Ini Daftar Panjang dan Berdarah Veto AS Membela Israel

Sejak 1970, AS telah memveto 49 kali resolusi yang coba mengecam Israel.

Republika/Prayogi
Sejumlah orang membawa poster kecaman yang mereka tulis sendiri dalam aksi solidaritas untuk palestina bertajuk All Eyes On Rafah di Seberang Kedubes AS, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Amerika Serikat (AS) pada Rabu malam untuk kesekian kalinya memveto upaya Dewan Keamanan PBB menerbitkan resolusi gencatan senjata di Gaza. Kematian nyaris 44 ribu warga Gaza, kebanyakan perempuan dan anak-anak, tak bisa menggoyahkan dukungan membatu AS untuk negara Zionis?

Baca Juga


Veto yang dilakukan AS semalam menyolok karena hanya negara itu satu-satunya yang menolak resolusi gencatan senjata. Semua 14 anggota DK PBB lainnya mendukung resolusi tersebut. Artinya, sepanjang sejarah tak ada negara lain yang menyamai keras kepalanya AS memberikan dukungan diplomatik untuk Israel. 

Sejak lama, AS berulang kali memveto resolusi di DK PBB yang mencoba mengecam tindakan Israel. Seperti anak manja, impunitas yang dihadiahkan AS ke Israel itu membuat entitas Zionis itu tahun demi tahun bertindak seenaknya tanpa konsekuensi.

Veto-veto yang digunakan AS untuk mencegah PBB menghentikan kejahatan Israel berkorelasi dengan tingkat kekejaman yang dilakukan negara Zionis. Sejak pertama kali hak veto AS digunakan membela Israel, pembantaian dan penindasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina terus meningkat.

Middle East Eye mengutip the Jewish Virtual Library melaporkan bahwa sebelum resolusi semalam, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 48 kali terhadap rancangan resolusi Dewan Keamanan yang berkaitan dengan Israel. Aksi veto itu pertama kali digunakan AS pada tahun 1970. Pembelaan AS terhadap Israel saat itu disebut berkaitan dengan upaya membendung pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah. Kendati demikian, bahkan setelah Soviet bubar, dukungan diplomatik AS untuk Israel tetap membatu.

Seorang Palestina yang terusir dari kampung halamannya di kamp Jaramana di Suriah pada 1967. - (Jack Madvo/UNRWA Collection via Institute for)

Resolusi pertama yang ditolak, bernomor  S/10784, menyatakan keprihatinan mendalam “atas situasi yang memburuk di Timur Tengah” dan ditujukan pada agresi Israel di perbatasan Lebanon. Dirancang oleh Guinea, bekas negara Yugoslavia, dan Somalia, AS adalah satu-satunya negara yang memveto resolusi tersebut. Panama abstain dalam pemungutan suara.

Beberapa resolusi serupa juga diveto oleh AS pada tahun-tahun berikutnya. Pada 1975, tahun pecahnya perang saudara di Lebanon, resolusi S/11898 menyerukan “Israel untuk segera menghentikan semua serangan militer terhadap Lebanon”. Sekali lagi, Amerika adalah satu-satunya yang menolak resolusi itu.

 

Pada 1982, tahun dimana Israel melakukan serangan paling sengit terhadap Lebanon, Spanyol mengajukan rancangan resolusi yang menuntut Israel “menarik semua kekuatan militernya segera dan tanpa syarat ke perbatasan Lebanon yang diakui secara internasional” dalam waktu enam jam. AS memvetonya. Invasi Israel ke Lebanon yang direstui AS saat itu berujung pada pembantaian di Kamp Sabra dan Shatila. Kala itu pada September 1982, milisi Lebanon yang dilindungi pasukan Israel membunuh sekitar 1.500 hingga 3.500 pengungsi Palestina dan warga Lebanon.

Amerika memveto resolusi serupa pada tahun 1985, 1986 dan 1988. Perang saudara di Lebanon berakhir pada tahun 1990, namun Israel tidak menarik diri dari wilayah selatan negara itu hingga tahun 2000.

Monumen peringatan Tragedi Sabra dan Shatila. - (AP)

Veto soal Yerusalem

Masalah status akhir Yerusalem, yang ditetapkan dalam Perjanjian Oslo hanya akan dibahas pada tahap akhir perjanjian perdamaian antara Israel dan Palestina, telah lama menjadi sasaran veto AS di PBB. Rancangan resolusi S/12022, yang diperkenalkan pada tahun 1976, menyerukan Israel untuk melindungi “Tempat-tempat Suci yang berada di bawah pendudukannya”.

Draf resolusi itu menyatakan “sangat prihatin atas tindakan yang diambil oleh pemerintah Israel yang mengarah pada situasi serius saat ini termasuk tindakan yang bertujuan mengubah karakter fisik, budaya, demografi dan agama di wilayah pendudukan.” Amerika adalah satu-satunya negara yang memberikan suara menentang rancangan teks tersebut.

Pada 1982, Maroko, Iran, Yordania, dan Uganda mengajukan rancangan resolusi setelah seorang tentara Israel menembaki jamaah, menewaskan sedikitnya dua orang, di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Provokasi Israel di Kompleks Masjid al-Aqsa - (Republika)

Resolusi tersebut menyerukan kepada “Negara pendudukan (Israel) untuk mengamati dan menerapkan dengan cermat ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa Keempat dan prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur pendudukan militer dan untuk tidak menimbulkan hambatan apapun terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan Tinggi Islam yang telah ditetapkan di Yerusalem.”

