) berdasarkan pembangunan konsensus, sehingga dapat bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.” Tak ada soal UNCLOS 1982 dalam kesepakatan dengan Cina tersebut.

Pernyataan ini krusial karena sejumlah hal. Pertama, secara resmi sedianya tak ada wilayah yang disengketakan oleh Cina dan Indonesia. kendati demikian, Cina sejak lama mengeklaim bahwa hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan masuk wilayah mereka dalam peta imajiner yang disebut “Sembilan Garis Putus-Putus”. Belakangan, garis putus-putus itu ditambah menjadi sepuluh garis. Ujung paling selatan dari peta imajiner itu mendekati Laut Natuna Utara di wilayah Indonesia. 

Saat membuat peta garis putus-putus pada 1947, Cina belum menentukan koordinat yang presisi terkait jangkauan geografis klaim Cina. Namun, Direktorat Studi Perbatasan Cina di Akademi Ilmu Sosial Cina, yang melakukan riset sejak 1993 sejak 2015 sedianya Cina telah menentukan titik geografis Sepuluh Garis Putus-Putus.

Peta Klaim Sembilan Garis Putus-Putus dan ZEE Negara-Negara ASEAN. - (Public Domains)

Dari riset pusat studi itu, garis itu bersinggungan dengan 1,5 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejumlah negara ASEAN  yang mengacu pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Dari jumlah itu, ada seluas 50 ribu kilometer persegi wilayah tumpang tindih antara wilayah yang diklaim Cina dengan dengan ZEE Indonesia.

Meski begitu, Indonesia tak pernah secara resmi mengajukan diri sebagai pihak yang bersengketa dalam klaim tersebut. Di ASEAN, hanya Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina yang menantang klaim Cina. 

Pernyataan bersama Prabowo berpotensi mengubah sikap tersebut. “Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” ujar guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dalam lansiran yang diperoleh Republika.

Menurutnya, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh Garis Putus dari Cina. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan Cina adalah negara peserta. Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.

Namun dengan adanya pernyataan bersama, menurut Hikmahanto, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus. “Perlu dipahami ‘joint development’  hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler