Bahaya Menumpuk-numpuk Harta

Islam melarang umatnya menumpuk-numpuk harta demi diri pribadi.

dok wiki
Harta (ilustrasi)
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW keluar rumah sambil memegang tangan sahabatnya, Abu Dzar al-Ghifari. Kemudian, beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, tahukah kamu bahwa di depan kita ada sebuah tanjakan yang sulit yang hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang ringan beban?"

Baca Juga


Abu Dzar pun bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah saya ini termasuk orang-orang yang ringan atau sarat beban?"

Rasulullah SAW menjawab dengan pertanyaan, "Apakah kamu punya makanan untuk hari ini?"

"Ya."

Rasulullah bertanya lagi, "Untuk esok pagi?"

"Ya," jawabnya lagi.

Rasulullah kembali bertanya, "Untuk besok lusa?"

"Tidak."

Kemudian, Rasulullah SAW menegaskan, "Kalau kamu mempunyai makanan yang cukup untuk tiga hari, maka kamu termasuk orang-orang yang sarat beban."

Yang dimaksud dengan "tanjakan yang sulit" oleh hadis tersebut adalah jalan menuju kebahagiaan akhirat. Adapun yang dimaksud dengan "beban" adalah harta.

Hal itu, karena proses materialisasi membuat angan-angan menjadi panjang. Setiap hari sibuk menumpuk harta. Tidak sebatas untuk diri sendiri. Bahkan dipikirkan pula agar bisa mewariskannya dalam jumlah besar, khawatir kalau anak kelak melarat.

Karena itu, segala sesuatunya disiapkan sekarang. Harta yang menumpuk lalu terasa belum memenuhi seluruh keinginan. Sehingga semakin kaya semakin kikir. Yang dipikirkan, bagaimana harta bertambah, bukan bagaimana memanfaatkannya untuk bekal menuju akhirat yang sulit itu.

 

Nabi SAW sendiri tak meninggalkan harta. Seluruh tanah dan hartanya telah diwakafkan. Kata Beliau, "Kami para nabi tidak mewariskan warisan harta kecuali semuanya telah menjadi sedekah" (HR Bukhari).

Dalam hidup ini, kadang-kadang kita ini bertindak sebagai Tuhan. Ingin menetapkan pembagian rezeki kalau perlu sampai tujuh keturunan. Sebab, rasa waswas yang berlebihan tentang masa depan keturunan. Padahal, yang berhak menetapkan pembagian rezeki itu adalah Allah.

Kita lupa bahwa tugas terhadap anak bukan semata mewariskan harta yang memang diperlukan. Lebih penting lagi, mewariskan pendidikan yang baik.

Ali bin Abi Thalib berkata, "Kebaikan itu bukan ada pada banyaknya harta dan anak, tetapi pada banyaknya pendidikan, besarnya kepekaan sosial, dan perasaan terhormat dengan ibadah." Karena itu, menurut sahabat Nabi itu, harta hanya baik buat pendosa yang bertobat dan orang yang senang bergegas dalam kebaikan.

Pengalaman mengajarkan, betapa banyak anak seorang miskin lalu menjadi kaya dan baik hanya lantaran orang tua tadi mewariskan pendidikan yang baik kepada anaknya. Namun sebaliknya, betapa banyak anak yang menerima harta warisan banyak tetapi tak berbekal pendidikan yang baik, atau berbekal tetapi pendidikan yang melulu berurusan dengan keduniaan, lalu menjadi bangkrut, miskin, dan sesat jalan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler