Demo Terbesar di Belanda dalam 20 Tahun Terakhir Desak Dihentikannya Genosida di Gaza
Massa aksi mendesak pemerintah Belanda berhenti diam atas kekejaman Israel di Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Lebih dari 100 ribu massa turun ke jalan berdemonstrasi di Den Haag pada Ahad (18/5/2025) menuntut pemerintah Belanda bersikap tegas terhadap kekejaman Israel di Gaza. Demonstrasi yang digalang oleh koalisi lokal dan internasional itu bertajuk "Tarik Garis Merah untuk Gaza".
Panitia aksi mengklaim bahwa demonstrasi ini adalah yang terbesar di Belanda selama 20 tahun terakhir. Berdasarkan foto dan video yang beredar di media sosial, massa aksi yang memenuhi jalan-jalan menuju Malieveld Square kompak mengenakan kostum berwarna merah.
Menurut catatan resmi, lebih dari 70 ribu massa menghadiri aksi ini, sementara Oxfam Novib, salah satu LSM yang ikut mengorganisasikan aksi menyebut jumlah 100 ribu massa yang hadir pada Ahad.
Juru bicara massa aksi menegaskan bahwa ratusan warga Gaza mati kelaparan sejak Maret. Mereka menuduh pemerintah Belanda sengaja diam atas aksi kekejaman Israel di Gaza.
Sebuah pernyataan dari laman Amnesty International mengatakan, meski Israel terus melakukan pelanggaran hukum perang, pemerintah Belanda tetap tidak "menarik sebuah garis merah" dan terus menolak untuk bertindak mengakhiri impunitas. Menurut Amnesty, pertemuan antara LSM dan pemerintah Belanda pernah menggelar pertemuan membahas isu Gaza, namun tanpa hasil.
Selain banner besar dengan tulisan "Tarik Garis Merah untuk Gaza", aksi massa menerikkkan slogal seperti "Pemerintah Schoof tuli," "Pemerintah memalukan , tangan anda berlumuran darah," “Belanda membayar bom-bom Israel," "Merdekakan Palestina," "Tidak akan ada damai dalam pendudukan," "Setop genosida," "Setop membunuh anak-anak,"
Sejak Oktober 2023, Israel dilaporkan telah membunuh setidaknya 53 ribu warga Palestina, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Mahkamah Kriminal Internasional pada November tahun lalu telah mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan melakukan kejahatan perang dan kejahatan melawan kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Pidana Internasional.
Pada Ahad (18/5/2025), Israel akhirnya melonggarkan blokade bantuan kemanusiaan berupa makanan masuk ke Gaza menyusul dimulainya operasi militer di bagian utara dan selatan. Keputusan pembukaan blokade bantuan kemanusiaan meski masih dalam jumlah terbatas ini diambil usai gelombang tekanan dunia internasional terhadap Israel merujuk pada kondisi Gaza yang menuju pada bencana kelaparan massal sejak blokade diterapkan pada Maret.
"Berdasarkan rekomendasi IDF, dan kebutuhan operasional untuk melanjutkan memperluas serangan guna menghancurkan Hamas, Israel akan memperbolehkan sejumlah dasar makanan untuk populasi untuk memastikan bahwa krisis kelaparan tidak berkembang di Jalur Gaza," demikian keterangan Kantor Perdana Menteri Netanyahu, Ahad.
Eri Kaneko, juru bicara Kepala Bantuan PBB Tom Fletcher juga mengonfirmasi bahwa telah dihubungi oleh otoritas Israel untuk "melanjutkan pengiriman bantuan dalam jumlah terbatas". Menurutnya, diskusi terkait distribusi logistik antara PBB dan otoritas PBB masih berlangsung.
Israel mengumumkan keputusan pembukaan blokade setelah beberapa sumber dari kedua belah pihak menginformasikan tidak adanya kemajuan dari babak baru perundingan antara Israel dan Hamas di Qatar. Sebelumnya, Netanyahu mengatakan, perundingan itu termasuk mendiskusikan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran sandera, juga sebuah proposal untuk mengakhiri perang dengan imbalan pengusiran militan Hamas dan demiliterisasi Gaza, proposal yang telah ditolak Hamas.