Partisipasi Pemilih Pilgub Jakarta Terburuk, Pengamat: Para Calon tak Mewakili Warga
Tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta hanya 57,73 persen.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tingkat partisipasi pemilih di Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 ditengarai mengalami penurunan drastis. Berdasarkan informasi yang dihimpun Republika, hanya ada 4,3 juta suara sah dari total 8,2 juta daftar pemilih tetap (DPT) atau 53,05 persen di Pilgub Jakarta.
Sementara berdasarkan data hitung cepat (quick count) Indikator Politik Indonesia, tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta hanya sekitar 57,73 persen. Angka partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta 2024 tentu mengalami penurunan dibandingkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jakarta, tingkat partisipasi untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di wilayah Provinsi DKI Jakarta mencapai 78,78 persen, untuk pemilihan DPR RI mencapai 77,57 persen, pemilihan DPD RI mencapai 77,65 persen, dan untuk pemilihan DPRD Provinsi mencapai 77,46 persen.
Angka partisipasi pemilih Pilgub Jakarta juga dinilai menjadi yang terburuk sepanjang sejarah pelaksanaannya. Pasalnya, tingkat partisipasi pemilih pada Pilgub Jakarta 2007 mencapai sekitar 65 persen, Pilgub Jakarta 2012 sekitar 65 persen, dan Pilgub Jakarta 2017 angkanya mencapai sekitar 78 persen.
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Yoes C Kenawas mengatakan, terdapat beberapa faktor turunnya tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta. Faktor pertama adalah warga mengalami kelelahan dalam mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) atau election fatigue. Pasalnya, belum lama ini warga telah mencoblos untuk Pemilu 2024 untuk menentukan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, hingga DPD.
"Ini enggak cuma di Jakarta aja ya, kita bicara untuk daerah-daerah lain, itu saya pikir angka partisipasinya juga lebih rendah daripada Pilpres. Jadi ada kelelahan Pemilu lah, election fatigue," kata dia saat dihubungi Republika, Jumat (29/11/2024).
Meski demikian, Yoes menilai, faktor kelelahan itu bukan menjadi yang utama untuk di Jakarta. Ia menilai, faktor utama turunnya tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta adalah karena calon gubernur dan wakil gubernur yang ada dianggap tidak mewakili warga.
Menurut dia, kontestasi di Pilgub Jakarta menjadi antiklimaks setelah Pemilu 2024. "Bukan big match ibaratnya. Walaupun belakang-belakang makin seru ya, antara RK (Ridwan Kamil) dan Pramono Rano, belakang-belakang makin seru, tapi kalau nonton bola ini bukan big match, seperti yang dialami Jakarta 2017 kan," kata dia.
Ia menilai, warga Jakarta seakan merasa tidak terlalu dekat dengan calon yang bertarung. Warga juga tidak merasa terwakili oleh para calon yang ada.
Ia mencontohkan, berdasarkan hasil survei Indikator terakhir, popularitas Pramono Anung hanya 66 persen, meski yang tingkat kedisukaannya terhadap politisi PDIP itu 70 persen. Sedangkan Ridwan Kamil yang memiliki popularitas 96 persen, hanya memiliki tingkat kedisukaannya sebesar 74 persen. Artinya, banyak yang tidak suka dengan Ridwan Kamil.
"Nah kombinasi kedua ini, bikin, apa ya, bikin orang jadi males mungkin untuk datang ke TPS. Mungkin memilih buat liburan, atau ya udah nyantai aja di rumah gitu. Karena keduanya tidak ada yang mewakili mereka, keduanya ibaratnya dianggap sebagai calon yang di-setting oleh partai politik," ujar Yoes.