Pengamat: Jatuhnya Rezim Assad di Suriah tak Mendadak
Selama setahun terakhir, kubu oposisi di Suriah menyiapkan kekuatan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ilmu hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Dina Sulaeman memandang, jatuhnya rezim Bashar al-Assad merupakan hasil dari rentetan peristiwa yang terjadi dalam satu tahun terakhir di Suriah.
Kelompok-kelompok oposisi--yang disebut Dina sebagai "jihadis bersenjata"--telah melakukan konsolidasi kekuatan dalam setahun belakangan. Ini berlangsung serentak dengan memanasnya situasi antara Israel dan para pejuang Hamas di Jalur Gaza; serta antara Israel dan Hizbullah di Lebanon selatan kemudian.
Aliansi kelompok oposisi berpusat di Idlib, kota di barat laut Suriah. Dalam setahun terakhir, kata Dina, mereka melakukan penyerangan atas wilayah-wilayah dalam negeri yang dikuasai rezim al-Assad, alih-alih ikut "membantu" gerakan-gerakan perjuangan (muqawwamah) Gaza melawan Israel.
Al-Assad pun dalam setahun belakangan dibuat repot oleh militer Israel (IDF), yang masih menduduki Dataran Tinggi Golan. Bahkan, dalam kurun waktu tersebut IDF beberapa kali membombardir Damaskus.
Dina mengatakan, pada 27 November 2024, Israel menyepakati gencatan senjata dengan Pemerintah Lebanon yang berada dalam pengaruh Barat dan negara-negara Teluk Arab. Namun, eskalasi kekerasan tidak surut lantaran perjanjian itu sesungguhnya tidak mengikat pihak Hizbullah. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok-kelompok oposisi di Suriah.
"Pada saat itulah, mulai kelompok militan (oposisi) di Idlib itu menyerbu ke Aleppo dan ke kota-kota lain. Kekuatan logistiknya (kelompok oposisi) fresh, betul-betul sudah dipersiapkan dalam setahun terakhir. Mereka juga dibantu oleh militer Turki," ujar Dina Sulaeman saat dihubungi Republika, Senin (9/12/2024).
Keadaannya timpang bila dibandingkan dengan kubu al-Assad. Tidak hanya melemah lantaran kerepotan melawan kelompok-kelompok oposisi bersenjata dalam 10 tahun terakhir, terutama sejak pecahnya perang saudara pada 2011.
Rezim al-Assad yang didukung Iran dan Rusia juga lemah akibat daerah-daerahnya yang kaya minyak bumi selama bertahun-tahun diduduki Amerika Serikat (AS).
"Kemudian juga, ada embargo-embargo ekonomi selama minimal 10 tahun terakhir (yang dijatuhkan atas al-Assad oleh negara-negara Barat --Red). Jadi, dari sisi ekonomi saja sudah betul-betul minim," jelas Dina.
Ke mana Rusia-Iran?
Selama ini, rezim al-Assad bergantung pada dukungan Rusia dan Iran. Di mana mereka ketika koalisi oposisi menyerbu dan menduduki Damaskus?
Menurut Dina, Teheran tidak tutup mata terhadap melemahnya posisi al-Assad. Bahkan, dalam sebuah kesempatan Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi telah menyatakan, pihaknya bersedia membantu Bashar al-Assad. Namun, bantuan itu mesti didahului oleh adanya permintaan resmi dari Damaskus.
Menurut Pasal 51 Piagam PBB, sebuah negara ketika diserang oleh negara lain berhak melawan, baik sendirian maupun dengan meminta bantuan ke negara-negara lain. Maka, lanjut Dian, pihak Assad semestinya meminta bantuan terlebih dahulu kepada Iran, baru kemudian sah Teheran mengirimkan bantuan militer.
"Ternyata, Suriah tidak meminta bantuan itu. Itu pernyataan Menlu Iran ya," ujar Dian.
Adapun Rusia, yang kini menjadi tempat Bashar al-Assad dan keluarga menyelamatkan diri, memang belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait hal itu. Bagaimanapun, menurut Dian, sejumlah kalangan berspekulasi bahwa Moskow tidak ingin "sendirian" membantu rezim al-Assad dalam menangkal kelompok-kelompok oposisi bersenjata di Damaskus.
Dina menduga, ada "deal" antara Rusia dan NATO. Sehingga, Moskow membiarkan Damaskus jatuh ke tangan kubu anti-Assad. Pada saat yang sama, nantinya NATO juga akan membiarkan Ukraina untuk Rusia.
"Perkiraan saya, ada deal seperti itu. Rusia melepas Suriah, tetapi nanti Ukraina juga dilepas oleh NATO. Karena sekarang Ukraina bisa bertahan lantaran masih terus di-beking NATO. Saya pikir, itu jawabannya, mengapa Iran dan Rusia kelihatan tidak membantu Assad," tukas dia.