Mengacu pada kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, teks tersebut menyebut situs tersebut sebagai “salah satu tempat paling suci umat manusia”. Pernyataan tersebut menggambarkan “status unik Yerusalem dan, khususnya, perlunya perlindungan dan pelestarian dimensi spiritual dan keagamaan dari Tempat Suci di kota tersebut”. Rancangan teks selanjutnya yang menyerukan Israel untuk menghormati tempat-tempat suci umat Islam diveto oleh AS pada tahun 1986.

Gangguan Israel di Kompleks Masjid al-Aqsa ini berulang kali berujung pembantaian warga Palestina. Pada tahun 2000, kunjungan politikus Israel Ariel Sharon ke al-Aqsa memicu Intifada Kedua yang berakhir dengan syahidnya 3.000 warga Palestina. Kemudian pada Ramadhan 2021, serangan pasukan Israel terhadap jamaah di Masjid al-Aqsa berujung dengan pengeboman Gaza yang menewaskan 256 orang, 67 diantaranya anak-anak.

Veto penarikan Israel dari Palestina...

 

 

Pada 1976, Amerika memveto resolusi yang menyerukan Israel untuk menarik diri dari seluruh wilayah Palestina – dalam hal ini, Inggris, Swedia, dan Italia abstain. Rancangan teks Tunisia, yang dipresentasikan pada 1980, menekankan “hak-hak yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina”. Amerika memberikan suara menentangnya, sementara Inggris, Perancis, Norwegia, dan Portugal abstain.

Resolusi yang mengutuk permukiman Israel, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional, juga diblokir oleh AS pada tahun 1983, 1997, dan 2011. Pada 2004 dan 2006, AS menolak menyerukan Israel menghentikan perang melawan Gaza, yang telah menewaskan ratusan warga sipil.

Pada akhir tahun 2016, setelah terpilihnya Donald Trump tetapi sebelum ia menjabat, pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama abstain dalam pemungutan suara mengenai permukiman Israel. 

Ini adalah pertama kalinya dalam empat dekade resolusi PBB yang mengecam Israel disahkan. Hal ini terjadi meskipun AS menggunakan hak vetonya untuk menentang pemungutan suara serupa pada tahun 2011, dan ini merupakan satu-satunya saat pemerintahan Obama menggunakan hak vetonya selama masa kepresidenannya.

Ashraf Bani Jama mengawal jenazah putranya, Muhammad Bani Jama, yang ditembak dan dibunuh bersama dengan Abdul Rahman Bani Fadl dalam serangan pemukim Israel pada April 2024. - (AP Photo/Majdi Mohammed)

Mengutip kurangnya kemajuan nyata dalam proses perdamaian, Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power mengatakan, “Kita tidak bisa secara bersamaan memperjuangkan perluasan pemukiman Israel dan memperjuangkan solusi dua negara yang bisa mengakhiri konflik. Seseorang harus membuat pilihan antara pemukiman atau pemisahan.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kala itu mengatakan tindakan AS adalah tindakan yang “memalukan”.

Pemerintahan Trump sebelumnya membuka era baru diplomasi pro-Israel di PBB. Pada bulan Juni 2018, AS menarik diri dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB karena dituduh memiliki "bias kronis" terhadap Israel. Pemerintahan Trump juga memveto beberapa resolusi PBB terkait Israel. Pada 19 Desember 2017, AS memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menolak langkah Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sebanyak 223 warga Palestina syahid dalam aksi menentang langkah pengakuan itu.

Beberapa bulan kemudian, pada Juni 2018, AS memveto tindakan yang dirancang Kuwait yang mengutuk penggunaan kekuatan Israel terhadap warga sipil Palestina. Pasukan Israel telah membunuh puluhan pengunjuk rasa damai di Gaza selama protes March of Return. Seperti dalam banyak kasus lainnya, Amerika adalah satu-satunya yang tidak setuju terhadap resolusi tersebut.

Pada 7 Oktober 2023, Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di Gaza melancarkan serangan mendadak ke Israel selatan. Kejadian itu menewaskan sekitar 1.140 militer dan warga sipil Israel dan menyandera 240 orang lagi.

Israel menanggapinya dengan perang besar-besaran dan melancarkan kampanye pengeboman udara yang menghancurkan, diikuti dengan invasi darat penuh ke Gaza. Sejauh ini, pasukan Israel telah membunuh lebih dari 44.000 warga Palestina, menurut angka kematian resmi yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Palestina. 

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

Namun, perkiraan konservatif lainnya menyebutkan jumlah korban tewas jauh lebih tinggi, dengan sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Lancet memperkirakan bahwa jumlah korban jiwa bisa mencapai lebih dari 186.000 orang.

Sejak awal perang, anggota Dewan Keamanan telah mencoba mengeluarkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata dan diakhirinya pertempuran di Gaza. Namun, upaya ini telah berulang kali dihalangi oleh AS. Sejak perang dimulai, Washington telah memblokir empat resolusi berbeda yang menyerukan gencatan senjata di Gaza.

Selain itu, AS telah memblokir resolusi yang bertujuan mengakui Palestina sebagai anggota penuh PBB. Banyak pemimpin dunia yang mengecam upaya AS untuk menghalangi seruan gencatan senjata di badan internasional tersebut, dan sekutu barat Washington juga menyatakan penyesalan atas kegagalan untuk meloloskan langkah-langkah tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler