Surat di Bangku Kosong

Kisah persahabatan sejati selamanya

retizen /Syahrial, S.T
.
Rep: Syahrial, S.T Red: Retizen
Sumber foto: Canva

Langit masih remang ketika Rini melangkah memasuki gerbang sekolah. Embun pagi membasahi sepatunya, meninggalkan jejak-jejak samar di lantai koridor yang sepi. Udara dingin menusuk tulang, tapi Rini sudah tidak peduli lagi. Toh hatinya lebih dingin dari udara pagi ini.
Tiga bulan. Sembilan puluh hari tanpa tawa riang yang biasa menyambutnya di depan kelas. Tanpa ocehan random tentang drama Korea terbaru. Tanpa pelukan hangat yang selalu ada saat dia merasa terpuruk. Rini menghela napas berat. Bayangan wajah pucat Anita di ranjang rumah sakit masih menghantuinya setiap malam.
"Aku tidak apa-apa kok, Rin. Cuma butuh istirahat sebentar," begitu kata Anita saat itu, dengan senyum yang dipaksakan. Kebohongan terbesar yang pernah dia ucapkan pada sahabatnya.
Rini melangkah gontai memasuki ruang kelas 11 IPA 2 yang masih sepi. Baru pukul 6.15, tapi dia sudah terbiasa datang sepagi ini sejak tiga bulan terakhir. Setidaknya, di kesunyian pagi dia bisa menangis tanpa harus menjawab pertanyaan siapapun. Tanpa harus melihat tatapan iba yang membuatnya muak.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat secarik kertas berwarna merah muda terlipat rapi di atas bangkunya. Jantung Rini seakan berhenti berdetak. Siapa yang sudah datang lebih pagi darinya? Dengan tangan sedikit gemetar, dia membuka lipatan kertas itu.
"Hai, Rini! Hari ini cerah sekali, kan? Seperti senyummu yang dulu selalu menerangi kelas. Ayo kembali tersenyum! Ingat tidak waktu kita bertiga - kamu, aku, dan Rio - lomba makan kerupuk di acara 17 Agustus tahun lalu? Kamu yang paling semangat padahal ujung-ujungnya kalah juga. Tapi tawamu saat itu benar-benar menular ke semua orang. Kami merindukannya, Rin. Sangat."
Lutut Rini mendadak lemas. Dia jatuh terduduk di bangkunya, matanya tak lepas dari tulisan yang begitu familiar itu. Setiap lekuk huruf, cara dia membuat titik di atas huruf i dengan bentuk hati kecil - ini tulisan Anita. Tidak salah lagi. Tapi bagaimana mungkin?
Memori tentang lomba makan kerupuk itu membanjiri benaknya. Hari itu, Anita masih sehat. Masih bisa tertawa lepas sampai terbungkuk-bungkuk melihat Rini yang tersedak-sedak karena terlalu bersemangat. Rio bahkan merekam momen itu dengan ponselnya - video yang kini tak sanggup Rini tonton lagi karena terlalu menyakitkan.
Dia menggelengkan kepala, melipat kembali kertas itu dan memasukkannya ke laci. Mungkin hanya keisengan teman sekelas yang mencoba menghiburnya. Ya, pasti begitu. Tapi kenapa dadanya terasa begitu sesak?
Namun esok paginya, secarik kertas biru menunggu di bangku yang sama. Kali ini, dengan bekas air mata yang mengering di sudutnya.
"Selamat pagi, Rini! Kulihat kemarin kamu mulai mengerjakan PR Matematika lagi. Bagus! Bu Sinta pasti senang. Kamu tahu tidak? Dulu aku selalu iri dengan cara otakmu memecahkan soal-soal rumit itu. Seperti ada mesin penghitung di kepalamu. Jangan sia-siakan bakatmu, ya! Olimpiade Matematika tinggal dua bulan lagi. Kamu pasti bisa!"
Air mata Rini jatuh membasahi kertas biru itu. Olimpiade Matematika. Mimpi yang hampir dia kubur bersama kepergian Anita. Mereka berdua sudah berjanji akan mengikutinya bersama. Menghabiskan malam-malam dengan segelas kopi dan tumpukan soal latihan. Saling menyemangati saat salah satu mulai menyerah. Tapi kanker sialan itu merenggut segalanya - mimpi, janji, dan separuh jiwa Rini.
Hari-hari berikutnya, surat-surat itu terus datang. Setiap pagi, dengan warna kertas yang berbeda, tetapi selalu dengan tulisan tangan yang sama. Terkadang berisi kenangan-kenangan lucu, terkadang kata-kata penyemangat, atau kadang hanya cerita random yang membuat Rini tersenyum tanpa sadar.
Surat-surat itu seperti cahaya kecil yang perlahan menerangi kegelapan dalam hatinya. Setiap kata seolah membawa kembali serpihan-serpihan jiwanya yang hancur. Setiap kenangan yang ditulis membuatnya sadar bahwa Anita memang telah pergi, tapi jejak kehadirannya akan selalu hidup dalam hatinya.
Rio, yang belakangan ini selalu datang pagi untuk menemani Rini, juga dibuat penasaran. Di balik sikap tenangnya, Rini bisa melihat mata Rio yang memerah setiap kali membaca surat-surat itu. Mereka bertiga dulu tak terpisahkan - The Three Musketeers, begitu julukan dari teman-teman sekelas. Kini, kekosongan yang ditinggalkan Anita terasa semakin nyata.
"Aneh ya, Rin. Tulisannya mirip banget sama Anita," komentar Rio suatu pagi, sambil mengamati surat berwarna kuning di tangannya. Suaranya sedikit bergetar.
"Iya... bahkan detail-detail kecil yang dia ceritakan... rasanya tidak mungkin ada yang tahu selain Anita sendiri," Rini menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang mulai merambat naik ke tenggorokannya. "Tapi Rio, Anita sudah..."
"Aku tahu," potong Rio pelan. Matanya menerawang ke arah bangku kosong di sebelah Rini - bangku yang dulu ditempati Anita. Bangku yang kini hanya menyisakan kenangan dan rasa rindu yang tak tertahankan. "Tapi siapapun pengirim surat ini, dia berhasil membuatmu tersenyum lagi. Itu yang penting."
Perlahan tapi pasti, Rini mulai menemukan kembali semangatnya. Seperti bunga yang mekar setelah badai berlalu, dia mulai bangkit dari keterpurukannya. Nilai-nilainya membaik. Dia mulai mengikuti ekstrakurikuler lagi. Bahkan sudah bisa tertawa lepas saat bercanda dengan teman-teman. Surat-surat misterius itu seperti cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan.
Sampai suatu pagi, seminggu sebelum Olimpiade Matematika...
Rini menemukan sebuah amplop putih di bangkunya. Lebih tebal dari biasanya. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja. Tangannya sedikit bergetar saat membukanya.
"Rini sayang,
Kalau kamu membaca surat ini, berarti waktuku sudah tidak lama lagi. Maaf ya, aku tidak memberitahumu seberapa parah kondisiku. Aku tidak ingin melihatmu sedih. Kamu sudah seperti adikku sendiri, dan yang kuinginkan hanya melihatmu bahagia.
Aku tahu kepergianku pasti akan sangat mempengaruhimu. Karena itu, aku sudah menyiapkan surat-surat ini. Ada 90 surat, untuk 90 hari. Aku titipkan pada Pak Rudi untuk meletakkannya di bangkumu setiap pagi. Maaf sudah merepotkan beliau, tapi dia mengerti betapa aku mengkhawatirkanmu.
Rini, kematian memang menyakitkan. Tapi hidup harus terus berjalan. Jangan biarkan kepergianku menghentikan mimpi-mimpimu. Kamu gadis yang kuat, pintar, dan penuh semangat. Dunia membutuhkan senyummu, tawamu, dan kejeniusanmu.
Ini surat terakhirku. Besok, bangkumu akan kosong seperti biasa. Tapi ingatlah, aku akan selalu ada di hatimu. Berjuanjumlah di Olimpiade minggu depan. Aku akan mendukungmu dari sini.
Sahabatmu selamanya,Anita
P.S: Jaga Rio ya. Dia sering pura-pura kuat, padahal rapuh. Kalian berdua adalah orang-orang terpenting dalam hidupku."
Air mata Rini mengalir deras, membasahi kertas yang dipegangnya dengan tangan gemetar. Di sampingnya, Rio yang ikut membaca juga tidak bisa menahan tangisnya. Untuk pertama kalinya sejak pemakaman Anita, Rini melihat Rio menangis terang-terangan.
"Dasar Anita bodoh," bisik Rio parau. "Selalu saja memikirkan orang lain sampai akhir..." Suaranya pecah di akhir kalimat, tenggelam dalam isakan tertahan.
Rini mengangguk, memeluk surat itu di dadanya. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Anita, tangisnya bukan tangis kesedihan. Ada rasa haru, syukur, dan tekad kuat yang membuncah. Di tengah kesedihannya yang terdalam, Anita masih memikirkan cara untuk menyelamatkannya. Masih berusaha menjadi cahaya dalam kegelapannya.
Seminggu kemudian, Rini berdiri di podium Olimpiade Matematika tingkat provinsi dengan medali emas di dadanya. Air matanya mengalir ketika mengangkat medali itu ke atas. Kilauannya memantulkan cahaya, mengingatkannya pada senyum cerah Anita.
"Ini untukmu, Anita," bisiknya. "Terima kasih sudah menjadi bintang yang menerangi jalanku."
Di bangku penonton, Rio tersenyum bangga. Dan entah hanya perasaannya saja atau tidak, dia seperti melihat bayangan Anita duduk di sampingnya, tersenyum cerah seperti dulu. Angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba berhembus seolah membawa tawa khasnya yang riang.
Sejak hari itu, bangku Rini tidak pernah lagi menerima surat misterius. Tapi setiap pagi, dia akan meletakkan setangkai bunga di bangku kosong di sebelahnya. Kadang mawar, kadang melati, atau bunga apa saja yang dia temui dalam perjalanan ke sekolah. Sebuah tradisi kecil untuk mengenang sahabat yang telah mengajarinya arti persahabatan sejati - yang bahkan kematian pun tidak bisa memisahkan.
Pak Junari, sang penjaga sekolah yang setia meletakkan surat-surat itu setiap pagi, hanya bisa tersenyum haru melihatnya. Matanya berkaca-kaca mengingat hari dimana Anita, dengan wajah pucat dan tubuh lemah, menyerahkan tumpukan surat itu padanya.
"Tolong jaga Rini ya, Pak," begitu pesannya saat itu. "Dia lebih kuat dari yang dia kira, tapi kadang butuh diingatkan."
"Neng Anita pasti senang di sana," gumam Pak Junari pelan, sebelum kembali ke pos jaganya. Di belakangnya, semilir angin pagi membelai kelopak-kelopak bunga yang bergoyang lembut di atas bangku kosong itu, seperti lambaian tangan seorang sahabat yang tak pernah benar-benar pergi.


sumber : https://retizen.id/posts/489325/surat-di-bangku-kosong
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler