Jejak Al-Golani: Dari Gerilyawan Al-Qaeda Hingga Pemimpin Berjas yang Menjungkalkan Assad
Dia bermanuver diantara organisassi ekstremis sambil menyingkikrkan mantan sekutu.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT — Abu Mohammed al-Golani menjadi sosok populer usai menggulingkan Presiden Suriah Bashar Assad setelah pasukannya merebut ibu kota Damaskus pada Ahad (8/12/2024).
Associated Press melaporkan, al-Golani telah menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja untuk membangun kembali citranya di hadapan publik. Dia ingin menggambarkan dirinya mampu melepas hubungan lama dengan al-Qaeda sekaligus tampil sebagai pahlawan pluralisme dan toleransi.
Saat berhasil menguasai Damaskus bersama para pejuangnya pada Ahad lalu, ia menanggalkan nama samaran. Dia menyebut dirinya dengan nama asli, Ahmad al-Sharaa. Tingkat transformasi dari ekstremis menjadi calon pembangun negara sekarang diuji.
Untuk pertama kalinya setelah 50 tahun tangan besi Dinasti Assad berkuasa, dunia akan menanti bagaimana Suriah akan diperintah. Suriah adalah rumah bagi berbagai komunitas etnis dan agama, yang sering diadu satu sama lain oleh rezim Assad dengan perang bertahun-tahun.
Banyak dari mereka takut ekstremis Islam Sunni akan mengambil alih. Negara ini juga terpecah di antara faksi-faksi bersenjata yang berbeda. Sementara, terdapat kekuatan asing dari Rusia dan Iran hingga Amerika Serikat, Turki dan Israel turut campur akan masalah itu.
Beberapa jam setelah Damaskus direbut, al-Sharaa yang berusia 42 tahun muncul pertama kali di Masjid Umayyah yang merupakan bangunan bersejarah di kota itu. Dia menyatakan jatuhnya Assad sebagai kemenangan bagi 'Negara Islam'. Seorang komandan pemberontak senior, Anas Salkhadi, muncul di Televisi Pemerintah untuk menyatakan, "Pesan kami kepada semua sekte di Suriah, adalah bahwa kami memberi tahu mereka bahwa Suriah adalah untuk semua orang.”
Al-Sharaa, yang telah dicap teroris oleh Amerika Serikat, dan pasukan pemberontaknya, Hayat Tahrir al-Sham, atau HTS - yang banyak pejuangnya adalah jihadis -- sekarang berdiri untuk menjadi pemain utama. Selama bertahun-tahun, al-Sharaa berupaya mengonsolidasikan kekuasaan. Dia terkurung di provinsi Idlib di sudut barat laut Suriah karena kekuasaan Assad yang didukung Iran dan Rusia atas sebagian besar negara itu tampak kokoh.
Dia bermanuver di antara organisasi-organisasi ekstremis sambil menyingkirkan pesaing dan mantan sekutu. Dia berusaha memoles citra "pemerintahan penyelamat" de facto-nya yang telah menguasai Idlib untuk memenangkan pemerintahan internasional dan meyakinkan minoritas agama dan etnis Suriah. Dia bahkan membangun hubungan dengan berbagai suku dan kelompok lain.
Sepanjang perjalanan, dia menanggalkan pakaiannya sebagai gerilyawan garis keras. Dia mengenakan jas untuk melayani wawancara kepada media, berbicara tentang membangun lembaga-lembaga negara dan mendesentralisasi kekuasaan untuk mencerminkan keberagaman Suriah.
"Suriah layak mendapatkan sistem pemerintahan yang bersifat institusional, bukan sistem pemerintahan di mana seorang penguasa tunggal membuat keputusan sewenang-wenang," katanya dalam sebuah wawancara dengan CNN pekan lalu, yang menawarkan kemungkinan HTS pada akhirnya akan dibubarkan setelah Assad jatuh. "Jangan menilai dari kata-kata, tetapi dari tindakan," katanya.
Al-Sharaa sebelumnya hanya dikenal lewat nama ekstremisme yang diadopsinya, Abu Mohammed al-Golani. Hubungannya dengan al-Qaeda sudah terjalin sejak 2003, saat ia bergabung dengan pemberontak yang memerangi pasukan AS di Irak.
