Pilkada Berbiaya Mahal Turut Memicu Kepala Daerah Korupsi
Pemerintah perlu memperbaiki sistem pilkada dan pengangkatan pejabat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah masih cukup tinggi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2004-2024, sedikitnya ada 196 kepala daerah dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir, KPK juga menetapkan dua penjabat (pj) kepala daerah, yang notabene berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN), sebagai tersangka korupsi.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermasnyah Djohan mengatakan, terdapat tiga faktor yang membuat perilaku koruptif di daerah masih marak terjadi. Pertama, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah merupakan buah dari strategi pemberantasan korupsi yang kurang efektif. Kedua, tata kelola pemerintahan juga menjadi faktor korupsi masih banyak terjadi di daerah. Ketiga, sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang memakan biaya besar juga menjadi faktor kepala daerah korupsi.
"Sistem pilkada kita itu juga masih mengandung masalah, terutama konteksnya lebih kepada pembiayaan yang mahal. Nah, pembiayanya mahal, modalnya besar," kata dia saat dihubungi Republika, Sabtu (7/12/2024).
Ia juga menyoroti adanya sejumlah pj kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Padahal, pj kepala daerah mendapatkan jabatannya cenderung tidak memakai modal politik, tapi tetap bisa melakukan korupsi. Djohermasnyah menilai, fakta itu menandakan bahwa korupsi telah menjadi perilaku yang tak hanya terjadi di dunia politik. Lebih dari itu, perilaku koruptif juga sudah merajalela ke birokrasi.
"Ini menandakan (korupsi) memang sudah sangat pervasif, ya. Pervasif itu merajalela perilaku koruptif kita itu. Tidak hanya di eksekutif, legislatif, yudikatif. Tidak hanya di pemerintah pusat, pemerintahan daerah, dan pemerintahan desa. Tapi juga masuk ke dunia birokrasi. Bahkan sampai ke dunia pendidikan," ujar dia.
Menurut Djohermasnyah, upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi perilaku koruptif itu adalah dengan memperbaiki strategi pemberantasan korupsi. Ia menilai, pemerintah sudah sepatutnya membuat KPK lebih memiliki kekuatan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, fakta di lapangan berkata lain. Pasalnya, alih-alih membuat KPK makin bertaji, pemerintah justru melemahkan fungsi KPK melalui revisi Undang-Undang KPK. "Jadi itu saya membaca dengan revisi Undang-Undang KPK, menempatkan KPK di bawah eksekutif, di bawah presiden, itu membuat strategi pemberantasan korupsi kita melemah," kata dia.
Djohermasnyah menambahkan, pemerintah juga perlu memperbaiki sistem pilkada dan pengangkatan pejabat. Menurut dia, sistem pilkada harus dibuat agar para calon kepala daerah tidak mengeluarkan banyak modal ketika berkontestasi.
Ia menilai, hal itu dapat dilakukan dengan cara negara hadir memberikan subsidi kepada para kandidat dalam membiayai kampanye hingga para saksi yang bertugas di lapangan. Dengan begitu, potensi kepala daerah korupsi ketika menjabat dapat diminimalisasi. "Kalau kita mau demokrasi, kan harus berani bayar negara ini. Jangan diam-diam bae," ujar dia.
Tak hanya itu, Djohermasnyah mengatakan, pemerintah juga mesti memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan dengan mengembangkan digitalisasi. Menurut dia, hal itu dapat menutup celah permainan yang biasa dilakukan oleh para koruptor. Terkahir, ia menilai, penegakan hukum untuk para koruptor juga mesti ditambah. Dengan demikian, ada efek jera kepada para pelaku.
"Masa (hukuman koruptor) 5 tahun koruptor, terus dikasih remisi 2,5 tahun, tinggal 2,5 tahun, ya kan?" kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, itu.
IPK stagnan
Berdasarkan laporan Transparency International, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami stagnan dalam tiga tahun terakhir, yaitu berada di skor 34. Bahkan, angka itu mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2021, di mana skor IPK Indonesia berada di angka 38.
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Hariri menilai skor IPK yang stagnan merupakan bukti bahwa kasus koridor di Indonesia belum terselesaikan dengan baik. Ia menilai, salama ini belum ada terobosan dari lembaga penegak hukum yang benar-benar membuat koruptor jera.
"Selama pemberantasan korupsi belum menjadi political will bersama, APH pastinya hanya akan berkutat pada penindakan dan atau pencegahan yang masih abstrak," kata dia.
Menurut Hariri, dibutuhkan tiga hal untuk membuat mental para pejabat bebas dari perilaku koruptif. Tiga hal itu adalah pencegahan, penindakan, dan pendidikan. Namun, tiga hal itu tak cukup apabila tidak ada kesepakatan bersama antar elite politik untuk untuk menguatkan payung hukum pemberantasan korupsi seperti RUU Perampasan Aset dan penguatan kelembagaan penegak hukum.
"Pemerintah Presiden Prabowo cukup memberi atensi serius pada pemberantasan korupsi, maka kita perlu memberi ruang optimisme penegakkan pemberantasan korupsi," kata dia.
Peran parpol
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai, partai politik juga sangat memiliki peran untuk melakukan pendidikan kepada para kadernya, khususnya di daerah, agar tidak berperilaku koruptif. Pasalnya, para calon kepala daerah mayoritas diusung oleh partai politik.
"Partai belum bisa menghadirkan calon-calon yang memiliki semangat antikorupsi. Selama ini pemilihan kandidat biasanya hanya mempertimbangkan soal popularitas dan yang memiliki modal finansial besar, sehingga isu antikorupsi tidak menjadi perhatian," ujar dia.
Menurut Khoirunnisa, mahalnya biaya politik dalam kontestasi pilkada juga menjadi salah satu penyebab masih banyaknya kepala daerah yang korupsi. Pasalnya, para calon kepala daerah harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit, sehingga ingin balik modal ketika menjabat.
"Karena sudah mengeluarkan modal yang besar, tentu akan melakukan apa saja untuk menang termasuk membagi-bagikan uang ke pemilih," kata dia.
Ia mengatakan, perlu solusi yang komprehensif untuk memberantas korupsi. Bukan hanya pemerintah, masyarakat juga harus terlibat dalam mencegah kasus korupsi terjadi.
"Dari sisi pemilih tentu perlu terus diingatkan untuk jangan mau suaranya untuk dibeli, karena ketika saat berkompetisi saja sudah membeli suara rakyat maka nanti saat terpilih akan dekat dengan praktik korupsi," kata dia.
Sementara itu, dari sisi penegakan hukum, diperlukan hukuman yang lebih berat kepada para koruptor. Dengan begitu, akan ada efek jera kepada para kepala daerah yang memiliki niat untuk korupsi.
Faktor kompleks
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, korupsi adalah masalah pemerintahan dan kekuasaan. Sebagai suatu masalah sosial, banyak faktor yang membuat kasus korupsi terjadi. "Faktornya kompleks, tidak tunggal. Aspek biaya proses politik itu, iya, tetapi bukan satu-satunya," kata dia kepada Republika, Ahad (8/12/2024).
Ia menilai, saat ini kondisi demokrasi di Indonesia masih belum banyak membahas hal-hal yang bersifat substansial. Alhasil, banyak calon kepala daerah yang melakukan kampanye dengan membahas gagasan, melainkan dengan cara memberi kepada warga. Akibatnya, biaya politik menjadi mahal. "Ini artinya masalahnya menjadi lebih luas, yaitu melibatkan kendala ekonomi dan pendidikan," kata Ghufron.
Ia menegaskan, salah satu bukti biaya politik mahal bukan menjadi satu-satunya faktor kepala daerah melakukan korupsi adalah fakta bahwa dalam beberapa waktu terakhir terdapat penjabat (pj) kepala daerah terjerat kasus rasuah. Padahal, para pj kepala daerah itu mendapatkan jabatan bukan melalui proses pemilihan kepala daerah (pilkada) yang harus melakukan kampanye.
Ghufron mengatakan, korupsi merupakan musuh negara dan bangsa secara bersama. Karena itu, harus ada kesepahaman untuk memusuhinya, juga tidak memberikan perlindungan bagi korupsi di setiap struktur ketatanegaraan.
"Jika hal ini disepakati dan korupsi selanjutnya dimusuhi bersama, KPK selanjutnya akan memberantas dengan tiga strateginya mulai penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Namun, jika hal tersebut tidak, maka yang terjadi sebaliknya KPK yang kemudian dimusuhi dan dihambat dalam pemberantasan korupsi," ujar dia.
Menurut dia, cara untuk mencegah perilaku koruptif sebenarnya relatif mudah. Selah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengontrol secara ketat tata kelola kewenangan publik. Selain itu, seluruh pegawai ASN harus melaporkan seluruhan harta kekayaannya secara digital, mulai dari gaji sampai pembelanjaan dan investasi. "Maka hal tersebut akan memudahkan kontrol harta pejabat dan ASN," kata dia.
Ihwal adanya wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD atau pemerintah pusat, Ghufron menilai, hal itu harus disesuaikan dengan tingkat kesadaran politik warga. Menurut dia, sepanjang warga sudah dewasa untuk melakukan pemilihan langsung, hal itu akan berdampak baik dalam kehidupan politik. Namun, ketika kedewasaan politik rendah, yang akan timbul adalah peserta yang berkontestasi bisnis di dunia politik, yang berisiko membuat biaya politik menjadi tinggi.