QC LSI Denny JA: Calon Kurang Pesona, Partisipasi di Pilkada di 7 Provinsi Terbesar Turun
Energi dan perhatian publik juga sudah terkuras untuk pileg dan pilpres 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hitung cepat (Quick Count) yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, menemukan perunan partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024. Salah satu penyebab penuruan ini disebabkan kandidat yang bertarung dianggap kurang pesonanya.
Direktur KCI-LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, mengatakan, angka rata-rata golput di 7 provinsi terbesar di Indonesia (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta) pada Pilkada 2024 sebesar 37,63%. “Jika dibandingkan dengan pemilihan gubernur sebelumnya, terdapat kenaikan 6,23%. Angka rata-rata golput di 7 provinsi pada Pilkada 2019 sebesar 31,40%,” kata Adjie dalam siaran pers, Rabu (4/12/2024).
Perincian angka golput itu, seperti di Jawa Barat sebesar 36,98%, Jawa Timur sebesar 34,68%, Jawa Tengah 32,36%, Banten sebesar 36,10%, Sumatera Utara sebesar 38,22%, Sulawesi Selatan sebesar 29,84%, dan golput di DKI Jakarta sebesar 46,91%.
Dijelaskan Adjie, sekitar 30% sampai 47% pemilih Pilgub 2024 di 7 provinsi terbesar tidak memilih. Mengapa ini terjadi?. Hasil dari riset LSI Denny JA menemukan kombinasi dari empat hal.
Pertama, kelelahan Pemilu. Menurut Adjie, perhatian dan energi sudah terkuras dalam Pilpres dan Pileg 2024. Pertarungan Pilkada menjadi kurang daya tariknya.
“Kedua, kandidat yang bertarung dianggap kurang pesonanya. Terutama di DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Kandidat yang lebih favorit di daerah itu, seperti Anies Baswedan dan Ahok di Jakarta, terhambat maju secara politik,” ungkap Adjie.
Hal ketiga, lanjut Adjie, publik semakin tak yakin seberapa besar kepala daerah bisa mengubah hidup mereka. Semakin ada keyakinan keputusan penting yang berdampak dalam hidup mereka lebih ditentukan pemerintah pusat.
Sedangkan hal keempat, menurut Adjie, adalah bertambahnya apatisme politik. Isu polarisasi politik, korupsi di pemerintahan, kemewahan hidup sebagian pejabat negara, membuat apatisme politik meninggi.
“Ketika golput meningkat, demokrasi menghadapi ancaman eksistensial. Esensi demokrasi adalah partisipasi rakyat, namun rendahnya voter turnout merusak fondasi ini,” kata dia.
Kondisi ini bisa membuat pemimpin terpilih, yang meskipun sah secara prosedural, sering kehilangan legitimasi moral. “Jika hanya sebagian kecil rakyat yang memilih, bagaimana mereka bisa benar-benar mewakili suara publik?” kata dia.
Rasa keterwakilan yang pudar, lanjut dia, menciptakan jurang antara rakyat dan pemimpin, memperlemah kepercayaan serta membuka ruang bagi ketidakstabilan sosial. “Golput juga memperkuat polarisasi. Dalam kondisi voter turnout rendah, hanya kelompok militan yang mendominasi,” papar Adjie.
Demokrasi berubah menjadi pertarungan antar kelompok kecil, bukan arena konsensus bersama. Lebih buruk lagi, rendahnya partisipasi mendorong politik elitisme. Pemimpin hanya melayani kelompok pendukung aktif mereka, sementara mayoritas yang absen semakin merasa terpinggirkan.
“Namun, ancaman terbesar adalah hilangnya kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri. Golput sering mencerminkan kekecewaan: korupsi, janji yang tidak ditepati, atau kandidat yang dirasa tak mewakili,” ungkapnya.
Ketika rakyat merasa suara mereka tidak berarti, menurut Adjie, apatisme tumbuh. Ini menjadi pintu masuk bagi otoritarianisme, di mana rakyat mencari solusi cepat yang sering mengorbankan kebebasan.