Sesepuh Pesantren Muhammadiyah
KH Abdurrahman Syamsuri merupakan tokoh utama perkembangan pesantren Muhammadiyah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan pesantren kini dapat dijumpai di mana-mana, termasuk lingkungan Muhammadiyah. Bagi warga Persyarikatan, KH Abdurrahman Syamsuri merupakan sosok yang diakui luas sebagai "Sesepuh Pesantren Muhammadiyah." Salah seorang muridnya adalah Ustaz Dr Muhammad Ziyad, Ketua Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah (LPHU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga pernah memimpin Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah.
“Beliau (Kiai Abdurrahman Syamsuri) muridnya langsung Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri NU (Nahdlatul Ulama). Namun, pada akhirnya Kiai Abdurrahman Syamsuri lebih dikenal sebagai seorang ulama besar Muhammadiyah, khususnya di Lamongan,” ujar Ustaz Muhammad Ziyad, seperti dikutip dari Pusat Data Republika.
KH Abdurrahman Syamsuri berasal dari sebuah keluarga santri yang menetap di Desa Paciran, Lamongan. Tokoh kelahiran tahun 1925 itu termasuk keturunan alim. Kakeknya, Kiai Idris, adalah seorang dai yang terkenal di Kecamatan Paciran. Adapun ayahnya, Kiai Syamsuri, merupakan seorang guru agama yang juga bermata pencaharian sebagai petani.
Tatkala berusia 15 tahun, Abdurrahman Syamsuri telah menghafal belasan juz Alquran. Proses hafalan itu pun dilaluinya dalam waktu tujuh bulan. Tidak hanya mendapatkan pengajaran agama dari ayah dan kakeknya, ia juga bersekolah di Madrasah Islam Paciran (MIP). Begitu lulus dari sana, dirinya mulai berpisah dari orang tuanya untuk menjadi seorang santri kelana.
Antara 1944-1945, ia belajar di Ponpes Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari. Meskipun nyantri selama satu tahun, Abdurrahman Syamsuri muda menjadi seorang santri unggulan dalam pandangan Mbah Hasyim.
Mendirikan pesantren
Sejak tahun 1930, kakeknya yang bernama Kiai Idris telah membangun sebuah musola, Langgar Dhuwur, di Paciran. Tempat inilah yang menjadi cikal bakal pesantren yang dirintis Kiai Abdurrahman.
Sesuai amanah dari kakeknya, ia kemudian mengembangkan Langgar Dhuwur agar tidak hanya menjadi tempat anak-anak belajar membaca Alquran. Dalam visinya, langgar tersebut ingin diubahnya menjadi sebuah pondok pesantren. Karena itu, yang diajarkan di sana meliputi banyak hal, semisal ilmu tafsir Alquran, hadis, dan tata bahasa Arab.
Sebagai langkah awal, dirinya meminjam sebuah lahan luas milik Pak Hadir. Di atas tanah itu, tumbuh pepohonan asam yang cukup rindang. Melihat itu, ia pun terinspirasi untuk menamakan lembaga yang akan didirikannya sebagai Pondok Pesantren Karangasem.
Pada 18 Oktober 1948, dibangunlah Asrama Santri al-Hijrah. Dalam prosesnya, Kiai Abdurrahman mendapatkan dukungan penuh masyarakat Paciran. Mereka bergotong-royong untuk membuat gota’an, sebuah bangunan kayu berbentuk persegi panjang yang kemudian dibaut kotak-kotak untuk memisahkan kamar-kamar santri. Bangunan tersebut menjadi tonggak awal kompleks Ponpes Karangasem Muhammadiyah, Paciran.
Berorganisasi
Kiai Abdurrahman mungkin tidak seperti umumnya para pendiri atau pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang cenderung bergabung dengan NU. Ia memilih aktif berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam persyarikatan tersebut, dirinya pernah menjabat sebagai direktur Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1956. Selain itu, namanya tercatat selaku anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1978, anggota Tanwir Muhammadiyah pada 1979-1984, dan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lamongan periode 1977-1982.
Meskipun memilih Muhammadiyah, hal itu tidak berarti bahwa dirinya bertungkus lumus di satu organisasi saja. Sebagai contoh, ia menjalin hubungan yang akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pascaruntuhnya Orde Lama. Menurutnya, kolaborasi antarelemen umat perlu dilakukan dalam rangka mencetak kader-kader dai di seluruh penjuru nusantara.
KH Abdurrahman Syamsuri meninggal dunia pada Kamis, 27 Maret 1997 dalam usia 72 tahun. Ia menghembuskan napas terakhir ketika sedang dirawat di Rumah Sakit Darmo, Surabaya, akibat penyakit gula yang dideritanya sejak lama. Keluarga, santri, dan ribuan orang ikut mengantar jenazah almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya di kompleks permakaman umum Sluwuk Desa Paciran, Lamongan.