Warga asli Suriah itu ditahan oleh militer AS tetapi tetap tinggal di Irak. Selama masa itu, al-Qaeda merebut kelompok-kelompok yang sepemikiran dan membentuk Negara Islam Irak yang ekstremis, yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi.
Pada 2011, pemberontakan rakyat Suriah terhadap Assad memicu tindakan keras pemerintah yang brutal dan menyebabkan perang habis-habisan. Keunggulan al-Golani tumbuh ketika al-Baghdadi mengirimnya ke Suriah untuk mendirikan cabang al-Qaeda yang disebut Front Nusra. Amerika Serikat melabeli kelompok baru itu sebagai organisasi teroris. Sebutan itu masih berlaku dan pemerintah AS telah memberikan hadiah 10 juta dolar AS untuknya.
Ketika perang saudara Suriah meningkat pada tahun 2013, ambisi al-Golani pun kian kuat. Ia menentang seruan al-Baghdadi untuk membubarkan Front Nusra dan menggabungkannya dengan operasi al-Qaeda di Irak, untuk membentuk Negara Islam Irak dan Suriah, atau ISIS.
Al-Golani tetap berjanji setia kepada al-Qaeda, yang kemudian memisahkan diri dari ISIS. Front Nusra memerangi ISIS dan menyingkirkan sebagian besar pesaingnya di antara oposisi bersenjata Suriah terhadap Assad.
Dalam wawancara pertamanya pada 2014, al-Golani menutup wajahnya, mengatakan kepada seorang reporter jaringan Al-Jazeera Qatar bahwa ia menolak perundingan politik di Jenewa untuk mengakhiri konflik. Ia mengatakan tujuannya adalah melihat Suriah diperintah di bawah hukum Islam dan menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi minoritas Alawite, Syiah, Druze, dan Kristen di negara itu.
Pada 2016, al-Golani pertama kali memperlihatkan wajahnya kepada publik dalam sebuah pesan video yang mengumumkan bahwa kelompoknya akan mengganti nama menjadi Jabhat Fateh al-Sham -- Front Penaklukan Suriah -- dan memutuskan hubungannya dengan al-Qaeda."Organisasi baru ini tidak berafiliasi dengan entitas eksternal mana pun," katanya dalam video yang direkam dengan mengenakan pakaian militer dan sorban.
Langkah tersebut membuka jalan bagi al-Golani untuk menegaskan kendali penuh atas kelompok militan yang terpecah. Setahun kemudian, aliansinya berganti nama lagi menjadi Hayat Tahrir al-Sham -- yang berarti Organisasi Pembebasan Suriah -- saat kelompok-kelompok tersebut bergabung, mengonsolidasikan kekuasaan al-Golani di provinsi Idlib, Suriah barat laut.
HTS kemudian bentrok dengan militan Islam independen yang menentang penggabungan tersebut, yang semakin memperkuat al-Golani dan kelompoknya sebagai kekuatan terkemuka di Suriah barat laut, yang mampu memerintah dengan tangan besi.
Dengan kekuatannya yang sudah terkonsolidasi, al-Golani memulai transformasi yang tidak dapat dibayangkan oleh banyak orang. Mengganti pakaian militernya dengan kemeja dan celana panjang, ia mulai menyerukan toleransi beragama dan pluralisme.
Ia mengimbau komunitas Druze di Idlib, yang sebelumnya menjadi target Front Nusra, dan mengunjungi keluarga Kurdi yang dibunuh oleh milisi yang didukung Turki.
Pada 2021, ia melakukan wawancara pertamanya dengan seorang jurnalis Amerika di PBS. Mengenakan blazer, dengan rambut pendeknya yang digel ke belakang, pemimpin HTS yang sekarang lebih lembut bicara itu mengatakan bahwa kelompoknya tidak menimbulkan ancaman bagi Barat dan bahwa sanksi yang dijatuhkan terhadapnya tidak adil.
“Ya, kami telah mengkritik kebijakan Barat,” katanya. “Tapi untuk melancarkan perang melawan Amerika Serikat atau Eropa dari Suriah, itu tidak benar. Kami tidak mengatakan kami ingin berperang.”